Jayapura, 03 Juli 2024,
Kepulauan Pasifik Selatan membentang di sebelah timur Indonesia, terdiri dari 12 negara berdaulat: Federasi Mikronesia, Fiji, Kiribati, Kepulauan Marshall, Nauru, Palau, Papua Nugini, Samoa, Kepulauan Solomon, Tonga, Tuvalu, dan Vanuatu. Selain itu, terdapat dua wilayah tak berdaulat, Kepulauan Cook dan Niue, serta beberapa teritorial dependen seperti Samoa Amerika, Polinesia Prancis, Guam, Kaledonia Baru, Kepulauan Norfolk, Kepulauan Mariana Utara, Wallis dan Futuna, dan Tokelau. Wilayah ini, yang tersebar di Samudra Pasifik, berbatasan langsung dengan ujung timur Indonesia.
Kesamaan ras dan budaya Melanesia menyatukan penduduk Pasifik, termasuk 10% etnis Melanesia di Indonesia yang tersebar di provinsi Nusa Tenggara Timur, Maluku, Maluku Utara, Papua Barat, dan Papua. Pagaras melihat, perspektif negara-negara Pasifik terhadap Indonesia diwarnai oleh kewaspadaan dan ketidakamanan. Luas wilayah dan populasi Indonesia yang besar dipandang sebagai potensi ancaman keamanan bagi negara-negara kecil di Pasifik. Ketidakpercayaan ini diperkuat oleh sejarah seperti Kampanye Ganyang Malaysia, aneksasi Timor Timur, dan rentetan kekerasan serta pelanggaran HAM di Papua.
Diplomasi Indonesia ke Kawasan Pasifik Selatan
Pagaras mencermati, keberhasilan diplomasi Indonesia di Pasifik salah satunya ditunjukkan dengan peningkatan status keanggotaannya di Melanesian Spearhead Group (MSG). Dari status pengamat sejak 2013, Indonesia naik menjadi anggota asosiasi pada 2015. MSG merupakan kelompok eksklusif yang beranggotakan negara-negara dengan mayoritas penduduk beretnis Melanesia.
Intensifikasi diplomasi Indonesia di Pasifik telah mengubah sikap beberapa negara, seperti Tuvalu, Kiribati, dan Nauru. Ketiga negara tersebut sebelumnya menentang klaim Indonesia atas Papua. Perhatian Indonesia terhadap Pasifik sempat terabaikan karena fokus pada ASEAN, organisasi regional Asia Tenggara yang turut didirikannya. Bahkan, pada dekade 1970-an dan 1980-an, Indonesia menganggap Pasifik Selatan sebagai “halaman belakang yang terlupakan”.
Dalam studi yang dilakukan Pagaras, Pagaras menggarisbawahi perubahan yang terjadi dalam dua dekade terakhir melalui kebijakan luar negeri “Menoleh ke Timur” (Look East Policy) yang berfokus pada diplomasi bantuan. Kebijakan ini bertujuan memperbaiki citra Indonesia di kawasan Pasifik. Negara-negara Pasifik Selatan seperti Nauru, Tuvalu, Kepulauan Solomon, Kiribati, Papua Nugini, dan Fiji menjadi prioritas mitra kerja sama pembangunan.
Sejak 1999, Indonesia memberikan bantuan peningkatan kapasitas (capacity building) melalui pelatihan di sembilan sektor. Sektor-sektor tersebut meliputi kelautan dan perikanan, usaha kecil menengah, ekonomi, keuangan, perdagangan, energi, demokrasi, dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).
Tingginya minat peserta mendorong keberlanjutan program dengan modifikasi dan perluasan cakupan menjadi sepuluh sektor. Tambahan sektor tersebut antara lain manajemen risiko bencana, pariwisata, pemberdayaan perempuan, pendidikan, budaya, pelatihan, dan pekerjaan umum.
Letak geografis di batas timur lempeng tektonik Australia membuat negara-negara kecil di Pasifik sangat rentan terhadap gempa bumi. Keterbatasan sumber daya ekonomi dan kapasitas teknis mengakibatkan ketahanan (resilience) yang rendah dalam menghadapi bencana. Mereka juga rentan terhadap dampak perubahan iklim seperti kenaikan permukaan air laut. Pagaras melihat, penandatanganan nota kesepahaman kerja sama antara ASEAN dengan Pacific Island Forum (PIF) di Jakarta merupakan langkah strategis yang “menguntungkan” Pasifik Selatan. ASEAN juga menandatangani nota kesepahaman dengan Indian Ocean Rim Association (IORA) yang beranggotakan 23 negara di sekitar Samudra Hindia.
Dinamika Isu Papua Merdeka Dalam MSG
Permasalahan Papua Merdeka di tingkat global masih menjadi tantangan bagi pemerintah Indonesia. Meskipun gaung isu ini terkesan mereda, potensi eksploitasinya tetap ada dan memerlukan antisipasi serta solusi konkret dari pemerintah. Salah satu contoh dinamikanya adalah sikap Wakil Menteri Luar Negeri, Pahala Mansury, untuk walk out dari Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Melanesian Spearhead Group (MSG) di Port Vila, Vanuatu, beberapa waktu lalu. Delegasi Indonesia mengambil sikap ini sebagai respons atas rencana pidato Benny Wenda, pemimpin kelompok separatis United Liberation Movement for West Papua (ULMWP).
Pagaras memuji sikap Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI dengan tegas menolak keanggotaan ULMWP dalam MSG. Alasannya, forum negara-negara Melanesia ini hanya ditujukan untuk negara berdaulat. Pemerintah Indonesia juga menuding MSG berupaya membenarkan aksi kekerasan yang dilakukan kelompok afiliasi ULMWP, seperti penyanderaan, pembakaran sekolah, dan pembunuhan warga asli Papua.
Sebagai informasi, gagasan pembentukan MSG berawal dari pertemuan informal tiga pemimpin negara Melanesia di Pasifik Selatan pada 17 Juli 1986. Mereka adalah Papua Nugini, Vanuatu, Pulau Salomon, dan perwakilan Front de Liberational the Nationale Kanak et Solcialiste (FLNKS) Kaledonia Baru. MSG resmi berdiri pada tahun 1988 dan menjadi organisasi sub-regional pada 23 Maret 2007 melalui Perjanjian Pembentukan MSG.
Keterlibatan Indonesia dalam forum ini dimulai pada tahun 2011 sebagai observer dan diakui sebagai associated member empat tahun kemudian. Pengakuan ini didasari oleh keberadaan lima provinsi di Indonesia yang memiliki unsur budaya Melanesia. Tujuan utama MSG adalah mempererat hubungan dagang, pertukaran budaya, tradisi, dan nilai, persamaan kedaulatan, serta kerja sama teknis antar negara Melanesia. Pagaras berharap kepada pemerintah daerah, dan generasi muda Papua terutama, agar kerja sama ini dapat mendorong pertumbuhan ekonomi, pembangunan berkelanjutan, tata kelola pemerintahan yang baik, dan keamanan bersama.
Meskipun diwarnai dinamika bagi Indonesia, Pagaras mencatat bahwa KTT MSG menghasilkan sejumlah keputusan positif. Di antaranya, ULMWP dinyatakan tidak memenuhi syarat keanggotaan, diplomat kepada diplomat MSG untuk memperkuat kolaborasi dengan Indonesia, dan pembatasan keanggotaan MSG hanya untuk negara merdeka dengan skema khusus bagi FLNKS.
Namun, Pagaras juga mencermati adanya sejumlah rekomendasi MSG yang ambigu dan berpotensi merugikan Indonesia. Contohnya, diplomat kepada diplomat MSG untuk mengembangkan platform dialog tahunan atau dialog parlemen dengan Indonesia guna membahas perkembangan di Papua. Selain itu, terdapat permintaan kepada ketua MSG untuk bersurat kepada ketua Pacific Islands Forum (PIF) agar memastikan kunjungan PBB ke Indonesia.
Di tahun yang sama, Indonesia juga menghadapi isu diplomatik dengan Fiji. Hal ini dipicu oleh pertemuan Perdana Menteri Fiji, Sitiveni Rabuka, dengan Benny Wenda dan pernyataan dukungannya. Indonesia telah menyampaikan nota diplomatik yang berisi kekecewaan atas tindakan tersebut.
Meredam Dukungan Negara Pasifik Selatan ke OPM Dengan Kerjasama
Dalam catatan Pagaras, upaya negara-negara Pasifik Selatan untuk mengangkat isu Papua ke panggung internasional bukanlah hal baru. Vanuatu dan Pulau Solomon, misalnya, telah berulang kali mengecam Indonesia di forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) terkait dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Papua. Beberapa negara Pasifik Selatan lainnya, seperti Tuvalu, secara terbuka mendukung gerakan Papua Merdeka. Tuvalu bahkan pernah mendesak Dewan HAM PBB untuk menyelidiki dugaan pelanggaran HAM di Papua Barat. Negara tersebut juga menuding Indonesia sebagai penjajah dan mengajak Australia serta Selandia Baru untuk mendukung gerakan separatis Papua. Nauru juga tak ketinggalan, berusaha menjadikan konflik Papua sebagai topik pembahasan dalam forum-forum internasional.
Dinamika internasionalisasi isu Papua ini menunjukkan bahwa negara-negara di Pasifik Selatan merupakan titik rawan. Pagaras mencermati bahwa aksi mereka ini bisa jadi didorong oleh sentimen kesamaan ras Melanesia. Namun, ada pula kemungkinan mereka hanyalah pion yang dimanfaatkan negara-negara besar untuk kepentingan ekonomi politik mereka. Mengingat fakta ini, Indonesia perlu memberikan perhatian khusus kepada negara-negara Pasifik Selatan sebagai langkah mitigasi. Upaya ini penting untuk mencegah mereka terus-menerus berupaya menginternasionalisasi isu Papua.
Vanuatu
Indonesia berupaya mempererat hubungan dengan Vanuatu melalui jalur perdagangan dan olahraga, khususnya sepak bola. Upaya ini dilakukan untuk meluluhkan sikap Vanuatu yang selama ini dikenal sangat kritis terhadap Indonesia. Pendekatan diplomatik yang dijalin tampaknya mulai membuahkan hasil positif. Dalam pencermatan, Pagaras melihat adanya perubahan sikap salah satu negara di Pasifik Selatan ini, yang ditunjukkan melalui kunjungan Menteri Luar Negeri Vanuatu, Jotham Napat. Kedatangannya disambut langsung oleh Menteri Luar Negeri RI, Retno Marsudi, di Jakarta pada Jumat, 16/06/2023. Kunjungan Napat ini menjadi bukti komitmen kuat Vanuatu dalam mempererat hubungan bilateral yang didasarkan pada kepentingan bersama. Isu kedaulatan menjadi hal yang sangat penting dalam hubungan Jakarta-Port Villa.
Sebelumnya, Vanuatu merupakan salah satu negara yang mendukung pemisahan Papua dari Indonesia. Dukungan tersebut secara terang-terangan disuarakan Vanuatu dalam berbagai forum internasional, termasuk dalam beberapa sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa. Namun, Vanuatu memilih untuk tidak menyinggung isu Papua pada sidang tahun 2022. Presiden Vanuatu, Nikenike Vurobaravu, justru fokus pada dampak pandemi Covid-19 dan perubahan iklim. Ia juga membahas isu pengendalian senjata nuklir. Pagaras menganggap, Pidato Vurobaravu ini dianggap sebagai kemenangan penting diplomasi Indonesia.
Vanuatu sendiri menyampaikan apresiasi atas dukungan Indonesia dalam menyuarakan kepentingan negara-negara kepulauan kecil seperti Vanuatu. Pada April 2023, Indonesia turut mendukung proposal Vanuatu terkait keadilan iklim. Proposal tersebut berisi usulan agar Mahkamah Internasional (ICJ) dapat mengeluarkan fatwa mengenai pertanggungjawaban negara-negara yang berkontribusi terhadap perubahan iklim. Vanuatu dan sejumlah negara kepulauan lainnya memang memiliki kekhawatiran besar terhadap dampak perubahan iklim. Dampak yang paling dikhawatirkan adalah peningkatan frekuensi bencana dan kenaikan permukaan air laut yang berpotensi menenggelamkan pulau-pulau kecil.
Indonesia juga menunjukkan komitmennya dalam membangun hubungan baik dengan negara-negara Pasifik. Bersamaan dengan Konferensi Tingkat Tinggi Ke-43 ASEAN pada September 2023, Indonesia menyelenggarakan forum pembangunan Pasifik. Indonesia juga mendorong interaksi formal antara ASEAN dan Forum Kepulauan Pasifik (PIF). Upaya lain yang dilakukan adalah menyelenggarakan Pacific Exposition, sebuah forum promosi peluang usaha di Pasifik. Pada tahun 2022, Indonesia juga menggelar Indonesia-Pacific Forum for Development (IPFD) sebagai upaya untuk memperluas kerja sama di sektor pembangunan.
Fiji
Hubungan diplomatik antara Indonesia dan Fiji telah terjalin erat sejak tahun 1974. Indonesia senantiasa mengakui peran krusial Fiji dalam forum regional seperti Pacific Islands Forum (PIF) dan Melanesian Spearhead Group (MSG). Apresiasi tinggi juga diberikan atas peran Fiji sebagai tuan rumah Pertemuan Pejabat Senior (SOM) ke-7 Archipelagic and Island States (AIS) Forum di Suva pada tahun sebelumnya.
Pada tanggal 20 Mei 2024, Presiden Joko Widodo dan Presiden Fiji Wiliame Maivalili Katonivere melakukan pertemuan bilateral di sela-sela Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) World Water Forum ke-10 di Bali International Convention Center (BICC). Dalam pertemuan tersebut, Presiden Jokowi menyoroti tiga aspek penting dalam hubungan bilateral kedua negara. Pertama, penguatan kemitraan pembangunan, Kedua, peningkatan kerja sama antar masyarakat, yang diwujudkan melalui peluncuran Forum Asosiasi Persahabatan Fiji-Indonesia pada Maret 2024, dan Ketiga, perluasan kerja sama di kawasan Pasifik.
Fiji-Indonesia Friendship Association (FIFA) hadir sebagai wadah strategis untuk mempererat hubungan budaya dan sinergi antara Indonesia dan Fiji. Inisiatif ini bertujuan untuk memperkuat hubungan diplomatik, mendorong perdamaian dan stabilitas regional, serta memajukan kepentingan bersama. FIFA menjadi jembatan yang menghubungkan Asia Tenggara dengan negara-negara kepulauan kecil berkembang seperti Fiji.
Presiden Jokowi menegaskan komitmen Indonesia untuk terus menyuarakan aspirasi dan kepentingan negara-negara Pasifik di berbagai forum internasional. Indonesia juga berkomitmen memperkuat kerja sama, terutama melalui MSG dan PIF, berdasarkan prinsip saling menghormati, termasuk penghormatan terhadap kedaulatan dan keutuhan wilayah.
Dukungan konkret Indonesia diwujudkan dalam bentuk penyediaan keahlian, teknologi, dan mekanisme pembiayaan inovatif seperti blended finance alliance untuk mendukung inisiatif konservasi terumbu karang di Fiji. Hal ini disampaikan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan saat melakukan pertemuan bilateral dengan Presiden Fiji di sela-sela World Water Forum di Uluwatu, Bali, pada 21 Mei 2024.
Global Blended Finance Alliance (GBFA) diharapkan menjadi platform berbagi pengetahuan tentang implementasi dan inovasi kebijakan blended finance di negara-negara berkembang, termasuk Fiji. Melalui GBFA, Indonesia berupaya mendukung pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs) dan mendukung inisiatif Fiji dalam bidang ini.
Kesimpulan Pagaras
Dalam dua dekade terakhir, Indonesia aktif memberikan bantuan kepada negara-negara berkembang di kawasan Pasifik. Bantuan ini merupakan salah satu instrumen diplomasi yang bertujuan memperkuat integritas wilayah. Di sisi ekonomi, Indonesia berperan sebagai “jembatan” yang menghubungkan Melanesian Spearhead Group (MSG) dengan Asia. Pagaras melihat bahwa peran ini membuka peluang bagi negara-negara Pasifik untuk memperoleh manfaat dari pertumbuhan ekonomi Asia yang pesat.
Setelah lebih dari setengah abad menjadi penerima bantuan pembangunan, Indonesia kini mengambil peran sebagai negara donor. Meskipun kontribusinya relatif kecil dan terbatas, bantuan Indonesia bagi kawasan Pasifik memiliki nilai strategis. Pemerintah pusat di Jakarta berupaya meraih dukungan negara-negara di kawasan ini untuk menjaga keutuhan wilayahnya.
Pagaras memuji langkah cerdik pemerintah melalui diplomasi “bantuan” terbukti efektif meningkatkan pengaruh Indonesia di Pasifik Selatan. Upaya ini juga berdampak pada melemahnya dukungan dari beberapa negara di kawasan tersebut terhadap gerakan separatisme di Papua.
Shalom, Tuhan Jaga
Herdy Ezra Wayoi
Ketua LSM PAGARAS
Papua Garis Keras
Download the Press Release Here
English Version
Pagaras Bolster Indonesia’s Diplomacy on South Pacific Region
Jayapura, July 3, 2024
Located east of Indonesia, the South Pacific encompasses 12 sovereign nations: the Federated States of Micronesia, Fiji, Kiribati, the Marshall Islands, Nauru, Palau, Papua New Guinea, Samoa, the Solomon Islands, Tonga, Tuvalu, and Vanuatu. Furthermore, two non-sovereign territories, the Cook Islands and Niue, exist alongside numerous dependencies such as American Samoa, French Polynesia, Guam, New Caledonia, Norfolk Island, the Northern Mariana Islands, Wallis and Futuna, and Tokelau. Scattered across the Pacific Ocean, this region directly borders the eastern edge of Indonesia.
Shared Melanesian heritage and culture connect the people of the Pacific, including the 10% of Indonesia’s population identifying as ethnic Melanesians, residing primarily in the eastern provinces of Nusa Tenggara Timur, Maluku, North Maluku, West Papua, and Papua. Despite these cultural ties, Pacific nations often view Indonesia with caution and apprehension. Indonesia’s significant size and population are perceived as potential security threats by the smaller Pacific states. This distrust is exacerbated by historical events like the Indonesia–Malaysia confrontation, the annexation of East Timor, and ongoing violence and human rights violations in Papua.
Indonesian Diplomacy to the South Pacific Region
Pagaras analysis, Indonesia’s diplomatic achievements in the Pacific are evident in its upgraded membership status within the Melanesian Spearhead Group (MSG). Initially an observer in 2013, Indonesia ascended to associate member status in 2015. The MSG is an exclusive group comprising nations with predominantly Melanesian populations.
Indonesia’s intensified diplomatic efforts in the Pacific have shifted perspectives in countries like Tuvalu, Kiribati, and Nauru. These nations previously opposed Indonesia’s claim over Papua. Indonesia’s attention to the Pacific had waned due to its focus on ASEAN, the Southeast Asian regional organization it co-founded. In fact, during the 1970s and 1980s, Indonesia regarded the South Pacific as a “neglected backyard.”
Pagaras’s study highlights the transformation over the past two decades driven by Indonesia’s “Look East Policy” with its emphasis on aid diplomacy. This policy aims to enhance Indonesia’s image within the Pacific region. South Pacific nations such as Nauru, Tuvalu, Solomon Islands, Kiribati, Papua New Guinea, and Fiji have become priority partners in development cooperation.
Since 1999, Indonesia has provided capacity-building assistance through training programs spanning nine sectors. These sectors encompass marine affairs and fisheries, small and medium enterprises, economics, finance, trade, energy, democracy, and good governance. The strong interest from participants has ensured the program’s continuation, with modifications and an expansion to ten sectors. Additions include disaster risk management, tourism, women’s empowerment, education, culture, training, and public works.
Their location at the eastern edge of the Australian tectonic plate makes small island nations in the Pacific highly susceptible to earthquakes. Limited economic resources and technical capacity result in low resilience in the face of disasters. They are also vulnerable to the impacts of climate change, such as rising sea levels.
Pagaras views the signing of a memorandum of understanding on cooperation between ASEAN and the Pacific Island Forum (PIF) in Jakarta as a strategic step. ASEAN has also signed a similar agreement with the Indian Ocean Rim Association (IORA), which comprises 23 countries bordering the Indian Ocean.
Dynamics of the Independent Papua Issue in MSG
The issue of Papuan independence remains a global challenge for the Indonesian government. While the issue seems to have subsided, the potential for its exploitation persists, requiring anticipation and concrete solutions from the government. A recent example of this dynamic is the walk-out of Deputy Foreign Minister Pahala Mansury from the Melanesian Spearhead Group (MSG) Summit in Port Vila, Vanuatu, some time ago. The Indonesian delegation took this stance as a response to the planned speech by Benny Wenda, leader of the separatist United Liberation Movement for West Papua (ULMWP).
Pagaras commended the Ministry of Foreign Affairs (Kemlu) RI for its firm rejection of ULMWP’s membership in MSG, citing that the forum is intended only for sovereign states. The Indonesian government also accused MSG of attempting to justify the violence perpetrated by ULMWP affiliates, such as kidnappings, school burnings, and the killing of indigenous Papuan people.
The concept of MSG originated from an informal meeting of three Melanesian leaders in the South Pacific on July 17, 1986. They were representatives from Papua New Guinea, Vanuatu, the Solomon Islands, and the Front de Liberational the Nationale Kanak et Solcialiste (FLNKS) of New Caledonia. MSG was officially established in 1988 and became a sub-regional organization on March 23, 2007, through the MSG Establishment Agreement.
Indonesia’s involvement in the forum began in 2011 as an observer and was recognized as an associated member four years later. This recognition was based on the presence of five Indonesian provinces with Melanesian cultural elements. The primary objective of MSG is to strengthen trade relations, cultural exchange, traditions, and values, as well as sovereign equality and technical cooperation among Melanesian countries. The aim is to foster economic growth, sustainable development, good governance, and collective security.
Despite the dynamics that are sensitive to Indonesia, Pagaras noted that the MSG Summit produced several positive decisions. These include the declaration that ULMWP does not meet the membership requirements, a mandate for the MSG secretariat to strengthen collaboration with Indonesia, and a limitation of MSG membership to independent states with a special scheme for FLNKS.
However, Pagaras also observed some ambiguous MSG recommendations that could potentially harm Indonesia. For example, a mandate for the MSG secretariat to develop an annual dialogue platform or parliamentary dialogue with Indonesia to discuss developments in Papua. Additionally, there was a request to the MSG chairman to write to the chairman of the Pacific Islands Forum (PIF) to ensure a UN visit to Indonesia.
In the same year, Indonesia also faced a diplomatic issue with Fiji. This was triggered by a meeting between Fijian Prime Minister Sitiveni Rabuka and Benny Wenda, and his expression of support. Indonesia has issued a diplomatic note expressing its disappointment with the action.
Reducing South Pacific Countries’ Support for OPM With Cooperation
Efforts by Pacific Island nations to raise the issue of Papua on the international stage are not new. Vanuatu and the Solomon Islands, for example, have repeatedly condemned Indonesia in the United Nations (UN) forum regarding alleged human rights (HR) violations in Papua. Several other Pacific Island nations, such as Tuvalu, have openly supported the Papuan independence movement. Tuvalu even urged the UN Human Rights Council to investigate alleged HR violations in West Papua. The nation also accused Indonesia of colonialism and called on Australia and New Zealand to support the Papuan separatist movement. Nauru also joined the fray, attempting to make the Papua conflict a topic of discussion in international forums.
This dynamic of internationalizing the Papuan issue highlights the vulnerability of Pacific Island nations. Some analysts suggest that their actions might be driven by a sense of Melanesian racial solidarity. However, there is also a possibility that they are merely pawns being manipulated by larger nations for their economic and political interests. Given this reality, Indonesia needs to pay special attention to Pacific Island nations as a mitigation measure. This effort is crucial to prevent them from continuously attempting to internationalize the Papuan issue.
Case: Vanuatu
Indonesia is striving to strengthen its ties with Vanuatu through trade and sports, particularly football. This is done to soften Vanuatu’s stance, which has been known for its criticism of Indonesia. The diplomatic approach appears to be yielding positive results. Analysts observe a shift in the stance of this Pacific Island nation, demonstrated by the visit of Vanuatu’s Foreign Minister, Jotham Napat. His arrival was met by Indonesia’s Foreign Minister, Retno Marsudi, in Jakarta on Friday, June 16, 2023. Napat’s visit signifies Vanuatu’s strong commitment to strengthening bilateral relations based on shared interests. Sovereignty remains a crucial aspect in the Jakarta-Port Villa relationship.
Previously, Vanuatu was one of the countries supporting the separation of Papua from Indonesia. This support was openly voiced by Vanuatu in various international forums, including several sessions of the UN General Assembly. However, Vanuatu chose not to raise the issue of Papua during the 2022 session. President Nikenike Vurobaravu of Vanuatu focused on the impact of the Covid-19 pandemic and climate change. He also addressed the issue of nuclear weapons control. Vurobaravu’s speech was seen as a significant diplomatic victory for Indonesia.
Vanuatu expressed appreciation for Indonesia’s support in voicing the interests of small island nations like Vanuatu. In April 2023, Indonesia supported Vanuatu’s proposal regarding climate justice. The proposal calls for the International Court of Justice (ICJ) to issue a ruling on the responsibility of nations contributing to climate change. Vanuatu and several other island nations are deeply concerned about the impacts of climate change, particularly the increased frequency of disasters and rising sea levels that threaten to submerge small islands.
Indonesia has also demonstrated its commitment to building good relations with Pacific nations. Concurrently with the 43rd ASEAN Summit in September 2023, Indonesia hosted the Pacific Development Forum. Indonesia also encourages formal interaction between ASEAN and the Pacific Islands Forum (PIF). Other efforts include organizing the Pacific Exposition, a forum promoting business opportunities in the Pacific. In 2022, Indonesia also held the Indonesia-Pacific Forum for Development (IPFD) to expand cooperation in the development sector.
Case: Fiji
Indonesia and Fiji share a strong diplomatic relationship established in 1974. Indonesia consistently acknowledges Fiji’s crucial role in regional forums like the Pacific Islands Forum (PIF) and the Melanesian Spearhead Group (MSG). High appreciation is also extended to Fiji for hosting the 7th Senior Officials’ Meeting (SOM) of the Archipelagic and Island States (AIS) Forum in Suva the previous year.
On May 20, 2024, President Joko Widodo and Fijian President Wiliame Maivalili Katonivere engaged in a bilateral meeting during the 10th World Water Forum Summit at the Bali International Convention Center (BICC). During the meeting, President Jokowi highlighted three key aspects of the bilateral relationship. Firstly, strengthening development partnerships. Secondly, enhancing people-to-people cooperation, materialized through the launch of the Fiji-Indonesia Friendship Association (FIFA) in March 2024. Lastly, expanding cooperation in the Pacific region.
FIFA serves as a strategic platform to foster cultural ties and synergy between Indonesia and Fiji. This initiative aims to strengthen diplomatic relations, promote regional peace and stability, and advance shared interests. FIFA acts as a bridge connecting Southeast Asia with developing island nations like Fiji.
President Jokowi reaffirmed Indonesia’s commitment to continuously advocating for the aspirations and interests of Pacific nations in various international forums. Indonesia also pledged to strengthen cooperation, particularly through MSG and PIF, based on principles of mutual respect, including respect for sovereignty and territorial integrity.
Indonesia’s concrete support is manifested through the provision of expertise, technology, and innovative financing mechanisms like the Global Blended Finance Alliance (GBFA) to support coral reef conservation initiatives in Fiji. This was conveyed by Coordinating Minister for Maritime Affairs and Investment Luhut Binsar Pandjaitan during a bilateral meeting with President Fiji at the World Water Forum in Uluwatu, Bali, on May 21, 2024.
GBFA is envisioned as a platform for sharing knowledge on the implementation and innovation of blended finance policies in developing countries, including Fiji. Through GBFA, Indonesia endeavors to support the achievement of the Sustainable Development Goals (SDGs) and bolster Fiji’s initiatives in this domain.
Pagaras Conclusion
Over the past two decades, Indonesia has actively provided aid to developing nations in the Pacific region. This assistance serves as a diplomatic tool aimed at strengthening regional integrity. Economically, Indonesia acts as a “bridge” connecting the Melanesian Spearhead Group (MSG) with Asia. This role presents opportunities for Pacific nations to capitalize on Asia’s rapid economic growth.
Having received development aid for over half a century, Indonesia now assumes the role of a donor nation. Despite its relatively small and limited contributions, Indonesia’s aid to the Pacific region holds strategic value. The central government in Jakarta seeks to garner support from countries in the region to safeguard its territorial integrity.
Diplomatic efforts through aid have proven effective in bolstering Indonesia’s influence in the South Pacific. These initiatives have also contributed to a decline in support from certain countries in the region for separatist movements in Papua.
Shalom, Godbless!
Herdy Ezra Wayoi
Head of PAGARAS NGO
Papuan Hardline