Ulasan Pagaras Tentang Dinamika Pengakuan Masyarakat Hukum Adat di Indonesia, dan Kondisi Terkait di Tanah Papua

Sorong, 20 Juni 2024
Indonesia adalah negara yang kaya dengan keberagaman, dimana terdapat 1.128 etnis dan 718 bahasa yang tersebar di 76.655 desa di seluruh nusantara. Keberagaman ini menjadi modal dalam pembangunan negara, sebagaimana yang diwujudkan dalam semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”. Pentingnya keberagaman ini juga diakui dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dimana Masyarakat Hukum Adat (MHA) beserta wilayahnya diakui oleh negara.

Namun, meskipun konstitusi telah mengakui MHA, masih terjadi ketimpangan sosial dan marginalisasi hukum adat. Masyarakat adat perlu mendapatkan perlindungan dan pengakuan yang lebih serius dari pemerintah, seperti melalui pengesahan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat (RUU MHA). RUU ini telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) sebanyak tiga kali, namun belum disahkan oleh pemerintah.

Keberadaan masyarakat adat sangat penting dalam konteks ekologi, kearifan lokal, dan nilai-nilai humanisme. Mereka merupakan penjaga biodiversitas Bumi dan memiliki sistem pengelolaan yang berkelanjutan dari generasi ke generasi. Namun, peran sentral masyarakat adat sering terganggu karena konflik sengketa lahan dan keterbatasan akses terhadap fasilitas dan hak dasar sebagai warga negara.

Pagaras telah berkomunikasi dengan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) untuk mendapatkan informasi lebih lanjut mengenai konflik yang melibatkan masyarakat adat. Konflik terutama terkait sengketa lahan, perkebunan, kehutanan, pembangunan infrastruktur, pertambangan, dan fasilitas militer. Di Papua, masyarakat adat juga menghadapi keterbatasan akses terhadap fasilitas pendidikan dan kesehatan. Meskipun ada program percepatan pembangunan di Papua, masih banyak kendala yang dihadapi, seperti sulitnya akses ke pusat kesehatan dan pendidikan yang jauh.

Pembangunan infrastruktur di Papua telah dipercepat dan diperbanyak dalam era pemerintahan Presiden Jokowi. Pembangunan jalan raya, jembatan, gedung sekolah, fasilitas olahraga, dan bandara dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pembangunan Jalan Trans Papua sepanjang kurang lebih dari 4.600 KM, membuka daerah yang terisolasi, mempersingkat waktu tempuh perjalanan, dan memangkas biaya distribusi yang dulunya harus menggunakan angkutan udara yang relatif mahal.

Beasiswa Otsus juga diberikan agar anak-anak Papua dapat mengenyam pendidikan dari SD sampai perguruan tinggi. Kini banyak anak asli Papua mengenyam Pendidikan di kampus bergengsi, baik di dalam, maupun di luar negeri. Kehadiran BBM satu harga di Papua telah dinanti-nanti oleh masyarakat, sehingga mereka dapat membeli BBM dengan harga yang lebih murah dan terjangkau. Semua upaya ini merupakan bagian dari kerangka besar dalam menjawab solusi permasalahan yang ada di Papua.

Dengan demikian, penting bagi pemerintah untuk memberikan perlindungan dan pengakuan yang lebih serius kepada masyarakat adat, serta terus mempercepat pembangunan dan memperbaiki akses terhadap fasilitas dan hak dasar bagi seluruh masyarakat di Indonesia, termasuk di Papua.

Kebijakan Otsus Mengakomodir Kewenangan dan Kelembagaan Khusus Papua
Pemberian otonomi khusus kepada Papua melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 merupakan langkah penting untuk mempertahankan integrasi bangsa dalam NKRI. Otonomi khusus ini memberikan perhatian khusus pada orang asli Papua (OAP) sebagai subjek utama dalam pembangunan di wilayah tersebut. Seiring berjalannya waktu, UU tersebut telah mengalami dua kali perubahan, yaitu dengan UU Nomor 35 Tahun 2008 dan UU Nomor 2 Tahun 2021.

Perubahan pertama pada UU Otsus Papua tahun 2008 bertujuan untuk mengakomodasi pembentukan Provinsi Papua Barat serta mengubah sistem pemilihan gubernur dan wakil gubernur menjadi langsung, sejalan dengan daerah lainnya. Sedangkan perubahan kedua pada UU Otsus Papua tahun 2021 dilakukan untuk menyempurnakan kebijakan-kebijakan terkait pelaksanaan kewenangan khusus, penyelenggaraan pemerintahan, pemberian dana otsus, dan tata kelola dana tersebut.

Untuk lebih lanjut melaksanakan UU Otsus Papua, Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 106 Tahun 2021 tentang Kewenangan dan Kelembagaan Kebijakan Otonomi Khusus Papua serta Peraturan Pemerintah Nomor 107 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Dana Otsus Provinsi Papua. Kewenangan provinsi dan kabupaten/kota di Papua diatur secara khusus dalam UU Otsus Papua dan PP Kewenangan Papua.

Dalam melaksanakan amanat UU Otsus, pemerintah provinsi Papua membentuk peraturan daerah khusus (perdasus) yang mengatur beberapa hal, seperti pertimbangan terhadap perjanjian internasional, tugas MRP, pembagian penerimaan hasil tambang, serta pengelolaan sumber daya alam. Pasal 1 huruf g UU Otsus menegaskan peran MRP sebagai representasi kultural OAP yang memiliki kewenangan dalam perlindungan hak-hak mereka berdasarkan adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan memantapkan kerukunan hidup beragama.

Kewenangan yang dimiliki oleh daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota secara umum telah diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang. Khusus untuk daerah di Papua, diberi kewenangan khusus yang diatur tersendiri baik di UU Otsus Papua maupun PP Kewenangan Papua. Dalam rangka melaksanakan amanat pasal-pasal tertentu dalam UU Otsus, pemerintahan daerah provinsi membentuk peraturan daerah khusus (perdasus) Papua.

Pengakuan terhadap hak dan masyarakat adat Papua tertuang secara resmi dalam kebijakan otsus ini, menunjukkan komitmen pemerintah dalam menghormati dan melindungi keberagaman budaya serta hak-hak masyarakat Papua. Dengan demikian, implementasi otonomi khusus di Papua diharapkan dapat memberikan manfaat yang nyata bagi pembangunan dan kesejahteraan masyarakat setempat, serta menjaga persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.

Dampak Konflik Bagi Masyarakat Papua
Pemberian otonomi khusus kepada Papua melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 merupakan langkah strategis yang penting untuk memperkuat integrasi bangsa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Otonomi khusus ini memberikan perhatian yang lebih fokus pada orang asli Papua (OAP) sebagai subjek utama dalam proses pembangunan di wilayah tersebut. Seiring berjalannya waktu, Undang-Undang tersebut telah mengalami dua kali perubahan, yaitu dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021.

Perubahan pertama pada Undang-Undang Otsus Papua tahun 2008 bertujuan untuk mengakomodasi pembentukan Provinsi Papua Barat serta merubah sistem pemilihan gubernur dan wakil gubernur menjadi langsung, sejalan dengan daerah-daerah lainnya di Indonesia. Sedangkan perubahan kedua pada Undang-Undang Otsus Papua tahun 2021 dilakukan untuk menyempurnakan kebijakan-kebijakan terkait pelaksanaan kewenangan khusus, penyelenggaraan pemerintahan, pemberian dana otonomi khusus, dan tata kelola dana tersebut.

