Buang Waktu, Teror dan Advokasi Gerakan Separatis OPM Hanya Merugikan Masyarakat Papua

Manokwari, 20 Juni 2024
Gerakan separatisme secara definitif merupakan upaya untuk memisahkan diri dari suatu negara atau mencapai kemerdekaan dengan berbagai motif yang beragam. Motif yang sering muncul adalah ketidakpuasan terhadap situasi yang tidak adil. Namun, tidak jarang juga terdapat motif lain seperti campur tangan pihak asing yang ingin menguasai wilayah tertentu, serta kepentingan pribadi dan golongan yang melibatkan faktor ekonomi dan politik.

Dalam catatan Pagaras, di Papua, gerakan separatisme memiliki banyak wujud, tidak hanya dalam bentuk Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang umum dikenal. Ada beberapa kelompok seperti Komite Nasional Papua Barat (KNPB), United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), dan lain sebagainya yang turut serta dalam gerakan tersebut. Secara umum, gerakan-gerakan ini dikategorikan sebagai Kelompok Separatis Papua (KSP), dan jika mereka menggunakan kekerasan dengan senjata mematikan, mereka dapat dianggap sebagai Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB).

Sejarah menunjukkan bahwa gerakan separatisme di Papua telah lama ada, dan seringkali menjadi pemicu konflik di daerah tersebut. Ide separatisme saja sudah cukup merangsang terjadinya kekerasan, apalagi jika disertai dengan penggunaan senjata. Hal ini seringkali dimanfaatkan oleh media massa untuk menyalahkan aparat keamanan atau negara, padahal tugas negara sebenarnya adalah untuk melindungi rakyat Papua dari segala bentuk tindakan yang merugikan.

Meskipun terjadi banyak konflik, termasuk konflik bersenjata, di Papua, sejarah konflik di Bumi Cenderawasih tersebut dapat dirangkum dalam beberapa peristiwa penting. Perlawanan bersenjata OPM pertama kali pecah pada 26 Juli 1965 di Manokwari, dan aktivitas penambangan Freeport pada tahun 1973 diketahui memicu aktivitas militer OPM di wilayah Timika, seperti yang dilaporkan oleh Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC).

Dampak Teror dan Aksi Anarkis OPM
Pagaras membuka catatan tentang serangkaian tindakan teror dan anarkis yang dilakukan oleh gerakan separatis KKB OPM. Pada bulan Mei 1977, sekitar 200 gerilyawan OPM menyerang Freeport dan direspon dengan operasi militer, terutama di Desa Amungme.

Tanah Freeport sendiri sebelumnya merupakan tanah adat suku Amungme dan Komoro, yang merupakan penduduk asli di wilayah tersebut. Berbagai kasus lain juga terus muncul, seperti kasus Wasior pada tahun 2001 dan kasus Wamena pada tahun 2003, yang kembali dipicu oleh konflik antara aparat keamanan dan warga setempat. Gerakan separatis, yang kini sering diidentikkan dengan kelompok kriminal bersenjata, menuduh pemerintah (aparat keamanan) melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Namun, tindakan mereka sebenarnya adalah tindakan makar yang bertentangan dengan hukum nasional, yaitu melawan Pancasila dan UUD 1945.

Gelombang kekerasan yang terjadi pada akhir tahun 2019 menyebabkan delapan orang sipil tewas di Deiyai dalam kerusuhan pada 28 Agustus 2019. Kerusuhan lain terjadi pada 26 September 2019 di Wamena, yang mengakibatkan 33 orang tewas, serta empat orang tewas di Jayapura. Tragedi lain terjadi pada 2 Desember 2018, dimana 31 pekerja proyek jalan raya Trans Papua tewas ditembaki oleh kelompok bersenjata Papua pimpinan Egianus Kogoya di Nduga. Peristiwa ini direspons dengan operasi militer di wilayah Nduga.

Amnesty International Indonesia mencatat bahwa 182 warga sipil Nduga meninggal saat melarikan diri setelah kampung mereka didatangi oleh aparat keamanan yang sedang memburu kelompok Egianus. Gerakan separatis menyalahkan aparat keamanan atas kematian warga sipil, padahal tugas mereka sebenarnya adalah menangkap para pengacau keamanan. Benny Wenda, tokoh pro-kemerdekaan Papua, seringkali dianggap sebagai dalang di balik kerusuhan di Papua.

