Pegunungan Bintang, 26 Agustus 2024, Dalam beberapa tahun terakhir, teror dan aksi kekerasan yang dilancarkan Organisasi Papua Merdeka (OPM) terhadap masyarakat sipil, menjadi sorotan yang mendalam. Kebiadaban Organisasi Papua Merdeka (OPM) tidak pandang bulu, tak peduli warga Papua itu Orang Asli Papua (OAP) maupun masyarakat pendatang, mereka semua menjadi sasaran serangan OPM.
Dalam catatan PAGARAS, dalam dua hari berturut-turut, hari Senin dan Selasa tanggal 8 dan 9 April 2024, warga Papua telah menjadi korban aksi kebiadaban Organisasi Papua Merdeka (OPM). Aksi OPM kali ini telah menambah data kejahatan pada daftar rentetan aksi kriminal yang mengganggu keamanan di bumi Papua, terkhusus yang menyebabkan korban di pihak masyarakat, baik Orang Asli Papua (OAP) maupun masyarakat pendatang. Kejadian ini mengungkapkan realitas pahit yang dihadapi oleh masyarakat Papua, baik orang asli maupun pendatang, yang kini tengah menjadi korban kebiadaban dari kelompok OPM.
Insiden kali ini diawali dengan terbunuhnya seorang penduduk asli Papua (Orang Asli Papua, OAP) atas nama Timotius Kasipmabin, akibat tembakan anggota OPM Kodap XXXV Bintang Timur, pada hari Senin tanggal 8 April 2024 sekitar pukul 21.00 WIT di Kampung Modusit, Distrik Serambakon, Kabupaten Pegunungan Bintang Papua Pegunungan. Timotius Kasipmabin merupakan anggota Satpol PP Kabupaten Pegunungan Bintang, dan merupakan anak Kepala Suku dari Marcel Kasilmabin.
Selanjutnya, di lokasi yang berbeda, tepatnya di Kios, Jembatan Yersey Mersey, Jl. Kago-Kimak, Kampung Kago, Distrik Ilaga, Kabupaten Puncak, telah terjadi aksi penembakan yang dilakukan oleh Orang Tidak diKenal (OTK), diduga OPM Kabupaten Puncak, terhadap Pampang (masyarakat pendatang/Suku Toraja) dan seorang OAP atas nama Sdr. Nortinus Tabuni.
Akibat aksi penembakan tersebut, Pampang mengalami luka tembak pada kepala bagian kanan dan saat ini dalam kondisi kritis. Sedangkan, Nortinus Tabuni mengalami luka tembak akibat rekoset munisi pada bagian pinggang sebelah kiri dan dalam kondisi sadar. Hingga kini, posisi kedua korban tembakan masih dalam penanganan medis pihak RSUD Ilaga.
Masyarakat Papua Hidup Dalam Bayang-Bayang Ketakutan
OPM menciptakan ketakutan yang mendalam di kalangan warga, yang kini harus hidup dalam bayang-bayang ancaman yang terus menerus. Kekerasan yang ditimbulkan oleh OPM bukanlah hal baru di Papua. Sejak lama, kelompok ini berjuang untuk kemerdekaan Papua dari Indonesia, namun dalam perjalanan perjuangan tersebut, banyak warga sipil yang menjadi korban. OPM banyak melakukan kekerasan dan intimidasi sebagai alat yang digunakan untuk menunjukkan kekuatan dan dominasi.
PAGARAS melihat bahwa dampak dari kekerasan ini sangat kompleks. Bagi masyarakat asli Papua, mereka terbagi antara keinginan untuk merdeka dan keinginan untuk hidup damai. Tidak jarang, mereka terjebak dalam konflik yang bukan pilihan mereka. Banyak dari mereka yang hanya ingin menjalani kehidupan sehari-hari dengan tenang, namun terpaksa harus menghadapi realitas pahit akibat konflik berkepanjangan ini. Sementara itu, bagi pendatang, mereka sering kali menjadi target karena dianggap sebagai mata-mata dari aparat keamanan.
Kasus kekerasan yang dilakukan OPM tersebut diatas, menjadi sebuah pengingat betapa masyarakat sipil sering kali menjadi korban kelompok OPM yang berkedok memperjuangkan kemerdekaan. PAGARAS melihat dorongan banyak pihak kepada pemerintah untuk secara serius menyelesaikan konflik ini dengan menumpas habis OPM. Di satu sisi PAGARAS masih menghargai pendekatan yang lebih humanis dan berbasis pada dialog, masih dilakukan oleh pemerintah.
Kekerasan yang dilakukan oleh OPM dan dampaknya terhadap masyarakat sipil menunjukkan betapa pentingnya untuk menjadikan penyelesaian konflik di Papua sebagai prioritas nasional. PAGARAS mendesak pemerintah untuk memberikan jaminan keamanan bagi semua warga tanpa terkecuali. Perlindungan terhadap masyarakat sipil menjadi tanggung jawab bersama, baik pemerintah, masyarakat, maupun pihak-pihak terkait lainnya.
Pandangan PAGARAS
PAGARAS berpendapat, selain upaya pemerintah dalam memberikan rasa aman kepada masyarakat, penting pula untuk memberikan perhatian lebih terhadap masalah ekonomi dan sosial di Papua. PAGARAS memperingati bahwa ketidakpuasan terhadap kondisi hidup yang sulit, ditambah dengan bayag-bayang ketakutan akan teror OPM, mudah memicu munculnya gerakan-gerakan radikal.
Indikator penting dalam upaya mencapai perdamaian adalah kehadiran program-program pembangunan yang inklusif. PAGARAS mencermati program-program pemerintah yang melibatkan masyarakat dalam setiap tahap perencanaan dan pelaksanaan program. Keterlibatan ini tidak hanya akan meningkatkan rasa memiliki, tetapi juga dapat mengurangi kemungkinan terjadinya kekerasan.
Dalam konteks ini, PAGARAS juga menyorot peran media yang harus mampu menyampaikan informasi yang berimbang dan tidak memprovokasi. Berita-berita yang sensasional atau sepihak hanya akan menambah ketegangan di masyarakat. Pemberitaan yang bertanggung jawab akan membantu menciptakan suasana saling pengertian dan toleransi antar kelompok yang berbeda.
PAGARAS akan terus mendorong masyarakat Papua untuk berani berbicara dengan kelompok OPM dan mengambil langkah-langkah konkret untuk menghentikan siklus kekerasan ini. Sebagian anggota kelompok OPM merupakan sanak saudara mereka sendiri yang terikat pertalian persaudaraan. PAGARAS berkeyakinan, peran masyarakat dalam melakukan pendekatan ke kalangan mereka sendiri, masih dapat menciptakan perubahan yang signifikan dan memberikan harapan baru bagi generasi mendatang.
PAGARAS berharap, tidak ada ruang bagi kebiadaban dan kekerasan dalam menyelesaikan perbedaan. Daripada terus berkonflik, lebih baik bersama-sama membangun Papua yang lebih baik, di mana setiap individu, tanpa memandang latar belakang, dapat hidup dengan aman dan sejahtera.
Shalom, Tuhan Jaga
Herdy Ezra Wayoi
Ketua LSM PAGARAS
Papua Garis Keras
Download Press Release Here
English Version
PAGARAS’s View on the Free Papua Organization (OPM) Indifference Towards Indigenous
Papuans and Immigrants, Becoming Victims of Barbarism
Pegunungan Bintang, August 26, 2024
In recent years, the terror and violent actions carried out by the Free Papua Organization (OPM) against civilians have come under deep scrutiny. The barbarity of the OPM does not discriminate; it does not care whether the Papuans are Indigenous Papuans (OAP) or immigrants; they all become targets of OPM attacks.
According to PAGARAS, over two consecutive days, on Monday and Tuesday, April 8 and 9, 2024, Papuan citizens fell victim to the barbaric acts of the OPM. This latest OPM action adds to the crime statistics in the series of criminal activities disrupting security in Papua, particularly causing casualties among the community, both Indigenous Papuans (OAP) and immigrants. These incidents reveal the bitter reality faced by the people of Papua, both locals and newcomers, who are currently victims of OPM barbarism.
This incident began with the killing of an Indigenous Papuan named Timotius Kasipmabin, shot by members of the OPM Kodap XXXV Bintang Timur on Monday, April 8, 2024, around 21:00 WIT in Modusit Village, Serambakon District, Pegunungan Bintang Regency, Papua. Timotius Kasipmabin was a member of the Pegunungan Bintang Satpol PP and the son of the tribal chief Marcel Kasilmabin.
Subsequently, in a different location, specifically at the Kios, Yersey Mersey Bridge, Kago-Kimak Street, Kago Village, Ilaga District, Puncak Regency, a shooting occurred perpetrated by Unknown Persons (OTK), suspected to be OPM members from Puncak Regency, targeting Pampang (an immigrant from the Toraja ethnic group) and an OAP named Nortinus Tabuni.
As a result of the shooting, Pampang sustained a gunshot wound to the right side of the head and is currently in critical condition. Meanwhile, Nortinus Tabuni was hit by a ricochet bullet on the left side of the waist and is conscious. As of now, both shooting victims are receiving medical treatment at Ilaga General Hospital.
Papuan Society Living in the Shadows of Fear
The OPM has instilled profound fear among residents, who now must live under the constant threat of violence. The violence caused by the OPM is not new in Papua. For a long time, this group has fought for Papua’s independence from Indonesia, but in the course of this struggle, many civilians have become victims. The OPM often resorts to violence and intimidation as tools to demonstrate their power and dominance.
PAGARAS observes that the impact of this violence is highly complex. For the Indigenous Papuan community, there is a division between the desire for independence and the wish for a peaceful life. Frequently, they find themselves caught in conflicts that are not of their choosing. Many simply wish to live their daily lives peacefully but are forced to confront the harsh realities brought about by this prolonged conflict. Meanwhile, immigrants often become targets, perceived as spies for security forces.
The violent incidents committed by the OPM serve as a reminder of how often civilians fall victim to groups like the OPM that disguise their actions as a fight for independence. PAGARAS notes the calls from many parties urging the government to seriously resolve this conflict by decisively dismantling the OPM. On one hand, PAGARAS still values a more humane, dialogue-based approach that the government continues to pursue.
The violence perpetrated by the OPM and its effects on civilian society highlight the critical need to prioritize conflict resolution in Papua as a national priority. PAGARAS urges the government to guarantee security for all citizens without exception. Protecting civilians is a shared responsibility among the government, the community, and other related parties.
PAGARAS’s Perspective
PAGARAS believes that, in addition to the government’s efforts to provide security to the community, it is also crucial to pay more attention to economic and social issues in Papua. PAGARAS warns that dissatisfaction with difficult living conditions, coupled with the looming threat of OPM terror, can easily trigger the emergence of radical movements.
An important indicator for achieving peace is the presence of inclusive development programs. PAGARAS observes government programs that involve the community in every stage of planning and implementation. This involvement not only enhances the sense of ownership but can also reduce the likelihood of violence occurring.
In this context, PAGARAS also highlights the media’s role, emphasizing the need to convey balanced information without inciting provocation. Sensational or biased reporting will only heighten tensions in society. Responsible reporting will help foster understanding and tolerance among different groups.
PAGARAS will continue to encourage the Papuan community to bravely engage with the OPM and take concrete steps to end this cycle of violence. Some members of the OPM are, in fact, their own relatives bound by kinship ties. PAGARAS believes that the community’s role in reaching out to their own people can still create significant change and provide new hope for future generations.
PAGARAS hopes that there is no room for barbarism and violence in resolving differences. Rather than continuing to conflict, it is better to work together to build a better Papua, where every individual, regardless of background, can live safely and prosperously.
Shalom, God Speed
Herdy Ezra Wayoi
Head of PAGARAS NGO
Papuan Hardline