Tanah Merah, 19 Juni 2024
Sejak diperkenalkan, ekosida telah menjadi bagian dari kerusakan lingkungan yang brutal akibat perang. Perang menggunakan senjata dan instrumen perang yang merusak lingkungan, seperti dalam operasi “ranch hand” selama perang Vietnam dengan penggunaan “agen orange” pada tahun 1968-1971. Herbisida ini disiramkan ke hutan di Vietnam untuk membunuh para tentara Vietkong, menyebabkan kerusakan pada vegetasi hutan dan lingkungan sekitarnya.
Keprihatinan atas perilaku manusia terhadap lingkungan telah membuat ekosida menjadi diskursus internasional sejak era 70-an. Dalam 10 tahun terakhir, tindakan eksploitatif terstruktur, sistematis, dan massif terhadap sumber daya alam telah membawa dampak krisis lingkungan yang berisiko tinggi bagi kelangsungan hidup. Risiko lingkungan, seperti kenaikan suhu bumi ekstrem, kegagalan tindakan iklim, bencana alam, dan hilangnya keanekaragaman hayati, telah meningkat secara signifikan.
Kampanye Lingkungan Dunia Ekosida adalah inisiatif internasional penting. Setelah PBB menyetujui Statuta Roma pada tahun 1998, Mahkamah Pidana Internasional (ICC) dapat mengadili kejahatan kemanusiaan, termasuk ekosida. Meskipun upaya Polly Higgins, pengacara Inggris, untuk mengakui ekosida sebagai kejahatan yang bisa dituntut di ICC belum berhasil, ICC tetap mengajak masyarakat global untuk serius memperhatikan konflik agraria dan kejahatan lingkungan.
Data WEF tentang The Global Risk Report tahun 2020 menunjukkan peningkatan risiko lingkungan yang lebih buruk daripada risiko ekonomi, geopolitik, sosial, dan teknologi. Komitmen global harus menghadapi tantangan dinamis terkait isu lingkungan kontemporer. Saat ini, ICC memainkan peran penting dalam memperjuangkan keadilan lingkungan, dan penting bagi masyarakat global untuk mendukung upaya tersebut.
Tagar All Eyes On Papua Sebagai Kampanye Lingkungan
Tagar “All Eyes on Papua” telah menjadi sorotan dalam sepekan terakhir setelah unggahan viral “All Eyes on Rafah” di Instagram. Komunitas adat dan generasi muda Papua berharap gerakan ini dapat memperkuat solidaritas terhadap isu Papua. Media sosial dipenuhi dengan dukungan untuk Suku Awyu di Boven Digoel, Papua Selatan, dan Suku Moi di Sorong, Papua Barat Daya, dalam upaya mempertahankan hutan adat mereka dari konversi menjadi perkebunan kelapa sawit.
Kampanye ini bertujuan untuk menolak perubahan penggunaan lahan adat mereka. Perwakilan dari Suku Awyu dan Suku Moi mengadakan doa dan ritual di depan Gedung Mahkamah Agung, Jakarta Pusat, dengan mengenakan busana adat mereka. Aksi damai ini terjadi pada Senin pekan lalu, 27 Mei 2024. Hendrikus Woro menjelaskan pentingnya hubungan antara masyarakat adat Awyu dengan lingkungan sekitar mereka. Setiap marga memiliki wilayah dengan batas yang diwariskan oleh leluhur mereka, tanpa ada kepemilikan pribadi atas tanah di wilayah adat tersebut.
Hendrikus Woro, yang mewakili marga Woro dari Suku Awyu di Boven Digoel, mengajukan gugatan terhadap Dinas Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Papua terkait izin lingkungan yang diberikan kepada PT Indo Asiana Lestari (IAL). Dalam persidangan ini, kuasa hukum Suku Awyu telah menyampaikan sekitar 50 bukti ke PTUN Jayapura.
Kampanye ini bertujuan untuk mendesak pemerintah, termasuk Mahkamah Agung (MA), untuk mengeluarkan aturan yang dapat melindungi hutan adat kedua suku tersebut. Suku Awyu sedang berjuang untuk mempertahankan tanah ulayat seluas 36.094 hektare dari rencana ekspansi perusahaan kelapa sawit PT Indo Asiana Lestari. Sebelumnya, pemerintah daerah telah memberikan izin lingkungan kepada perusahaan sawit di atas hutan adat. Suku Awyu sebelumnya kalah di dua tingkat peradilan, yaitu di Pengadilan Tata Usaha Negara Jayapura pada November 2023 dan di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Manado pada Maret 2024.
Fakta Terkait Perlindungan Hutan Adat
Pagaras perlu menambahkan bahwa dalam upaya menjaga hutan adat, Suku Awyu telah berhasil memenangkan gugatan melawan dua perusahaan sawit, yaitu PT Megakarya Jaya Raya dan PT Kartika Cipta Pratama, di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Keputusan ini diumumkan melalui sistem e-court Mahkamah Agung pada Selasa, 05/09/2023, yang menyelamatkan 65.415 hektare hutan hujan asli dari konsesi kedua perusahaan tersebut.
Perusahaan sawit dilarang melakukan deforestasi di area tersebut, namun diizinkan untuk beroperasi dalam 8.828 hektare lahan hutan milik masyarakat adat. Masyarakat adat suku Awyu berdiri bersama pemerintah dalam memenangkan gugatan ini, yang merupakan langkah penting dalam mempercepat pengakuan hak atas tanah adat mereka.
Selain di PTUN Jakarta, masyarakat Awyu juga mengambil langkah hukum di Pengadilan Tata Usaha Negara Jayapura untuk mempertahankan hutan adat mereka. Bupati Keerom Piter Gusbager juga telah mencabut izin lokasi pembangunan perkebunan kelapa sawit di Arso Timur, Kabupaten Keerom, Provinsi Papua, karena perusahaan tersebut tidak memiliki hak guna usaha (HGU).
Tindakan ini merupakan evaluasi dan bukan larangan terhadap investasi di Papua. Sikap tegas pemerintah daerah memungkinkan masuknya investasi yang dapat memberikan manfaat langsung bagi masyarakat setempat. Kampanye “All Eyes on Papua” seharusnya tidak menimbulkan persepsi negatif terhadap pemerintah, karena langkah-langkah ini sejalan dengan upaya menjaga hutan adat dan memaksimalkan potensi daerah.
Kepastian Hukum Indonesia Terkait Ekosida
Hak warga negara terhadap lingkungan telah diatur secara konstitutif dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945, khususnya pada Pasal 28H ayat (1) yang menegaskan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, serta mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Hal ini menunjukkan adanya keterkaitan antara kondisi lingkungan yang baik dan sehat dengan pemenuhan hak asasi manusia yang dijamin dalam konstitusi.
Selain itu, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup juga mengakui bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi setiap warga negara Indonesia. Pasal 65 ayat (1) UUPPLH menyatakan bahwa setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia. Dalam perspektif HAM, kerusakan lingkungan akibat tindakan eksploitatif dianggap sebagai pelanggaran HAM.
Indonesia, sebagai negara dengan kekayaan sumber daya alam yang melimpah, memiliki potensi dan risiko kerusakan lingkungan yang signifikan. Oleh karena itu, pemerintah memiliki tanggung jawab untuk melindungi, memajukan, dan memenuhi hak asasi manusia, termasuk hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Di sisi lain, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua memberikan keberpihakan pada orang asli Papua. Hal ini tercermin dalam Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua Nomor 21/2008 tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan Provinsi Papua, yang mengakui eksistensi masyarakat hukum adat di Papua. UU Otsus Papua memberikan penjelasan mengenai definisi adat, masyarakat adat, hukum adat, masyarakat hukum adat, hak ulayat, dan orang asli Papua, sebagai upaya untuk menghormati dan melindungi hak-hak mereka.
Dengan demikian, kebijakan pemerintah dalam menjaga lingkungan hidup dan mengakui hak-hak asasi manusia, termasuk hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, harus diimplementasikan dengan sungguh-sungguh dan berkesinambungan demi kesejahteraan seluruh warga negara Indonesia.
Sikap Pemerintah Terkait All Eyes on Papua
Pagaras mengutip pernyataan Wapres Ma’ruf Amin saat kunjungan ke Pemukiman Nelayan Malawei, Lorong Muara Mulia 4, Kota Sorong, Papua Barat Daya, Kamis 06/06/2024, terkait pernyataan sikap suku Awyu dan Moi untuk mempertahankan hutan adat mereka. Wapres menegaskan kembali bahwa di dalam pembangunan, saat ini maupun di masa depan, harus ada komunikasi antara pemda (pemerintah daerah) dengan kepala-kepala adat dan masyarakat. Sehingga tidak terjadi semacam konflik atau kesalahpahaman seperti yang terjadi selama ini.
Pagaras mencatat ada sejumlah Proyek Strategis Nasional (PSN), kawasan-kawasan ekonomi khusus yang sedang dibangun untuk meningkatkan ekonomi, membuka lapangan pekerjaan termasuk menghadirkan ketahanan pangan juga ketahanan energi. Sebagai contoh, proyek yang menghasilkan energi baru terbarukan, biofuel sebagai salah satu jawabannya membutuhkan bahan dasar seperti tebu, jagung, dan lain-lain memerlukan area-area lahan perkebunan.
Mendukung pernyataan Wapres, Pagaras menghimbau untuk selalu mengutamakan komunikasi terlebih dahulu dengan para ketua adat, agar nantinya, program turunan rencana aksi dapat sesuai dengan aspek-aspek social, budaya, ekonomi dan lingkungan yang berlaku di masyarakat Papua. Yang juga tidak kalah pentingnya bahwa proyek-proyek tersebut diatas, harus melibatkan semua pihak, termasuk Orang Asli Papua yang tinggal di sana. Lebih lanjut, Wapres Ma’ruf Amin juga menyatakan bahwa komunikasi dimaksud sangan diperlukan untuk menghindari kebijakan yang berdampak negatif terhadap penghidupan masyarakat adat Papua.
Pagaras mendukung langkah Staf Khusus Presiden RI dengan menyampaikan rekomendasi kepada Presiden Joko Widodo untuk meminta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan meninjau ulang berbagai izin perusahaan di atas tanah Suku Awyu. Billy juga juga menganjurkan Presiden Jokowi untuk memberi arahan spesifik kepada Badan Perencanaan Pembangunan Nasional dan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi. Hal ini dimaksudkan agar kerangka pembangunan di Tanah Papua mempertimbangkan perlindungan hutan dan hak masyarakat adat.
Pandangan Pagaras
Tantangan yang dihadapi dalam penegakan hukum terhadap kejahatan lingkungan ekosida yaitu sarana dan prasarana serta dukungan masyarakat dalam proses penegakan hukum itu terjadi. Walaupun untuk hukum nasional sendiri belum spesifik mengatur ekosida. Pagaras mengingatkan pemerintahan yang baru nanti melihat celah ini hukum ini, terutama dalam perihal tanggung jawab negara.
Pagaras merasa miris, ada pihak-pihak yang mengkampanyekan seolah ekosida menjadi bagian keseharian yang tidak mendapatkan atensi pemegang kebijakan di Indonesia, padahal ini juga terjadi di belahan dunia lainnya. Namun Pagaras juga melihat, di Indonesia, kejahatan sektor lingkungan telah terjadi selama bertahun-tahun, menyebabkan kerusakan yang sangat besar.
Pagaras mengingatkan pentingnya menjaga citra Indonesia di mata dunia, dimana keputusan-keputusan yang diambil dalam hal ini akan mempengaruhi pandangan internasional. Persepsi negatif terhadap kebijakan pemerintah dapat merugikan reputasi Indonesia secara keseluruhan. Oleh karena itu, langkah-langkah yang diambil dalam mempertahankan hutan adat harus tetap berlandaskan pada kepentingan masyarakat dan keberlanjutan lingkungan.
Pagaras berharap Presiden Jokowi agar dapat lebih mendorong pembangunan ekonomi berbasis industri yang tidak merusak hutan, termasuk mencegah konversi hutan adat dan hutan lindung ke perkebunan kelapa sawit.
Shalom, Tuhan Jaga
Herdy Ezra Wayoi
Ketua LSM PAGARAS
Papua Garis Keras
Download the Press Release Here
English Version
“Pagaras’ Perspective on Environmental Issues, Hashtag ‘All Eyes On Papua”
Tanah Merah, June 19, 2024
Since its introduction, ecocide has become a part of the brutal environmental damage caused by war. Warfare employs weapons and instruments that harm the environment, such as in the “ranch hand” operation during the Vietnam War with the use of “agent orange” from 1968-1971. This herbicide was sprayed on forests in Vietnam to kill Vietcong soldiers, resulting in damage to forest vegetation and the surrounding environment. Concerns about human behaviour towards the environment have made ecocide an international discourse since the 1970s. In the past decade, structured, systematic, and massive exploitative actions towards natural resources have led to high-risk environmental crises. Environmental risks, such as extreme global warming, climate action failure, natural disasters, and loss of biodiversity, have significantly increased.
The World Environment Ecocide Campaign is a crucial international initiative. After the approval of the Rome Statute by the United Nations in 1998, the International Criminal Court (ICC) can prosecute crimes against humanity, including ecocide. Despite efforts by Polly Higgins, a British lawyer, to recognize ecocide as a prosecutable crime at the ICC, the court continues to urge the global community to take agrarian conflicts and environmental crimes seriously.
Data from the World Economic Forum’s Global Risk Report 2020 shows an increase in environmental risks worse than economic, geopolitical, social, and technological risks. Global commitments must address dynamic challenges related to contemporary environmental issues. Currently, the ICC plays a crucial role in advocating for environmental justice, and it is essential for the global community to support these efforts.
Enhancing focus on Papua for environmental campaign
The “All Eyes on Papua” tagline has garnered attention in the past week following the viral post “All Eyes on Rafah” on Instagram. The indigenous communities and young generation of Papua are hopeful that this movement can strengthen solidarity towards Papua issues. Social media is flooded with support for the Awyu Tribe in Boven Digoel, South Papua, and the Moi Tribe in Sorong, Southwest West Papua, in their efforts to protect their customary forests from conversion into palm oil plantations.
This campaign aims to reject the change in land use of their customary lands. Representatives from the Awyu and Moi Tribes held prayers and rituals in front of the Supreme Court building in Central Jakarta, wearing their traditional attire. This peaceful action took place last Monday, 27th May 2024.
Hendrikus Woro emphasised the importance of the relationship between the Awyu indigenous community and their surrounding environment. Each clan has a territory with boundaries inherited from their ancestors, without any personal ownership of land in their customary areas. Hendrikus Woro, representing the Woro clan of the Awyu Tribe in Boven Digoel, filed a lawsuit against the Papua Investment and Integrated Licensing Service (DPMPTSP) regarding the environmental permit granted to PT Indo Asiana Lestari (IAL). In this trial, the legal representatives of the Awyu Tribe presented around 50 pieces of evidence to the Jayapura Administrative Court.
This campaign aims to urge the government, including the Supreme Court, to issue regulations that can protect the customary forests of both tribes. The Awyu Tribe is fighting to defend their customary land covering 36,094 hectares from the expansion plans of the palm oil company PT Indo Asiana Lestari. Previously, the local government had granted an environmental permit to the palm oil company over the customary forest. The Awyu Tribe had previously lost in two levels of the judiciary, at the Jayapura State Administrative Court in November 2023 and at the Manado State Administrative High Court in March 2024.
Facts on Indigenous forest protection in Papua
It is important to note that in their efforts to protect their customary forests, the Awyu tribe has successfully won a lawsuit against two palm oil companies, PT Megakarya Jaya Raya and PT Kartika Cipta Pratama, at the State Administrative Court (PTUN) in Jakarta.
This decision was announced through the Supreme Court’s e-court system on Tuesday, 05/09/2023, saving 65,415 hectares of primary rainforest from the concessions of these two companies. The palm oil companies are prohibited from deforesting in this area, but are allowed to operate within 8,828 hectares of customary land owned by the indigenous community.
The Awyu indigenous community stood together with the government in winning this lawsuit, which is a crucial step towards accelerating the recognition of their land rights. In addition to the PTUN in Jakarta, the Awyu community has also taken legal action at the State Administrative Court in Jayapura to defend their customary forests.
District Head Piter Gusbager has also revoked the permit for the construction of a palm oil plantation in Arso Timur, Keerom Regency, Papua Province, as the company did not have a land use permit (HGU). This action is an evaluation and not a ban on investment in Papua. The firm stance of the local government allows for investments that can directly benefit the local community. The “All Eyes on Papua” campaign should not create negative perceptions of the government, as these steps are in line with efforts to protect customary forests and maximize the region’s potential.
Legal Certainty in Indonesia Regarding Ecocide
The citizens’ rights towards the environment have been constitutionally regulated in the 1945 Constitution, particularly in Article 28H paragraph (1) which asserts that everyone has the right to live prosperously physically and spiritually, to have a place to live, and to obtain a good and healthy environment. This indicates the connection between a good and healthy environment with the fulfillment of human rights guaranteed in the constitution.
Additionally, Law Number 32 of 2009 concerning Environmental Protection and Management also acknowledges that a good and healthy environment is a fundamental right of every Indonesian citizen. Article 65 paragraph (1) of the law states that everyone has the right to a good and healthy environment as part of human rights.
From a human rights perspective, environmental damage due to exploitative actions is considered a violation of human rights. Indonesia, as a country rich in natural resources, has significant potential and risks of environmental damage. Therefore, the government has a responsibility to protect, promote, and fulfill human rights, including the right to a good and healthy environment.
On the other hand, Law Number 21 of 2001 concerning Special Autonomy for Papua Province prioritizes indigenous Papuans. This is reflected in the Special Regional Regulation of Papua Province Number 21/2008 concerning the Management of Sustainable Forests in Papua Province, which recognizes the existence of customary law communities in Papua. The Special Autonomy Law for Papua provides explanations regarding the definitions of custom, indigenous communities, customary law, customary law communities, customary land rights, and indigenous Papuans, as an effort to respect and protect their rights.
Therefore, the government’s policies in preserving the environment and recognizing human rights, including the right to a good and healthy environment, must be implemented earnestly and continuously for the welfare of all Indonesian citizens.
Government’s Response on the Hashtag “All Eyes On Papua”
Pagaras quotes Vice President Ma’ruf Amin during his visit to the Fishermen Settlement of Malawei, Lorong Muara Mulia 4, Sorong City, Southwest Papua, on Thursday, 6th June 2024, regarding the stance of the Awyu and Moi tribes in defending their customary forests. The Vice President reiterated the importance of communication between local governments and indigenous leaders and communities in both current and future development projects to prevent conflicts or misunderstandings.
Pagaras noted that several National Strategic Projects (PSN) and special economic zones are being developed to boost the economy, create job opportunities, and enhance food and energy security. For instance, projects producing renewable energy like biofuel require raw materials such as sugarcane and corn, necessitating plantation areas.
In support of the Vice President’s statement, Pagaras urges prioritising communication with tribal leaders to ensure that derivative action plans align with social, cultural, economic, and environmental aspects in Papua society. It is crucial that these projects involve all stakeholders, including Indigenous Papuans residing in the area. Furthermore, Vice President Ma’ruf Amin emphasised that effective communication is essential to avoid policies negatively impacting the livelihoods of indigenous communities in Papua.
Pagaras supports the initiative of the Special Staff of the President of Indonesia by recommending a review of various company permits on Awyu land to President Joko Widodo. Additionally, they suggest specific guidance be given to the National Development Planning Agency and the Coordinating Ministry for Maritime Affairs and Investment to ensure that development frameworks in Papua consider forest protection and the rights of indigenous communities.
Pagaras Perspective
The challenges faced in enforcing environmental ecocide law are the lack of infrastructure and community support in the law enforcement process. Although national laws do not specifically regulate ecocide, there is a gap that the new government should address, particularly regarding state responsibility.
It is disheartening for Pagaras to see some parties campaigning as if ecocide is a normal occurrence that policymakers in Indonesia do not pay attention to, despite it happening in other parts of the world. However, Pagaras also acknowledges that environmental crimes have been occurring in Indonesia for years, causing significant damage.
Pagaras emphasises the importance of upholding Indonesia’s reputation globally, as decisions made in this regard can impact international perceptions. Negative perceptions of government policies can harm Indonesia’s overall reputation. Therefore, steps taken to preserve customary forests must be based on community interests and environmental sustainability.
Pagaras hopes that President Jokowi will further promote industrial development that does not harm forests, including preventing the conversion of customary forests and protected forests into oil palm plantations.
Shalom, Godbless!
Herdy Ezra Wayoi
Head of PAGARAS NGO
Papuan Hardline