Korban Jiwa Masyarakat Sipil Akibat Strategi OPM
Pagaras memperhatikan bahwa masyarakat sipil di Papua sering menjadi korban kekerasan bersenjata oleh OPM, disebabkan oleh pengabaian prinsip jarak humaniter, berbaurnya OPM dengan masyarakat sipil, dan kecurigaan berlebih terhadap pendatang. OPM menganggap korban sipil sebagai Collateral Damage, melihat mereka sebagai pihak yang terjebak di tengah kontak senjata sehingga prinsip jarak humaniter terabaikan.

OPM merasa sudah mengumumkan wilayah perang mereka, di mana siapa pun yang berada di wilayah tersebut, dianggap sah untuk dibantai. Strategi OPM yang berbaur dengan masyarakat membuat aparat keamanan sulit membedakan antara KKB dan masyarakat sipil. Contohnya, kasus tertembaknya Pendeta Laban Hagabal saat aparat keamanan mengejar anggota OPM yang tinggal di rumahnya, di Puncak Jaya pada 16 Mei 2021. Selain itu, OPM sering membunuh warga pendatang karena kecurigaan yang berlebihan, menganggap mereka sebagai mata-mata atau antek-antek TNI-Polri. Misalnya, kasus penyanderaan pilot pesawat Susi Air bernama Captain Ian John Terrence Hellyer, warga negara Selandia Baru pada 12 Maret 2021 di Kabupaten Puncak.

Pagaras mencatat bahwa OPM telah melakukan berbagai aksi kekerasan seperti pembakaran Puskesmas di Kiwirok, pembunuhan tukang ojek di Puncak Jaya, dan pembunuhan Kepala Kampung Modusit di Pegunungan Bintang. Data dari Polda Papua menunjukkan bahwa ada 90 kasus kejahatan OPM yang ditangani sepanjang 2022, dengan 53 orang meninggal dunia termasuk anggota TNI, Polri, dan masyarakat sipil. Di tahun 2023, terjadi 209 peristiwa kekerasan kriminal bersenjata dan politik di Papua, menyebabkan 79 orang tewas termasuk warga sipil, prajurit TNI, anggota Polri, dan OPM. Pada tahun 2024, OPM terus melakukan aksi kekerasan seperti pembakaran rumah masyarakat, sekolah, dan kantor pemerintahan.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia RI Papua mencatat 41 kasus kekerasan di Tanah Papua mulai Januari hingga Juni 2024, dengan dominasi peristiwa kontak senjata dan penembakan oleh OPM. Aksi kekerasan ini mengakibatkan 32 orang meninggal dunia dan 21 luka-luka, termasuk korban dari warga sipil, aparat keamanan, dan OPM. Dalam satu kejadian terbaru, OPM menembak mati sopir angkot di Paniai dan membakar mobilnya, menimbulkan kepanikan di masyarakat setempat. Pagaras juga mencatat adanya korban masyarakat sipil yang diduga anggota OPM, namun tokoh masyarakat setempat mengklarifikasi bahwa korban adalah warga biasa.

Dari pengamatan Pagaras, OPM sering beraksi di wilayah pegunungan di Papua, terutama di kabupaten-kabupaten seperti Puncak, Yahukimo, Nduga, dan Intan Jaya. Beberapa kelompok OPM yang dipetakan dengan para pemimpinnya dianggap paling berbahaya, antara lain Lekagak Telenggen dan Egianus Kogoya.

Dengan berbagai aksi kekerasan dan teror yang dilakukan oleh OPM, penting bagi semua pihak untuk bekerja sama dalam menangani konflik di Papua. Kedamaian dan perlindungan bagi masyarakat sipil harus menjadi prioritas utama, dengan menghormati prinsip jarak humaniter dan menghindari kecurigaan berlebih terhadap pendatang. Semoga Papua dapat segera mendapatkan kedamaian dan keamanan yang layak bagi seluruh warganya.

Kesimpulan Pagaras
Pagaras mengapresiasi upaya yang dilakukan oleh Polri dalam mengantisipasi aksi teror OPM di Papua melalui sejumlah operasi seperti Operasi Damai Cartenz, Operasi Rastra Samara Kasih, Operasi Soft Approach, dan Operasi Petik Bintang 2023. Untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat, Polri telah memekarkan Polda di Papua menjadi 6 polda dan 49 polres dengan dukungan 21.500 personel, sekaligus mendukung kebijakan pembentukan daerah otonomi baru.

Gerakan bersenjata yang dilakukan oleh OPM seringkali tidak terkoordinasi dengan baik dan sporadis. Dalam beberapa tahun terakhir, gerakan kemerdekaan Papua ini telah merambah kampanye internasional sebagai upaya untuk mencapai visi yang diinginkan. Namun, upaya tersebut tidak mendapat pengakuan dari negara mana pun di dunia bahwa Papua adalah sebuah negara.

OPM telah melakukan kampanye internasional yang aktif dan mengangkat isu-isu sensitif tentang Papua kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan negara-negara lainnya. Meskipun upaya tersebut dilakukan dengan gencar, namun tidak ada negara yang mengakui Papua sebagai negara merdeka.

Pagaras ingin menegaskan bahwa mendukung kemerdekaan adalah hal yang berbeda dengan mengakui kedaulatan Papua sebagai sebuah negara. Meskipun kampanye internasional dapat memengaruhi opini publik, namun dalam konteks kedaulatan sebuah negara, hukum internasional yang diakui oleh komunitas internasional, termasuk PBB, menjadi parameter utama yang harus dipertimbangkan.

Dengan demikian, Pagaras menyimpulkan bahwa OPM tidak hanya gagal dalam menggunakan kekerasan dan teror untuk mencapai tujuannya di Papua, tetapi juga gagal dalam mempengaruhi dunia internasional untuk mengakui mereka sebagai negara merdeka.

Shalom, Tuhan Jaga

Herdy Ezra Wayoi
Ketua LSM PAGARAS
Papua Garis Keras

Download the Press Release Here

English Version

Waste of Time, Terror and Advocacy of the OPM Separatist Movement
Only Harm the Papuan People
Manokwari, June 20, 2024

The movement of separatism definitively is an effort to separate from a country or achieve independence with various diverse motives. Motives that often arise include dissatisfaction with unfair situations. However, there are also other motives such as foreign intervention seeking to control specific territories, as well as personal and group interests involving economic and political factors. In the case of Papua, separatist movements take on various forms, not just in the form of the commonly known Free Papua Movement (OPM). There are several groups such as the West Papua National Committee (KNPB), United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), and others who participate in the movement. Generally, these movements are categorized as Papua Separatist Groups (KSP), and if they resort to violence with deadly weapons, they can be considered Armed Criminal Groups (KKB).

History shows that separatist movements in Papua have long existed, and often serve as triggers for conflicts in the region. The idea of separatism alone is enough to incite violence, especially when accompanied by the use of weapons. This is often exploited by the mass media to blame security forces or the state, when in reality the state’s duty is to protect the people of Papua from any harmful actions.

Despite many conflicts, including armed conflicts, occurring in Papua, the history of conflict in the Land of Papua can be summarized in several key events. The first armed resistance by the OPM broke out on 26 July 1965 in Manokwari, and the mining activities of Freeport in 1973 were known to trigger OPM military activities in the Timika region, as reported by the Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC).

The Impact of OPM Terror and Anarchist Actions
Pagaras uncovered a series of terrorist and anarchic actions carried out by the separatist movement KKB OPM. In May 1977, around 200 OPM guerrillas attacked Freeport and were met with military operations, particularly in the village of Amungme.

The land of Freeport itself was previously the traditional land of the Amungme and Komoro tribes, who are the indigenous inhabitants of the area. Various other cases continue to emerge, such as the Wasior case in 2001 and the Wamena case in 2003, which were triggered by conflicts between security forces and local residents. The separatist movement, now often identified with armed criminal groups, accuses the government (security forces) of violating human rights. However, their actions are actually seditious acts contrary to national law, namely against Pancasila and the 1945 Constitution.

The wave of violence that occurred in late 2019 resulted in eight civilians killed in Deiyai during riots on August 28, 2019. Another riot occurred on September 26, 2019 in Wamena, resulting in 33 deaths, as well as four deaths in Jayapura. Another tragedy occurred on December 2, 2018, where 31 Trans Papua highway project workers were shot dead by the armed group led by Egianus Kogoya in Nduga. This event was responded to with a military operation in the Nduga region. Amnesty International Indonesia recorded that 182 Nduga civilians died while fleeing after their village was visited by security forces hunting down the Egianus group. The separatist movement blames the security forces for the deaths of civilians, although their actual duty is to apprehend security disruptors. Benny Wenda, a pro-independence figure in Papua, is often seen as the mastermind behind the unrest in Papua.

Civilian Casualties Due to OPM Strategy
It is evident that the civilian population in Papua often falls victim to armed violence by the OPM, due to the disregard for humanitarian principles, the blending of OPM with civilians, and excessive suspicion towards newcomers. The OPM views civilian casualties as Collateral Damage, seeing them as individuals caught in the crossfire where humanitarian principles are neglected. The OPM believes they have declared their war zone, where anyone within that area is deemed legitimate to be slaughtered. The OPM’s strategy of mingling with the community makes it difficult for security forces to differentiate between armed criminal groups and civilians. For instance, the shooting of Pastor Laban Hagabal when security forces were pursuing OPM members residing in his home in Puncak Jaya on May 16, 2021.

Additionally, the OPM frequently targets migrant residents due to unfounded suspicions, viewing them as spies or informants for the military and police. For example, the hijacking of Susi Air pilot Captain Ian John Terrence Hellyer, a New Zealand national, on March 12, 2021, in Puncak Regency. It is noted that the OPM has carried out various violent acts such as burning down health centers in Kiwirok, murdering motorcycle taxi drivers in Puncak Jaya, and killing the Village Chief of Modusit in the Bintang Mountains. Data from the Papua Regional Police show that there were 90 cases of OPM-related crimes handled in 2022, resulting in 53 deaths including members of the military, police, and civilians.

In 2023, there were 209 incidents of armed criminal and political violence in Papua, causing 79 fatalities including civilians, TNI soldiers, police officers, and OPM members. In 2024, the OPM continued their violent actions by burning down homes, schools, and government offices. The National Commission on Human Rights in Papua recorded 41 cases of violence in Papua from January to June 2024, with a dominance of armed clashes and shootings by the OPM. These violent acts led to 32 fatalities and 21 injuries, including civilians, security personnel, and OPM members.

In a recent incident, the OPM fatally shot a public minibus driver in Paniai and set his vehicle on fire, causing panic among the local community. It was also noted that civilian victims suspected of being OPM members were later clarified by local community leaders as ordinary citizens. From observations, the OPM often operates in mountainous regions in Papua, particularly in districts like Puncak, Yahukimo, Nduga, and Intan Jaya. Some OPM groups mapped with their leaders are considered the most dangerous, including Lekagak Telenggen and Egianus Kogoya.

With the various violent and terroristic actions carried out by the OPM, it is crucial for all parties to collaborate in addressing the conflict in Papua. Peace and protection for civilians must be the top priority, respecting humanitarian principles and avoiding unwarranted suspicion towards newcomers. Hopefully, Papua can soon attain the peace and security that all its residents deserve.

Pagaras Conclusion
Pagaras appreciates the efforts made by the Indonesian National Police (Polri) in anticipating OPM terrorist activities in Papua through various operations such as Operation Damai Cartenz, Operation Rastra Samara Kasih, Operation Soft Approach, and Operation Petik Bintang 2023. To protect the community, Polri has expanded the Papua Regional Police into 6 regional police offices and 49 district police offices with the support of 21,500 personnel, while also supporting the policy of forming new autonomous regions.

The armed movements carried out by OPM are often uncoordinated and sporadic. In recent years, this Papua independence movement has extended to international campaigns in pursuit of their vision. However, no country in the world recognises Papua as a separate state. OPM has actively campaigned internationally, raising sensitive issues about Papua to the United Nations (UN) and other countries.

Despite their vigorous efforts, no country acknowledges Papua as an independent state. Pagaras asserts that supporting independence is different from recognising Papua’s sovereignty as a separate state. While international campaigns can influence public opinion, in the context of a nation’s sovereignty, international law recognised by the international community, including the UN, must be the primary consideration.

Therefore, Pagaras concludes that OPM has not only failed in using violence and terror to achieve their goals in Papua but also failed to sway the international community to recognise them as an independent state.

Shalom, Godbless!

Herdy Ezra Wayoi
Head of PAGARAS NGO
Papuan Hardline

Check Also

Himbauan PAGARAS Untuk Mengantisipasi Gangguan Keamanan Pada Pilkada 2024 di Tanah Papua

Jayawijaya, 28 Nopember 2024. PAGARAS mengamati berbagai analisis dari pengamat politik dan keamanan yang meramalkan …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *