Pandangan Baru Pemerintah Dalam Menyikapi Teror OPM

Jayapura, 19 Juli 2024,
Insiden kekerasan terus bergulir di wilayah Papua, berlanjut hingga saat ini, dan ironisnya, pihak aparat keamanan tampak menjadi salah satu elemen penting dalam deretan kekerasan tersebut. Ada berbagai bentrokan yang menghiasi daerah tersebut, ditambah tindakan aparat yang berdampak pada warga sipil, yang semuanya belum juga mendapatkan solusi yang memuaskan.

Tantangan yang dihadapi di Papua terbilang rumit dan berlapis, meliputi berbagai perspektif. Oleh karena itu, mendamaikannya mengharuskan komitmen bersama, baik dari pemerintah pusat, daerah, maupun masyarakat Papua itu sendiri. Diperlukan bimbingan, arahan, dan pengawasan ketat terhadap penguasaan dana otonomi khusus oleh pemerintah daerah, sehingga pembangunan di wilayah tersebut mampu berjalan lebih berfokus dan tepat sasaran.

Bab Baru Penanganan OPM
PAGARAS berpendapat bahwa negara hendaknya menguatkan dukungan pada langkah TNI dan Polri dalam menanggapi OPM. Mengingat, ketegasan pemerintah menjadi landasan bagi TNI/Polri dalam menjalankan operasi besar untuk menekan OPM. Namun, seiringnya, pemerintah juga diharapkan menyelesaikan laporan kasus pelanggaran HAM lewat proses peradilan dan penyelesaian sesuai dengan adat Papua.

PAGARAS mengingatkan bahwa selama tidak ada perubahan kebijakan dan keputusan negara, operasi militer selain perang (OMSP) yang dilakukan TNI di Papua, sebaiknya dilaksanakan seperti biasanya. PAGARAS pula mengingatkan pemerintah tentang pentingnya persatuan sikap dan kebijakan antara stakeholder pusat dan lokal, dari dukungan politik yang disampaikan parlemen, hingga tindak lanjut di lapangan. Dukungan politik ini seharusnya dipahami oleh eksekutif dan menghasilkan kebijakan tegas dalam meminimalisir OPM.

PAGARAS mencermati deklarasi Panglima TNI Jendral Agus Subiyanto di Jakarta pada tanggal 10/03/2024 yang kembali menekankan sikap tegas terhadap OPM. Dari pernyataan tegas Panglima TNI, PAGARAS menginterpretasikannya sebagai permulaan babak baru dalam penumpasan OPM. Penyesuaian penamaan dari Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) ke OPM oleh pemerintah dianggap sebagai keseriusan negara mencoba menghentikan kelompok keras tersebut.

Berdasarkan data yang dihimpun oleh PAGARAS, pada rapat koordinasi Kementerian Polhukam tanggal 29/04/2021, disepakati OPM merujuk kepada KKB atau Kelompok Separatis Teroris (KST). Namun, tanggal 05/04/2024, TNI mengembalikan status KKB kepada OPM. Perubahan ini dikarenakan TNI sudah tidak bisa menoleransi aksi kekerasan OPM yang berdampak tidak hanya pada anggota TNI dan Polri, tetapi juga warga sipil.

PAGARAS mencatat penindasan yang dilakukan OPM dari waktu ke waktu. Di berbagai lokasi, OPM melakukan pemerkosaan terhadap beberapa pendidik dan personel kesehatan di daerah pedalaman. Para anggota OPM semakin menyimpang, lupa bahwa orang-orang yang mereka serang adalah saudara mereka sendiri. Untuk tindakan pelanggaran tersebut, PAGARAS mendukung sikap tegas TNI dalam menghadapi OPM. Sejak itu, TNI dan Polri yang tergabung dalam Satgas Damai Cartenz mulai bergerilya dalam pengejaran para pemberontak.

Ketegasan Dalam Melindungi Rakyat
Dalam catatan PAGARAS, pada tanggal 11 Maret 2024, Satuan Tugas Damai Cartenz sukses melumpuhkan dua personel aktif Organisasi Papua Merdeka (OPM) di Kabupaten Yahukimo, bagian dari Provinsi Pegunungan Papua. Personel yang dibubarkan ini berasosiasi dengan jaringan Kopi Tua Heluka dan Yotam Bugiangge, yakni Afrika Heluka dan Toni Wetapo, juga dikenal sebagai Toni Giban. Selain itu, Satuan Tugas juga dapat mengamankan enam personel lainnya dari OPM di area tersebut.

Tingkat penindakan oleh TNI dan Polri meningkat signifikan, disusul oleh gugurnya salah satu personel terpilih dari TNI, Danramil 1703-04 Aradide Letda Inf. Oktovianus Sogalrey, oleh anggota OPM. Bahkan, rekaman brutal pembunuhan Oktovianus oleh seorang anggota OPM sempat viral di media sosial. Sebagai tanggapan, PAGARAS menegaskan bahwa tindakan OPM melanggar HAM serius.

Dalam berita yang disiarkan di media massa, Menko Polhukam RI, Hadi Tjahjanto memandang situasi ini dengan kepedulian mendalam. Dia segera memanggil Panglima TNI dan Kapolri untuk rapat tertutup di kantornya, berdiskusi tentang strategi penanganan OPM. PAGARAS menekankan bahwa penerapan taktis penanganan OPM oleh TNI dan Polri perlu ditingkatkan. Perlindungan masyarakat sipil di Papua juga harus diperkuat sebagai prioritas utama.

Namun, pencapaian rencana ini akan sulit tanpa melancarkan koordinasi lebih baik antara TNI dan Polri. PAGARAS percaya bahwa kesatuan tujuan harus ditunjukkan, mulai dari dukungan politik yang disokong legislatif. Dukungan politik ini kemudian harus diterjemahkan oleh eksekutif melalui pembentukan kebijakan tegas terhadap OPM.

Merumuskan Rencana Aksi Sebagai Cerminan Kesatuan Kebijakan
PAGARAS meminta agar seluruh elemen legislatif dan eksekutif tidak ragu-ragu dan menata tumpang tindihnya kebijakan, untuk kemudian menentukan arah yang baru melalui penentuan rencana tindakan yang mencerminkan pergantian kebijakan atau penentuan keputusan politik dalam usaha perlindungan rakyat di Papua dari brutalitas dan intimidasi OPM. Penggabungan operasional TNI-Polri di Papua telah menjadi keharusan, dengan pernyataan OPM terkait konflik terbuka.

Menurut PAGARAS, perkuatan kerjasama antar lembaga bisa diwujudkan melalui penegasan peran masing-masing dalam penanganan OPM. Setiap lembaga patut menetapkan tugasnya serentak dan beririsan sejak awal hingga akhir, sehingga penanganan bisa berjalan maksimal. Dalam definisi peran tersebut, Polri dapat menanggung beban perlindungan masyarakat dan evakuasi, sementara TNI melalui pasukan darat bisa memegang peran pengamanan wilayah dan pengejaran OPM.

PAGARAS mengamati bahwa pihak intelijen, sejajar sebagai penyedia data yang akurat dan tepat, harus dimanfaatkan pemerintah dengan efisien. Dengan memanfaatkan laporan intelijen, TNI dapat mengatur strategi pengejaran hingga penyergapan OPM. Namun, ada satu aspek fundamental yang perlu didahulukan, yaitu peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) prajurit. Bukan hanya dari aspek intelektual, pembinaan fisik juga diperlukan, mengingat kondisi wilayah Papua yang ekstrem. Dengan memahami medan dan strategi yang tepat, percaya diri bahwa TNI mampu menyelesaikan tugas di lapangan.

Dukungan Politik
Tampaknya, upaya fisik untuk penindakan tidak memberikan hasil yang cukup. Langkah-langkah yang diambil oleh TNI dan Polri sepatutnya solid berakar dari perintah langsung Presiden, yang berperan sebagai komandan tertinggi. Menurut PAGARAS, pemerintah sangat perlu menunjukkan posisinya yang tegas dalam mengatasi perilaku separatis dengan memanfaatkan TNI, sejalan dengan Pasal 7 ayat (2) huruf b angka 1 Undang-Undang No.34 tahun 2004. Pemerintah harus memanfaatkan TNI untuk upaya perlindungan masyarakat dan pemeliharaan keamanan dengan bijaksana.

Sebuah tindakan politik yang kuat sangat dibutuhkan sebagai acuan bagi penegak hukum dalam memerangi Organisasi Papua Merdeka (OPM). Karena itu, PAGARAS memutuskan bahwa tanpa adanya perubahan kebijakan dan keputusan negara, operasi militer selain perang (OMSP) oleh TNI di Papua hanya akan menghasilkan hal yang sama dengan masa lalu. Eksekutif dan legislatif sangat dianjurkan untuk bersepakat dalam menutup celah OPM.

Konsensus antara legislatif dan eksekutif ini diharapkan akan melahirkan sebuah keputusan politik di DPR, yang akan menjadi alasan kuat untuk melakukan penegakan hukum yang tegas. Dengan dasar politik ini, TNI-Polri dapat melaksanakan tugas mereka dengan bebas, tanpa perlu khawatir terjerumus dalam tuduhan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Kolaborasi antara eksekutif dan legislatif ini diharapkan bisa memperlancar tugas di lapangan.

Tindakan dan kebijakan apa pun yang dipilih oleh pemerintah, PAGARAS menegaskan bahwa prioritas utama harus diberikan kepada keamanan dan keselamatan warga Papua. Saat apapun ada langkah dari kelompok yang berusaha menggerogoti kedaulatan NKRI dan mengancam masyarakat, aksi balasan harus ada.

Sejalan dengan dukungan dari Ketua MPR RI, Bambang Soesatyo yang membenarkan tindakan tegas oleh aparat untuk menunjukkan bahwa negara tidak boleh kalah pada kelompok separatis yang skala kekuatannya di bawah TNI dan Polri. Dalam pandangan PAGARAS, pernyataan Ketua MPR RI tersebut hanyalah sinyal hijau untuk politikus di Senayan untuk mendukung tindakan konkret dari TNI-Polri dalam membasmi OPM.

Pandangan Seputar HAM
PAGARAS mencatat tindakan keras Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) terhadap tindakan brutal Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang merugikan perempuan dan anak-anak serta korban fatal, Danramil Oktovianus Sogalrey. Komnas HAM menjelaskan bahwa setiap bentuk kekerasan terhadap pegawai negeri dan warga biasa harus ditelusuri secara menyeluruh dan adil.

Sejak Maret hingga April 2024, PAGARAS telah mencatat sejumlah kekerasan yang melanda Papua. Pada Maret 2024, situasinya mencapai puncak ketika ada pertempuran antara personel TNI-Polri dan Kelompok Masyarakat Bersenjata (KMB) atau OPM di Mamba, Sugapa, Intan Jaya, 01/03/2024; pembunuhan dua personel TNI yang diperkirakan oleh OPM di Kulirik, Puncak Jaya, 17/03/2024; dan penembakan prajurit Yonif Raider 323/BP oleh OPM di Beoga, Kabupaten Puncak, 22/03/2024.

Selain itu, ada penembakan dua petugas Polri saat melaksanakan tugas di helipad di Kabupaten Paniai pada 20/03/2024. Sebanyak dua wanita juga menjadi korban dari kekerasan seksual dan fisik oleh sekelompok orang yang diduga berasal dari OPM di Distrik Nabire, Kabupaten Nabire, pada 05/04/2024.

Secara konsisten, PAGARAS percaya bahwa terlepas dari kekerasan yang dilakukan oleh OPM, pemerintah harus mengejar pendekatan yang lebih terkendali untuk menanganinya. Pendekatan ini menghindari penyebaran kekerasan berlebihan oleh negara, yang hanya menimbulkan konflik baru dan lebih sulit untuk diselesaikan.

Dalam konteks meredakan konflik dengan OPM, PAGARAS lebih mendukung pendekatan alternatif, yaitu dengan mengintensifkan usaha dan program untuk meningkatkan infrastruktur dan meratakan pembangunan di setiap penjuru. PAGARAS berharap bahwa dengan percepatan dan distribusi layanan pemerintah untuk masyarakat Papua di sektor kesehatan, pendidikan, dan pengembangan ekonomi lokal, dapat segera mencapai masyarakat Papua. PAGARAS yakin bahwa dengan tindakan nyata ini, ketidakseimbangan di bidang ekonomi, kesehatan, dan pendidikan antara masyarakat Papua dengan warga di wilayah lain dapat dikurangi.

Shalom, Tuhan Jaga

Herdy Ezra Wayoi
Ketua LSM PAGARAS
Papua Garis Keras

Download the Press Release Here

English Translation

Government’s New Perspective on Dealing with OPM Terrorism
Jayapura, July 19, 2024

Violence continues to ripple across the region of Papua, an ongoing saga that extends to the present day. It’s a bitter truth that the security forces, entities tasked with maintaining peace, are playing a significant role in this chain of violence. Civil unrest and clashes are scarring the fabric of this very region, allied with the effects of the security forces’ actions on innocent civilians. This has yet to find a resolution that appeases all.

The struggles within Papua are complex and layered, encompassing diverse perspectives. Thus, pacifying this region calls for a collective dedication, involving the national government, local administration, and the Papuan community itself. A vigilant eye, strategic guidance, and strict oversight over the flow of special autonomy funds are needed. This will ensure that the development efforts in the region are more concentrated and hit the intended targets effectively.

New Perspective Dealing With OPM
PAGARAS has observed that the state should reinforce its support for the steps taken by the TNI and the Police in addressing the OPM. Considering, the government’s firmness becomes the foundation for the TNI/Police in executing major operations to pressure the OPM. However, simultaneously, the government is expected to resolve reports of human rights abuses through judicial processes and resolution in line with Papua’s customs.

PAGARAS highlighted that if there’s no change in policy and decisions by the nation, non-war military operations (operasi militer selain perang-OMSP) carried out by the TNI in Papua should proceed as usual. PAGARAS also reminds the government of the importance of cohesive attitudes and policies among central and local shareholders, from the political support expressed by the parliament, to the follow-up on the ground. This political support should be understood by the executive and result in a firm policy in minimizing the OPM.

PAGARAS carefully scrutinized the declaration of the TNI Commander General Agus Subiyanto in Jakarta on March 10, 2024, who again underscored a firm stance toward the OPM. From the Commander of TNI’s firm statement, PAGARAS interpreted this as the beginning of a new chapter in OPM suppression. The government’s renaming from Armed Criminal Group (ACG or KKB) to OPM was perceived as a serious attempt by the state to stop the hardline group.

Based on data gathered by PAGARAS, it was agreed during the Ministry of Political, Legal, and Security Affairs’ coordination meeting on April 29, 2021, that OPM refers to either KKB or Terrorist Separatist Group (TSG). However, on April 5, 2024, the TNI reinstated the status of OPM to ACG. This change was due to the TNI’s inability to tolerate the violent acts of OPM affecting not only TNI and Police members, but also civilians.

PAGARAS recorded the oppression executed by the OPM over time. In various locations, the OPM sexually assaulted some educators and healthcare personnel in remote areas. The OPM members have increasingly deviated, forgetting that those they attack are their kin. For these human rights violations, PAGARAS supports the firm attitude of the TNI in confronting OPM. Since then, the TNI and the Police incorporated into the Peace Cartenz Task Force have started their guerrilla pursuit of the rebels.

Assertiveness in Safeguarding the Citizen
PAGARAS noted that on March 11, 2024, the successful weakening of two active personnel from the Free Papua Movement (OPM), in Yahukimo District, a part of the Mountainous Papua Province. These personnel were associated with the Kopi Tua Heluka network and Yotam Bugiangge, specifically referred to as Afrika Heluka and Toni Wetapo, also identified as Toni Giban. Additionally, the Peacekeeping Task Force was able to secure six more OPM personnel in the same area.

The enforcement levels by the Indonesian National Armed Forces (TNI) and the Indonesian National Police (Polri) have seen a significant rise, following the demise of a selected TNI personnel, Commander of the Military District 1703-04 Aradide, Lt. Inf. Oktovianus Sogalrey, at the hands of OPM members. The brutal murder of Oktovianus by an OPM member even went viral on social media. In retaliation, PAGARAS firmly emphasized that OPM’s actions are in grave violation of human rights.

In a widespread news coverage, the Coordinating Minister for Political, Legal, and Security Affairs of Indonesia, Hadi Tjahjanto, expressed his deep concern over this situation. He immediately summoned the Chief of Staff of the TNI and the Chief of Police for a closed meeting in his office, discussing a strategy to handle the OPM.

PAGARAS pressed that the tactical approach in dealing with OPM by the TNI and Polri needs enhancement. They reiterated that the protection of civilians in Papua should be the primary focus.

However, the realization of this plan will be challenging without improved coordination between the TNI and Polri. PAGARAS is of the belief that a unified goal is essential, beginning with political support that must be backed by legislative backing. This political support should then be translated by the executive branch through the establishment of strict policies against OPM.

Formulating an Action Plan as a Reflection of Policy Unity
PAGARAS strongly urges all elements of the legislative and executive branches to dismiss any ambiguity and overlapping policies, and subsequently, to lay a new path via the determination of action plans that mirror policy changes or political decision-making in the protection of the Papuan people from the brutality and intimidation of OPM. An integrated operation of the TNI-Polri in Papua is now indispensable, particularly in light of the OPM’s statements concerning open conflict.

According to PAGARAS, reinforcing interagency collaboration can be achieved through a clear definition of roles in the management of OPM. Each agency should establish a parallel and entwined set of responsibilities from the outset to the finish, ensuring optimal handling. Within this defined role, the Polri can tackle the task of protecting the public and evacuation, while the TNI, through land forces, can take on the role of territorial security and the pursuit of OPM.

PAGARAS observes that intelligence agencies, equally as suppliers of accurate and timely data, should be utilized efficiently by the government. Through leveraging intelligence reports, the TNI can strategize pursuits and ambushes against OPM. However, there is a fundamental aspect that needs precedence, which is enhancing the quality of military human resources (HR).

This is not only from an intellectual standpoint, but also physical conditioning is required, considering Papua’s extreme geographical conditions. With a proper understanding of the terrain and the correct strategy, we are confident that the TNI is capable of fulfilling duties on the field.

Political Support
It appears that physical enforcement strategies haven’t yielded satisfactory results. Measures taken by the TNI and Polri forces ideally should originate directly from the President’s command, acting in his capacity as the supreme commander. According to PAGARAS, the government must exhibit a clear, firm stance in tackling separatist behavior by leveraging the TNI, in accordance with Article 7, paragraph (2), letter b number 1 of Law No.34 of 2004. The government ought to effectively utilize the TNI for community protection and maintaining security judiciously.

A strong political action is needed as a guideline for law enforcers to combat the Free Papua Movement (OPM). Consequently, PAGARAS concludes that without a change in state policy and decisions, TNI’s non-war military operations (OMSP) in Papua will yield no different outcomes than in the past. It is strongly recommended for the executive and legislative branches to concur to close OPM loopholes.

This legislative and executive consensus is expected to foster a solid political decision in the House of Representatives, providing a robust rationale for strict law enforcement. With this political foundation, the TNI-Polri can perform their duties freely, without being unjustly accused of human rights violations (HAM). This collaboration is anticipated to smoothen field operations.

Whatever action or policy the government chooses, PAGARAS underscores that the top priority should be the safety and security of the people of Papua. Whenever any group attempts to undermine the sovereignty of the Unitary State of the Republic of Indonesia (NKRI) and threaten the public, retaliatory actions must be taken.

In line with the support from the Chairman of the MPR of the Republic of Indonesia, Bambang Soesatyo, endorsing firm actions by the authorities to demonstrate that the state can’t be weakened by separatist groups that are inferior to the TNI and Polri in strength. From PAGARAS’s perspective, the Chairman’s statement is merely a green light for politicians in Senayan to back the tangible actions from TNI-Polri in eradicating OPM.

Human Right’s Statements Around the Corner
PAGARAS has logged the strict actions of the National Human Rights Commission (Komnas HAM) against the ruthless acts of the Free Papua Movement (OPM) that have inflicted damage upon women, children, and the unfortunate, Lt. Oktovianus Sogalrey’s killing. Komnas HAM has emphasized that every single instance of violence against civil servants and ordinary citizens must be thoroughly and equitably investigated.

From March to April 2024, PAGARAS has recorded a series of violent incidents that plagued Papua. The situation escalated in March 2024, reaching its zenith with a clash between TNI-Police personnel and Armed Community Groups (KMB) or OPM in Mamba, Sugapa, Intan Jaya, on March 1, 2024; the assassination of two TNI personnel suspected to be carried out by OPM in Kulirik, Puncak Jaya, on March 17, 2024; and the shooting of a soldier from Yonif Raider 323/BP by OPM in Beoga, Puncak Regency, on March 22, 2024.

Additionally, two policemen were shot while performing duties at a helipad in Paniai Regency on March 20, 2024. Two women also fell victim to sexual and physical violence inflicted by a group believed to belong to OPM in the district of Nabire, Nabire Regency, on April 5, 2024.

Persistently, PAGARAS is of the belief that, notwithstanding the brutality enacted by OPM, the government should pursue a more controlled approach to handle it. This approach steers clear of excessive violence instantiation by the state, which only gives rise to more complex and harder-to-resolve conflicts.

In the context of pacifying the conflict with OPM, PAGARAS prefers an alternative approach, which is to intensify efforts and programs aimed at improving infrastructure and evenly distributing development in every corner. PAGARAS holds that an expedited and distributed provision of government services to the people of Papua in health, education, and local economic development sectors should be reached promptly by the people of Papua.

It is firmly believed by PAGARAS  that with such concrete actions, the imbalance in economic, health, and education sectors between the Papuan community and the inhabitants of other regions can be reduced significantly.

Shalom, Godbless!

Herdy Ezra Wayoi
Head of PAGARAS NGO
Papuan Hardline