Untuk lebih lanjut melaksanakan Undang-Undang Otsus Papua, Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 106 Tahun 2021 tentang Kewenangan dan Kelembagaan Kebijakan Otonomi Khusus Papua serta Peraturan Pemerintah Nomor 107 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Dana Otonomi Khusus Provinsi Papua. Kewenangan provinsi dan kabupaten/kota di Papua diatur secara khusus dalam Undang-Undang Otsus Papua dan Peraturan Pemerintah Kewenangan Papua.

Dalam menjalankan amanat Undang-Undang Otsus, pemerintah provinsi Papua telah membentuk peraturan daerah khusus (perdasus) yang mengatur beberapa hal, seperti pertimbangan terhadap perjanjian internasional, tugas Majelis Rakyat Papua (MRP), pembagian penerimaan hasil tambang, serta pengelolaan sumber daya alam. Pasal 1 huruf g Undang-Undang Otsus menegaskan peran MRP sebagai representasi kultural OAP yang memiliki kewenangan dalam perlindungan hak-hak mereka berdasarkan adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan memantapkan kerukunan hidup beragama.

Pengakuan terhadap hak dan masyarakat adat Papua yang tertuang secara resmi dalam kebijakan otonomi khusus ini, menunjukkan komitmen pemerintah dalam menghormati dan melindungi keberagaman budaya serta hak-hak masyarakat Papua. Dengan demikian, implementasi otonomi khusus di Papua diharapkan dapat memberikan manfaat yang nyata bagi pembangunan dan kesejahteraan masyarakat setempat, serta menjaga persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.

Pengakuan Negara Terhadap Hutan Adat Papua
Sejak diberlakukannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 Tahun 2012, animo terhadap usulan pengakuan hutan adat telah semakin meningkat. Putusan tersebut menegaskan bahwa hutan adat bukanlah bagian dari hutan negara, yang kemudian diatur lebih lanjut melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta Peraturan Mendagri tentang Pedoman Pengakuan Masyarakat Adat. Proses pengakuan hutan adat ini melibatkan pembuktian eksistensi masyarakat hukum adat dan memerlukan waktu yang cukup panjang melalui riset dan dukungan fasilitator.

Meskipun prosesnya terbilang lambat, Pagaras memberikan apresiasi kepada pemerintah atas langkah-langkah yang telah diambil. Pada tahun 2022, tujuh hutan adat di Tanah Papua berhasil ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Hal ini merupakan langkah pertama pemerintah dalam mengakui hutan adat di Tanah Papua setelah putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2012. Hutan adat tersebut terdiri dari enam Surat Keputusan (SK) di Kabupaten Jayapura dan satu SK di Kabupaten Teluk Bintuni.

Tujuh hutan adat itu terdiri dari enam Surat Keputusan (SK) Hutan Adat di Kabupaten Jayapura, atas nama Marga Syuglue Woi Yonsu seluas 14.602,96 hektare, Yano Akura 2.177,18 hektare, Yano Meyu 411,15 hektare, Yosu Desoyo 3.392,97 hektare, Yano Wai 2.593,74 hektare, dan Takwobleng 404,9 hektare, lainnya Marga Ogoney di Kabupaten Teluk Bintuni seluas 16.299 hektare.

Pagaras juga memberikan apresiasi terkait realisasi dari komitmen pemerintah pusat dan daerah untuk melakukan evaluasi perizinan usaha pemanfaatan sumber daya alam. Menteri LHK telah menerbitkan SK.01/MENLHK/KUM.1/1/2022 tentang Pencabutan Izin Konsesi Kawasan Hutan, dan mencabut sekitar 55 izin usaha perkebunan, pengusahaan hasil hutan dan hutan tanaman industri di Tanah Papua.

Namun demikian, Pagaras juga menyayangkan bahwa pemulihan dan pengembalian hak masyarakat adat Papua yang dialihkan secara paksa masih belum dilakukan. Data yang berhasil dihimpun menunjukkan bahwa sekitar 2.061.538 hektare kawasan hutan di Tanah Papua telah dialihkan kepada perusahaan perkebunan dan hutan tanaman industri. Dari luas tersebut, sekitar 120.255 hektare tutupan hutan telah hilang untuk kegiatan bisnis. Artinya, dari angka tersebut, tutupan hutan pada areal konsesi yang masih tersisa luasnya sekitar 1.948.283 hektare. Kawasan hutan dimaksud berada dalam wilayah adat dan masih dalam penguasaan masyarakat adat.

Dalam perkembangan terbaru, masyarakat adat di Distrik Konda, Kabupaten Sorong Selatan, Papua Barat Daya, akhirnya mendapatkan pengakuan atas wilayah adat mereka seluas lebih dari 40.000 hektar. Pengakuan ini menjadi hasil dari perjuangan mereka selama tiga tahun untuk mengelola hutan secara mandiri dan lestari. Hal serupa juga terjadi di wilayah masyarakat adat Knasaimos di Sorong Selatan, Papua Barat, yang resmi diakui secara hukum oleh negara.

Melalui Surat Keputusan Bupati Sorong Selatan, masyarakat adat Knasaimos, Papua Barat, mendapatkan pengakuan atas wilayah adat mereka seluas 97.441 hektare, mencakup dua distrik: Saifi dan Seremuk. Pengakuan ini mencakup permukiman, hutan, serta sumber daya alam lainnya yang ada di wilayah adat tersebut. Langkah selanjutnya adalah pencatatan status wilayah adat ke Badan Pertanahan Nasional.

Dari dua momentum pengakuan tersebut, terlihat adanya komitmen yang kuat dari masyarakat setempat dan pemerintah pusat dalam melindungi lingkungan serta memastikan kesejahteraan masyarakat adat. Semoga langkah-langkah ini dapat terus berjalan beriringan untuk mencapai tujuan yang lebih baik bagi keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat adat di Tanah Papua.

Kesimpulan Pagaras
Pagaras memperhatikan bahwa polemik yang berkaitan dengan pemenuhan hak dasar, penyelesaian konflik sengketa lahan yang berkepanjangan, serta pengakuan hak dan masyarakat adat, memerlukan pendekatan yang lebih humanis dalam menyelesaikan masalah tersebut. Pendekatan humanis ini menempatkan masyarakat adat sebagai subjek utama dalam upaya pemberdayaan dan penyelesaian konflik yang terjadi.

Pagaras menyadari bahwa investasi di Tanah Papua sangat penting, namun perlu ada keseimbangan yang tidak merugikan masyarakat adat. Oleh karena itu, Pagaras mendorong pemerintah untuk mengadopsi pendekatan antropologi selain pendekatan hukum. Pendekatan ini diperlukan untuk memahami bagaimana cara terbaik dalam memperlakukan masyarakat adat dan menyelesaikan konflik yang ada.

Penambahan jumlah dan luas Hutan Adat di Indonesia dipengaruhi oleh kerjasama antara pemerintah pusat dan daerah dalam mendorong terbitnya peraturan daerah tentang Hutan Adat serta pelaksanaan verifikasi lapangan oleh Tim Terpadu. Strategi ini menjadi langkah penting dalam meningkatkan pengakuan terhadap Hutan Adat setiap tahunnya. Pagaras menyesalkan bahwa masih terdapat penyelesaian masalah yang dilakukan tanpa mempertimbangkan masyarakat adat sebagai entitas utama yang telah lama mendiami wilayah tersebut. Pemerintah perlu mengadopsi pendekatan yang lebih humanis yang berangkat dari kebutuhan dan kearifan lokal masyarakat adat. Sudut pandang yang digunakan harus kembali kepada masyarakat adat, bukan memaksa sudut pandang institusi yang tidak sesuai dengan sistem kesukuan mereka.

Oleh karena itu, Pagaras mendesak pemerintah dan lembaga legislatif untuk segera mengesahkan RUU MHA sebagai langkah untuk menjaga keberagaman di Indonesia serta mengakui, mengatur, dan melindungi masyarakat adat sesuai dengan hak-haknya. RUU MHA juga akan menjadi dasar hukum pengakuan masyarakat adat di Indonesia.

Kebijakan Otsus Papua dapat dijadikan contoh yang baik dan menjadi landasan yang kuat dalam proses pengakuan hak dan masyarakat adat di Papua, termasuk dalam pengelolaan hutan dan sumber daya alam yang terkandung di dalamnya. Dengan demikian, diharapkan adanya peningkatan perlindungan terhadap masyarakat adat dan pemanfaatan sumber daya alam yang berkelanjutan di Indonesia.

Shalom, Tuhan Jaga

Herdy Ezra Wayoi
Ketua LSM PAGARAS
Papua Garis Keras

Download the Press Release Here

English Translation

Pagaras Review of the Dynamics of Recognition of Customary Law Communities
in Indonesia, and Related Conditions in the Land of Papua
Sorong, June 20, 2024

Indonesia is a country rich in diversity, with 1,128 ethnic groups and 718 languages spread across 76,655 villages throughout the archipelago. This diversity serves as a foundation for national development, as embodied in the motto “Bhinneka Tunggal Ika” (Unity in Diversity). The importance of this diversity is also recognised in Law Number 41 of 1999 on Forestry, which acknowledges Indigenous Peoples and their territories. However, despite constitutional recognition of Indigenous Peoples, social inequalities and marginalisation persist.

Indigenous communities require greater protection and recognition from the government, such as through the enactment of the Indigenous Peoples Bill (RUU MHA). This bill has been included in the National Legislative Program (Prolegnas) three times, but has yet to be passed by the government. Indigenous communities play a crucial role in ecological conservation, local wisdom, and humanistic values. They are the guardians of Earth’s biodiversity and possess sustainable management systems passed down through generations.

However, the central role of Indigenous Peoples is often disrupted by land disputes and limited access to facilities and basic rights as citizens. Pagaras has engaged with the Indigenous Peoples Alliance of the Archipelago (AMAN) to gather more information on conflicts involving Indigenous Peoples, particularly those related to land disputes, plantations, forestry, infrastructure development, mining, and military facilities.

In Papua, Indigenous Peoples also face challenges in accessing education and healthcare facilities. Despite acceleration programs for development in Papua, there are still obstacles, such as difficulties in accessing healthcare and education centers located far away. Infrastructure development in Papua has been accelerated and expanded under President Jokowi’s administration, with the construction of highways, bridges, schools, sports facilities, and airports aimed at improving the welfare of the people. Special autonomy scholarships are also provided to ensure that Papuan children receive education from elementary school to university.

The introduction of a uniform fuel price in Papua has been eagerly awaited by the community, enabling them to purchase fuel at a cheaper and more affordable price. All these efforts are part of a larger framework in addressing the issues faced in Papua. Therefore, it is crucial for the government to provide greater protection and recognition to Indigenous Peoples, as well as to continue accelerating development and improving access to facilities and basic rights for all communities in Indonesia, including those in Papua.

Special Autonomy Policy Accommodates Papua’s Special Authorities and Institutions
The granting of special autonomy to Papua through Law Number 21 of 2001 is a crucial step in maintaining national integration within the Unitary State of the Republic of Indonesia. This special autonomy provides particular attention to the indigenous Papuans as the main subjects in the development of the region. Over time, this law has undergone two amendments, namely with Law Number 35 of 2008 and Law Number 2 of 2021.

The first amendment to the Special Autonomy Law for Papua in 2008 aimed to accommodate the formation of West Papua Province and change the system of direct election of governors and deputy governors, in line with other regions. Meanwhile, the second amendment to the Special Autonomy Law for Papua in 2021 was carried out to refine policies related to the implementation of special authorities, governance, allocation of special autonomy funds, and the management of these funds.

To further implement the Special Autonomy Law for Papua, the Government has issued Government Regulation Number 106 of 2021 concerning the Authority and Institutional Policy of Special Autonomy for Papua, as well as Government Regulation Number 107 of 2021 concerning the Management of Special Autonomy Funds for Papua Province. The authority of provinces and districts/cities in Papua is specifically regulated in the Special Autonomy Law for Papua and the Government Regulation on Papua’s Authority.

In fulfilling the mandate of the Special Autonomy Law, the Papua provincial government has established special regional regulations (perdasus) that regulate various aspects, such as considerations towards international agreements, the duties of the Papuan People’s Assembly (MRP), revenue sharing from mining activities, and the management of natural resources. Article 1 letter g of the Special Autonomy Law emphasizes the role of the MRP as a cultural representation of indigenous Papuans with authority in protecting their rights based on customs and culture, empowering women, and fostering religious harmony.

The recognition of the rights and customary communities of Papua is formally enshrined in this special autonomy policy, demonstrating the government’s commitment to respecting and protecting cultural diversity and the rights of the Papuan people. Therefore, the implementation of special autonomy in Papua is expected to bring tangible benefits to the development and welfare of the local community, while also upholding the unity and integrity of the Indonesian nation.

The Impact of Conflict on the Papuan People
The granting of special autonomy to Papua through Law Number 21 of 2001 is a strategic step that is crucial in strengthening national integration within the Unitary State of the Republic of Indonesia. This special autonomy places a greater focus on the indigenous Papuan people as the main subjects in the development process in the region. Over time, this law has undergone two amendments, namely with Law Number 35 of 2008 and Law Number 2 of 2021.

The first amendment to the Special Autonomy Law for Papua in 2008 aimed to accommodate the formation of West Papua Province and change the system of direct election of governors and deputy governors, in line with other regions in Indonesia. Meanwhile, the second amendment to the Special Autonomy Law for Papua in 2021 was made to refine policies related to the implementation of special authorities, governance, allocation of special autonomy funds, and management of these funds.

To further implement the Special Autonomy Law for Papua, the Government has issued Government Regulation Number 106 of 2021 concerning the Authority and Institutional Policy of Special Autonomy for Papua, as well as Government Regulation Number 107 of 2021 concerning the Management of Special Autonomy Funds for Papua Province. The authority of provinces and districts/cities in Papua is specifically regulated in the Special Autonomy Law for Papua and the Government Regulation on Papua’s Authority.

In carrying out the mandate of the Special Autonomy Law, the provincial government of Papua has established special regional regulations (perdasus) that regulate various aspects, such as considerations towards international agreements, the duties of the Papuan People’s Assembly (MRP), revenue sharing from mining activities, and the management of natural resources. Article 1 letter g of the Special Autonomy Law emphasizes the role of the MRP as a cultural representation of the indigenous Papuan people with authority in protecting their rights based on customs and culture, empowering women, and fostering religious harmony.

The recognition of the rights and indigenous communities of Papua officially enshrined in this special autonomy policy demonstrates the government’s commitment to respecting and protecting cultural diversity and the rights of the Papuan people. Therefore, it is hoped that the implementation of special autonomy in Papua will bring tangible benefits to the development and welfare of the local communities, while also maintaining the unity and integrity of the Indonesian nation.

State Recognition of Papuan Customary Forests
Since the implementation of Constitutional Court Decision Number 35 of 2012, there has been a growing interest in proposals for the recognition of customary forests. This decision clarifies that customary forests are not part of state forests, and is further regulated by the Ministry of Environment and Forestry and the Ministry of Home Affairs through guidelines for the recognition of indigenous communities. The process of recognising customary forests involves proving the existence of customary law communities and requires a considerable amount of time through research and facilitator support. Despite the somewhat slow process, Pagaras appreciates the government’s efforts in this regard.

In 2022, seven customary forests in Papua were successfully designated by the Ministry of Environment and Forestry. This marks the government’s first step in recognising customary forests in Papua following the Constitutional Court decision in 2012. These customary forests consist of six Decrees in Jayapura Regency and one Decree in Teluk Bintuni Regency. Pagaras also commends the government’s efforts in evaluating permits for natural resource utilisation in Papua. The revocation of forest concession permits and permits for plantation and industrial timber businesses by the Ministry of Environment and Forestry is a positive step towards environmental sustainability.

However, Pagaras is disappointed that the restoration and return of land rights forcibly taken from indigenous Papuan communities have not yet been carried out. Data shows that approximately 2,061,538 hectares of forest land in Papua have been transferred to plantation and industrial timber companies. Of this area, around 120,255 hectares of forest cover have been lost to business activities, while the remainder is still under the control of indigenous communities.

In recent developments, indigenous communities in Konda District, South Sorong Regency, Southwest Papua, have finally received recognition for their customary territory spanning over 40,000 hectares. This recognition is the result of their three-year struggle to manage the forest sustainably and independently. A similar situation occurred in the Knasaimos indigenous community in South Sorong, West Papua, which was legally recognised by the state.

Through a Decree from the South Sorong Regent, the Knasaimos indigenous community received recognition for their customary territory covering 97,441 hectares, including settlements, forests, and other natural resources in the area. The next step is to register the status of the customary territory with the National Land Agency.

These two instances of recognition demonstrate a strong commitment from local communities and the central government to protect the environment and ensure the well-being of indigenous communities. It is hoped that these efforts will continue to progress in tandem towards achieving a better future for environmental sustainability and the well-being of indigenous communities in Papua.

Pagaras Conclusion
It is important to pay attention to the polemics surrounding the fulfilment of basic rights, the resolution of long-standing land dispute conflicts, and the recognition of indigenous rights and communities, as they require a more humanistic approach in addressing these issues. This humanistic approach places indigenous communities as the main subjects in efforts towards empowerment and conflict resolution.

It is acknowledged that investment in Papua is crucial, but there needs to be a balance that does not disadvantage indigenous communities. Therefore, it is advocated for the government to adopt an anthropological approach alongside legal approaches. This approach is necessary to understand the best way to treat indigenous communities and resolve existing conflicts.

The increase in the number and size of Customary Forests in Indonesia is influenced by cooperation between the central and regional governments in promoting the issuance of regional regulations on Customary Forests and conducting field verifications by Integrated Teams. This strategy is a crucial step in enhancing recognition of Customary Forests each year. It is regrettable that there are still issue resolutions carried out without considering indigenous communities as the main entities that have long inhabited the area. The government needs to adopt a more humanistic approach based on the needs and local wisdom of indigenous communities. The perspective used must return to the indigenous communities, rather than imposing institutional perspectives that do not align with their kinship systems.

Therefore, it is urged for the government and legislative institutions to promptly pass the MHA Bill as a step towards preserving diversity in Indonesia and recognizing, regulating, and protecting indigenous communities in accordance with their rights. The MHA Bill will also serve as the legal basis for the recognition of indigenous communities in Indonesia.

The Papua Special Autonomy Policy can serve as a good example and a strong foundation in the process of recognizing indigenous rights and communities in Papua, including in the management of forests and natural resources within them. This is expected to lead to increased protection for indigenous communities and sustainable utilization of natural resources in Indonesia.

Shalom, Godbless!

Herdy Ezra Wayoi
Head of PAGARAS NGO
Papuan Hardline

Check Also

Himbauan PAGARAS Untuk Mengantisipasi Gangguan Keamanan Pada Pilkada 2024 di Tanah Papua

Jayawijaya, 28 Nopember 2024. PAGARAS mengamati berbagai analisis dari pengamat politik dan keamanan yang meramalkan …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *