Hano Wene: Anak Muda yang Membawa “Jendela” ke Pedalaman Papua

Biasanya, kompleks sekolah milik Yayasan Pendidikan Terpadu Muliama selalu sepi setelah jam sekolah usai. Namun, kini ada daya tarik baru yang membuat siswa sekolah itu datang di sore hari: sebuah perpustakaan.

Elius Tom Elopore, guru di sekolah itu juga punya kesibukan baru, yaitu melayani siswa-siswanya yang ingin membaca buku. Melihat anak-anak yang antusias, Elius yakin apa yang mereka koleksi saat ini akan habis terbaca dalam jangka tak terlalu lama. Elius membutuhkan semakin banyak lagi, yang ada ini tidak cukup, dikatakannya saat diwawancarai oleh VOA. Tidak hanya bagi sekolah di mana dia mengabdi, semangat membaca itu juga ingin dia tularkan ke banyak sekolah lain di wilayah pegunungan itu.


Muliama adalah distrik kecil di Kabupaten Jayawijaya, Provinsi Papua Pegunungan. Jaraknya sekitar 20 kilometer dari Kota Wamena. Kata Elius, ada jalan penghubung antara kedua wilayah. Dari Wamena, kendaraan bermotor bisa sampai ke Muliama. Namun, masih banyak juga yang menempuh jarak itu dengan berjalan kaki. Dia mengabdi sebagai guru honorer di sekolah milik gereja itu, dan mengajar baik di SD, SMP, maupun SMA. Setelah bertahun-tahun, baru kali inilah sekolah tersebut secara khusus memiliki sebuah bangunan tersendiri, yang mereka sebut sebagai perpustakaan.


Karena berbagai keterbatasan, perpustakaan itu dibuka hanya tiga hari saja dalam sepekan. Para siswa bisa membaca ketika jam istirahat sekolah. Jika masih kurang, sore hari mereka bisa kembali ke kompleks sekolah untuk memuaskan minat bacanya. Karena minat membaca yang tinggi itulah, Elius berulang kali mengatakan, mereka membutuhkan lebih banyak buku.

Yayasan Hano Wene
Buku-buku di perpustakaan yang dikelola Elius tentu tak datang dengan sendirinya. Buku-buku itu dikumpulkan oleh Yayasan Hano Wene, yang diprakarsai sejumlah anak muda Papua. Yayasan yang berdiri sejak 2017 di Jayapura itu, bahkan mengumpulkan buku dari luar Papua, sebelum mengirimkannya ke berbagai pelosok.

Pada pegiat di lembaga ini yakin, anak-anak Papua, yang kini rajin membaca karena hadirnya bahan pustaka itu, tinggal di pulau dengan kekayaan alam yang luar biasa. Sayangnya, mereka belum mampu mengelola secara mandiri potensi itu, salah satunya karena kendala sumber daya manusia.

Neas Wanimbo, pendiri Yayasan Hano Wene yakin, pendidikan merupakan solusi. Neas percaya bahwa pendidikan bisa merubah cara berpikir, dan mengubah pola hidup. Hano Wene, dalam kosa kata asli di sekitar Wamena, bermakna kabar baik. Yayasan ini dirintis Neas dan sejumlah kawannya, karena ingin menyebarkan kabar baik ke pedalaman Papua. Pengiriman buku-buku dan pendirian perpustakaan adalah salah satu program utama, tetapi lembaga ini berkiprah di sektor pendidikan secara umum.

Sumber daya manusia masih sangat tertinggal jauh, dan program-program seperti ini yang sangat dibutuhkan saat ini di Papua. Saat ini di Papua banyak pembangunan, banyak proyek, banyak investasi. Namun semua itu dikelola dan dikerjakan oleh orang luar Papua, dan orang papua sendiri tersingkirkan karena tidak punya skill, dikatakan Neas. Hal dimaksud merupakan salah satu alasan utama mengapa dirinya mendirikan Hano Wene dan berkiprah di sektor pendidikan.

Buku berperan penting di sektor pendidikan, yang pada gilirannya mampu memperbaiki sumber daya manusia di Papua. Oleh karena itu, Hano Wene meyakini peningkatan literasi di pedalaman Papua sangat penting dilakukan. Buku yang dikirimkan jenisnya beragam, mulai buku paket pelajaran sekolah, buku anak-anak, buku dongeng, buku cerita, hingga alat tulis. Penyebarannya cukup merata, mulai dari Lanny Jaya, Yahukimo, Wamena, Mamberamo, Kaimana, Raja Ampat, hingga Manokwari. Pihak penerima bukan hanya sekolah umum, tapi juga pesantren, sekolah alkitab, hingga komunitas warga.

Lebih lanjut Neas menerangkan jika ada pendonor mau membantu di bidang kesehatan, pihaknya dapat menyalurkan ke sekolah yang anak-anaknya kurang gizi. Bisa juga alat kebersihan. Neas membuat program sesuai kebutuhan sekolah atau kampung disana. Bantuan datang dari pihak perorangan, komunitas, organisasi, hingga perusahaan. Yang belum memberikan dukungan, justru pemerintah.

Medan Penuh Tantangan
Mengirimkan bantuan di Papua tentu penuh tantangan. Salah satu yang berat adalah kondisi geografis. Terkadang tempat yang akan dibantu itu sangat jauh sekali harus dibawa dengan berjalan kaki, papar Neas sambil menambahkan, bahwa penguasaan bahasa suku lokal dan pendekatan budaya juga sangat penting.


Rommy Dumbery, aktivis di Hano Wene berbagi cerita tentang bagaimana susahnya menjangkau pedalaman Papua untuk melaksanakan misi mereka. Dari Jayapura, perjalanan dilanjutkan menggunakan kapal perintis, kapal feri, dan memakan waktu sekitar 1,5 hari dan satu malam (36 jam). Keesokan paginya baru tiba di pelabuhan. Sampai pelabuhan, perjalanan dilanjutkan dengan menggunakan perahu kole-kole, melewati anak-anak sungai kecil, dan memakan waktu 3 tiga untuk sampai di tujuan. Kebetulan daerah yang dituju adalah bagian muara dan jaraknya jauh dari ibu kota kabupaten Mamberamo Raya.


Perahu kole-kole adalah perahu berukuran kecil yang dibuat dari batang pohon, biasanya pohon ketapang, dan hanya memuat sekitar 4 orang. Motor jonson, yang disebut Rommy, adalah penggerak baling-baling kecil di bagian belakang, untuk mendorong. Kebanyakan perahu kole-kole digerakkan menggunakan dayung. Kendala lain, kata Rommy, adalah karena anak-anak sungai itu hanya bisa dilewati ketika arus pasang. Ketika surut, perahu tak bisa lewat karena sisa batang pohon di dasar sungai menjadi hambatan. Karena itulah, perjalanan ke pedalaman tidak pernah bisa dipastikan durasinya.

Rommy sendiri menghabiskan masa kecil di wilayah pedalaman itu. Dia masih ingat betul, betapa sulitnya transportasi di masa lalu, karena kapal kadang hanya berlayar satu bulan sekali. Karena itulah, dia menghargai besarnya pengorbanan para guru yang mau mengajar di Mamberamo. Pemekaran daerah (pembentukan DOB) memungkinkan perbaikan kondisi, tetapi tidak bermakna semua persoalan selesai. Rommy juga menceritakan akan antusias anak-anak disana yang sangat bagus untuk bisa menerima pelajaran, namun terkendala jaringan, kemudian fasilitas, buku dan lain-lain. dia.

Butuh Dukungan Semua Pihak
Bagi akademisi Universitas Papua, Dr Agus Irianto Sumule, prakarsa baik untuk mengirimkan buku ke pedalaman Papua ini, membutuhkan lingkungan yang mendukung agar hasilnya maksimal. Persyaratan dasar bagi minat baca di Papua agar bisa berkembang adalah memastikan sekolah itu berjalan dengan baik. Syarat sekolah berjalan dengan baik, adalah kehadiran guru. dikatakan Agus kepada VOA.

Agus menegaskan, minat baca adalah hasil dari berfungsinya sekolah atau lembaga pendidikan dengan baik. Di sisi lain, statistik dari hasil penelitian UNICEF beberapa waktu lalu di Papua mencatat, angka kemangkiran atau ketidakhadiran guru di provinsi ini cukup tinggi, di atas 30 persen. Angka kemangkiran kepala sekolah lebih tinggi dari itu.

Alasannya adalah ketika guru tidak hadir untuk anak-anak di sekolah, tidak ada yang memimpin mereka untuk belajar. Melihat kondisi yang ada, sulit membayangkan inisiatif membaca, tanpa arahan dari guru-guru di sekolah Papua. Karena itu Agus meyakini, persyaratan utama meningkatkan minat baca, adalah berfungsinya sekolah. Karena itulah, dukungan guru dan sekolah terhadap prakarsa Hano Wene semacam ini, menjadi sangat penting.

Agus juga mendorong kerja sama erat dengan lembaga gereja di Papua, agar program peningkatan minat baca lebih berhasil. Di tempat terpencil di mana pun di Papua, kata Agus, pasti ada gereja dengan pendeta dan keluarganya yang tinggal disana. Pendeta dan keluarganya bisa dipastikan bisa membaca, dan karena itu bisa berperan penting untuk mendorong minat baca di pedalaman.

Kendala geografis juga bisa diatasi melalui kerja sama dengan gereja semacam ini. Dukungan lain yang diharapkan lebih besar, seharusnya datang dari pemerintah daerah. Agus menilai, pemerintah harus melibatkan anak-anak muda, seperti yang aktif di Hano Wene, untuk mengejar target di sektor pendidikan. Pemerintah daerah harus mengakui bahwa pendidikan yang dicita-citakan masih jauh dari harapan. Menurut Agus, tujuan pendidikan itu salah satunya adalah literasi, baik baca-tulis, numerik dan lain sebagianya, maka mendukung kegiatan anak-anak muda ini, menjadi sangat penting.

Dukungan itu antara lain bisa dilakukan dengan memastikan distribusi buku, dari wilayah perkotaan ke pedalaman. Jika dibutuhkan, pemerintah daerah di Papua bisa menganggarkan bantuan keuangan untuk membantu program anak-anak muda semacam ini.

Selain itu, kata Agus, pemerintah perlu juga melakukan pendataan, wilayah mana saja yang sudah tercukupi kebutuhan bukunya, dan mana yang belum. Dengan data semacam itu, pemerintah daerah bisa mendorong lebih banyak anak muda untuk bergerak mengatasi kesenjangan literasi.

English Version

Hano Wene: Young People Bringing “Windows” to the Heart of Papua

Normally, the school complex owned by the Muliama Integrated Education Foundation is always quiet after school hours. However, now there is a new attraction that makes students come in the afternoon: a library.

Elius Tom Elopore, a teacher at the school, also has a new task, which is to serve his students who want to read books. Seeing the enthusiastic children, Elius is confident that what they currently have in their collection will be read in a not too distant future. Elius needs more and more books, as what they have now is not enough, he said in an interview with VOA. Not only for the school where he serves, but he also wants to spread the reading spirit to many other schools in the mountainous region.

Muliama is a small district in Jayawijaya Regency, Papua Highlands Province. It is about 20 kilometers from Wamena City. According to Elius, there is a connecting road between the two areas. From Wamena, motor vehicles can reach Muliama. However, many still cover the distance on foot. He serves as a volunteer teacher at the church-owned school, teaching at elementary, junior high, and senior high levels. After years, it is only now that the school has its own building, specifically designated as a library.

Due to various limitations, the library is only open three days a week. Students can read during school break times. If they need more, they can return to the school complex in the afternoon to satisfy their reading interests. Due to the high interest in reading, Elius repeatedly states that they need more books.

Hano Wene Foundation
The books in Elius’s library are not just there by themselves. The books are collected by the Hano Wene Foundation, initiated by a group of young Papuans. Established in Jayapura in 2017, the foundation even collects books from outside Papua before distributing them to various remote areas.

Those involved in this institution believe that the Papuan children, who are now avid readers due to the presence of library materials, reside on an island with extraordinary natural wealth. Unfortunately, they have not been able to independently manage this potential, partly due to human resource constraints.

Neas Wanimbo, the founder of the Hano Wene Foundation, believes that education is the solution. Neas believes that education can change thinking patterns and lifestyles. Hano Wene, in the local vocabulary around Wamena, means good news. This foundation was established by Neas and some of his friends because they wanted to spread good news to the heart of Papua. Sending books and establishing libraries are part of their main programs, but the institution also works in the education sector in general.

Human resources are still far behind, and programs like this are much needed in Papua today. There is currently a lot of development, projects, and investments in Papua. However, all of these are managed and carried out by non-Papuans, while the Papuans themselves are sidelined due to lack of skills, according to Neas. This is one of the main reasons why he established Hano Wene and works in the education sector.

Books play a crucial role in the education sector, which in turn can improve human resources in Papua. Therefore, Hano Wene believes that increasing literacy in the heart of Papua is essential. The distributed books vary, ranging from school textbooks, children’s books, fairy tales, storybooks, to stationery. The distribution is widespread, from Lanny Jaya, Yahukimo, Wamena, Mamberamo, Kaimana, Raja Ampat, to Manokwari. The recipients are not only public schools but also Islamic boarding schools, Bible schools, and community groups.

Neas further explains that if donors want to help in the health sector, they can distribute aid to schools where children lack nutrition. They can also provide hygiene kits. Neas tailors programs according to the needs of schools or villages there. Assistance comes from individuals, communities, organizations, and companies. Surprisingly, the government has not provided support yet.

Challenging Terrain
Sending aid to Papua is certainly challenging. One of the difficulties is the geographical conditions. Sometimes the places they want to help are very far and must be reached by foot, Neas explains, adding that mastering the local language and cultural approach are also crucial.

Rommy Dumbery, an activist at Hano Wene, shares the challenges of reaching the heart of Papua to carry out their mission. From Jayapura, the journey continues using pioneer boats, ferries, taking about 1.5 days and one night (36 hours). The next morning, they arrive at the port. From the port, the journey continues using kole-kole boats, passing through small rivers, taking about three hours to reach the destination. The area they are heading to is a delta area and far from the capital of Mamberamo Raya Regency.

Kole-kole boats are small boats made from tree trunks, usually kapok trees, and can only accommodate about four people. A small outboard engine, called a jonson, is used to propel the boat at the back. Most kole-kole boats are propelled using paddles. Another challenge, according to Rommy, is that the small rivers can only be crossed during high tide. When the tide is low, the boat cannot pass due to tree trunks at the bottom of the river becoming obstacles. This is why the duration of the journey to the heart of Papua is never certain.

Rommy himself spent his childhood in that remote area. He vividly remembers how difficult transportation was in the past, with ships sometimes sailing only once a month. That is why he greatly appreciates the sacrifices of teachers willing to teach in Mamberamo. The regional expansion allowed for improvements, but it does not mean all problems are solved. Rommy also talks about the enthusiasm of the children there to receive lessons, but they face challenges such as network connectivity, facilities, books, and others.

Need All Parties Support
Support from all parties is needed for the initiative led by Dr Agus Irianto Sumule, an academic from the University of Papua, to send books to the remote areas of Papua. In order for this initiative to be successful, a supportive environment is crucial. The basic requirement for fostering a reading interest in Papua is ensuring that schools are functioning effectively. According to Agus, the key to this is the presence of teachers.

Agus emphasises that a reading interest is a result of well-functioning schools or educational institutions. However, statistics from a recent UNICEF study in Papua show a high rate of teacher absenteeism, exceeding 30%. The rate of school principal absenteeism is even higher. When teachers are absent, there is no one to guide the students in their learning. Given this situation, it is difficult to imagine promoting reading initiatives without guidance from teachers in Papua.

Therefore, Agus believes that the primary requirement for increasing reading interest is the effective functioning of schools. Hence, the support of teachers and schools for initiatives like Hano Wene is crucial. Agus also advocates for close collaboration with church institutions in Papua to enhance the success of reading interest programs. In remote areas of Papua, churches with pastors and their families are present, who can play a significant role in promoting reading interest.

Geographical challenges can also be overcome through collaboration with such church institutions. Furthermore, greater support is expected from local governments. Agus suggests that involving young people, such as those active in Hano Wene, is essential for achieving educational targets. Local governments must acknowledge that the education system falls short of expectations. Education aims to improve literacy, including reading, writing, numeracy, and more. Supporting the activities of young people is crucial in achieving this goal.

Support can be provided by ensuring the distribution of books from urban areas to remote regions. If necessary, the local government in Papua can allocate financial aid to assist such youth programs. Additionally, Agus recommends conducting a survey to identify areas where book needs are met and where they are lacking. With this data, local governments can encourage more young people to address literacy disparities.

Source: https://www.voaindonesia.com/a/hano-wene-anak-muda-yang-membawa-jendela-ke-pedalaman-papua/7598563.html

Check Also

Mengenal Baju Adat Papua, Simbol Keindahan dan Kearifan Lokal

Indonesia, dengan ribuan pulau dan ratusan suku bangsa, memiliki kekayaan budaya yang luar biasa. Salah …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *