Jayapura, 26 Agustus 2024, Otonomi Khusus (Otsus) untuk Provinsi Papua merupakan suatu kebijakan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 dan mengalami perubahan melalui Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021. Kebijakan ini bertujuan untuk memberikan kewenangan yang lebih luas kepada Provinsi Papua dalam mengatur dan mengurus wilayahnya sendiri di bawah kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Otonomi Khusus ini merupakan bentuk pengakuan terhadap keunikan budaya dan sejarah Papua, serta sebagai langkah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat.
Perubahan pertama UU Otsus Papua Tahun 2008 adalah dalam rangka mengakomodasi pembentukan Provinsi Papua Barat serta menghapus ketentuan pemilihan gubernur dan wakil gubernur oleh dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD), sehingga pemilihan gubernur dan wakil gubernur di Papua dilakukan sama seperti daerah lainnya, yaitu melalui pemilihan langsung. Perubahan UU Otsus Papua kedua tahun 2021 dilakukan dalam rangka penyempurnaan kebijakan-kebijakan otsus Papua khususnya mengenai pelaksanaan kewenangan khusus, penyelenggaraan pemerintahan di Papua, dan kebijakan pemberian dana otsus serta perbaikan tata kelola dana otsus.
Sebagai pelaksanaan lebih lanjut atas UU Otsus Papua, telah disusun Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 106 Tahun 2021 tentang Kewenangan dan Kelembagaan Kebijakan Otonomi Khusus Papua (PP Kewenangan Papua) dan PP Nomor 107 Tahun 2021 tentang Penerimaan, Pengelolaan, Pengawasan, dan Rencana Induk Percepatan Pembangunan dalam rangka Pelaksanaan Otonomi Khusus Provinsi Papua.
PAGARAS mencermati bahwa kebijakan Otsus Papua memiliki karakteristik yang unik dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia. Salah satu aspek penting dari Otsus adalah pembentukan lembaga-lembaga khusus yang berfungsi sebagai sarana bagi masyarakat Papua untuk berpartisipasi aktif dalam pemerintahan. Di antaranya adalah Majelis Rakyat Papua (MRP), Dewan Perwakilan Rakyat Papua dan Papua Barat (DPRP/PB), serta Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Lembaga-lembaga tersebut menjadi ciri khas Papua dan diharapkan dapat mewakili aspirasi serta kepentingan masyarakat asli Papua dalam proses pengambilan keputusan.
Selain itu, salah satu ketentuan penting dalam Otsus adalah keharusan bahwa Gubernur dan Wakil Gubernur Papua berasal dari Orang Papua Asli (OAP). Ketentuan ini menunjukkan komitmen untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat lokal dalam memimpin dan mengelola pemerintahan di daerahnya. Hal ini diharapkan dapat menciptakan kepemimpinan yang lebih responsif dan memahami dinamika serta tantangan yang dihadapi oleh masyarakat Papua.
Keunikan Mengimplementasikan UU Otsus
PAGARAS menganalisa, terdapat sejumlah tantangan dan kelemahan dalam pelaksanaan Otonomi Khusus ini. Salah satu masalah utama adalah ketidaktegasan dalam pengaturan kedudukan pemerintah kabupaten/kota dalam konteks Otsus. Meskipun UU Otsus memberikan ruang bagi Papua untuk mengatur sendiri daerahnya, tidak ada penegasan yang jelas mengenai peran dan kewenangan pemerintah kabupaten/kota dalam pelaksanaan pemerintahan di wilayah mereka.
Hal ini berdampak pada posisi pemerintah kabupaten/kota yang menjadi setara dengan kabupaten/kota di daerah dengan otonomi biasa, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda). Ketidaktegasan ini berpotensi menjadikan pelaksanaan Otonomi Khusus di Papua hanya berfokus pada pemerintah provinsi, sehingga menghilangkan peran strategis pemerintah kabupaten/kota yang seharusnya dapat berkontribusi terhadap pembangunan daerah secara lebih langsung dan efektif.
Pemerintah kabupaten/kota memiliki posisi yang sangat penting dalam menciptakan tata kelola pemerintahan yang bersih dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat di tingkat lokal. Mereka memiliki pengetahuan yang lebih mendalam mengenai kondisi dan permasalahan yang ada di masyarakat. Dengan adanya kelemahan dalam pengaturan, pemerintah kabupaten/kota bisa terpinggirkan dalam pengambilan keputusan dan implementasi kebijakan yang seharusnya berpihak kepada masyarakat.
PAGARAS menekankan bahwa otonomi yang efektif tidak hanya bergantung pada kewenangan pemerintah provinsi, tetapi juga harus melibatkan partisipasi aktif dari semua lapisan pemerintahan, termasuk pemerintah kabupaten/kota. Hal ini akan memastikan bahwa kebijakan yang diambil benar-benar mencerminkan kebutuhan dan aspirasi masyarakat, serta memperkuat sistem demokrasi di daerah. PAGARAS menghimbau seluruh elemen masyarakat dan barisan akar rumput di tanah Papua, untuk aktif berpartisipasi dalam bentuk pemikiran dan dukungan terhadap rencana aksi yang menjadi turunan dari program-prgram pemerintah di daerah.
Selain itu, dukungan terhadap pengembangan kapasitas dan kompetensi pemerintah daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, juga menjadi hal yang krusial. Namun demikian, PAGARAS juga menekankan kepentingan untuk menaruh prioritas kepada upaya-upaya penguatan kapasitas, pemerintah daerah akan kesulitan untuk mengimplementasikan kebijakan Otsus dengan baik. Oleh karena itu, PAGARAS melihat perlu adanya investasi dalam pendidikan dan pelatihan bagi aparatur pemerintah daerah sehingga mereka mampu menjalankan amanah dengan baik dan responsif terhadap tantangan yang ada.
Selanjutnya, kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat juga harus ditingkatkan. Masyarakat tidak hanya sebagai penerima manfaat, tetapi juga sebagai mitra dalam proses pembangunan. Harus ada ruang bagi masyarakat untuk menyampaikan aspirasi dan berpartisipasi dalam perencanaan dan implementasi program-program pembangunan. Dengan adanya keterlibatan masyarakat, diharapkan akan muncul inovasi dan solusi yang lebih relevan untuk mengatasi permasalahan yang ada di Papua.
PAGARAS menegaskan untuk membentuk mekanisme pengawasan yang efektif umtuk memastikan pelaksanaan Otonomi Khusus berjalan sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Oleh karena itu, perlu adanya mekanisme pengawasan yang transparan dan akuntabel untuk memantau penggunaan anggaran, pelaksanaan program, serta dampak dari kebijakan yang diambil. Hal ini akan memberikan jaminan bahwa Otsus bukan hanya menjadi simbol, tetapi benar-benar memberikan manfaat bagi masyarakat Papua.
Secara keseluruhan, Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua merupakan langkah penting dalam memberikan kewenangan dan kekhususan kepada daerah yang memiliki tantangan dan keunikan tersendiri. Namun, untuk mencapai tujuan dari Otsus, diperlukan upaya bersama antara pemerintah, masyarakat, dan semua pemangku kepentingan untuk menciptakan tata kelola pemerintahan yang lebih baik, efektif, dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat di Papua. Pengaturan yang lebih jelas mengenai peran pemerintah kabupaten/kota serta peningkatan kapasitas dan partisipasi masyarakat akan menjadi kunci dalam mewujudkan kesuksesan Otonomi Khusus di Provinsi Papua.
Permasalahan Kedudukan Pemerintah Kabupaten/Kota
Mencermati insiden serta dinamika yang terjadi di lapangan terkait kejelasan dan kewenangan pejabat Kepala Daerah di tsanah Papua, PAGARAS menarik beberapa kesimpulan penyabab terjadinya hal dimaksud. Kurangnya kejelasan dalam Undang-Undang Otonomi Khusus (UU Otsus) yang mengatur kedudukan pemerintah kabupaten/kota di Papua telah memicu sejumlah permasalahan yang kompleks dan berkelanjutan.
Salah satu dampak paling nyata dari ketidakjelasan ini terlihat dalam batas kewenangan antara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Kasus yang terjadi di Walikota Sorong yang membubarkan vaksinasi Covid-19 yang diinisiasi oleh Gubernur Papua Barat menjadi contoh konkret dari masalah ini. Tindakan tersebut menunjukkan adanya ambiguitas dalam batas kewenangan antara kedua pemerintahan, yang berpotensi menimbulkan konflik dan menghambat pelaksanaan program pembangunan yang seharusnya berjalan dengan baik.
PAGARAS menyimpulkan, dalam kerangka UU Otsus, seharusnya ada pembagian tugas dan tanggung jawab yang jelas antara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Namun, dengan adanya ketidakjelasan ini, masing-masing pemerintah seringkali bertindak sesuai interpretasi mereka sendiri, yang dapat berujung pada tumpang tindih kebijakan dan konflik kepentingan. Misalnya, ketika pemerintah provinsi meluncurkan program vaksinasi Covid-19, seharusnya pemerintah kabupaten/kota berperan dalam mendukung dan melaksanakan program tersebut.
PAGARAS mencermati, dalam kasus yang terjadi, Walikota Sorong mengambil keputusan untuk membubarkan program tersebut, menunjukkan bahwa kewenangan yang ada tidak diimbangi dengan pemahaman yang jelas mengenai tanggung jawab masing-masing pihak. Hal ini tidak hanya menciptakan ketidakpastian bagi masyarakat, tetapi juga menghambat upaya penanganan pandemi secara efektif di tingkat lokal.
Pandangan PAGARAS
Kondisi ini berpotensi mengurangi partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, yang berujung pada terbatasnya ruang aspirasi daerah. Ketidakjelasan mengenai kedudukan pemerintah kabupaten/kota dalam UU Otsus membuat masyarakat lokal kesulitan untuk menyampaikan aspirasi mereka secara langsung kepada pemerintah pusat. Rencana pembangunan yang dirancang di tingkat pusat sering kali tidak sesuai dengan kondisi riil di daerah, karena tidak ada mekanisme yang efektif untuk menangkap dan menerjemahkan aspirasi masyarakat lokal ke dalam kebijakan yang lebih luas. Akibatnya, masyarakat merasa teralienasi dan kurang memiliki kendali atas nasib dan perkembangan daerah mereka.
PAGARAS mengingatkan, masalah ketidakjelasan ini dapat memunculkan ketidakpuasan di kalangan masyarakat. Ketika program-program pembangunan tidak relevan atau tidak tepat sasaran, masyarakat akan merasakan dampak negatifnya dalam bentuk pelayanan publik yang menurun, infrastruktur yang tidak memadai, serta hilangnya kepercayaan terhadap pemerintah. Jika keadaan ini dibiarkan berlarut-larut, maka potensi untuk munculnya ketegangan sosial dan konflik di tingkat lokal semakin besar. Hal ini tentunya menjadi tantangan serius bagi pemerintah dalam menciptakan stabilitas dan kesejahteraan di Papua.
Salah satu solusi yang dapat diupayakan adalah perlunya revisi dan klarifikasi UU Otsus untuk memberikan batasan kewenangan yang lebih jelas antara pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Dalam hal ini, keterlibatan berbagai pemangku kepentingan, termasuk masyarakat sipil, sangat penting untuk memastikan bahwa regulasi yang dihasilkan sesuai dengan kebutuhan nyata di lapangan. Pembentukan forum komunikasi antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota juga dapat membantu meningkatkan koordinasi dan kolaborasi dalam pelaksanaan program pembangunan.
PAGARAS menyipulkan bahwa otonomi khusus bukan hanya tentang desentralisasi kekuasaan, tetapi juga tentang memberi suara dan ruang bagi masyarakat lokal untuk berpartisipasi aktif dalam pengambilan keputusan yang mempengaruhi kehidupan mereka. Otonomi yang efektif haruslah menciptakan sinergi antara pemerintah pusat dan daerah, di mana setiap elemen memiliki peran yang jelas dan saling mendukung dalam mencapai tujuan pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan.
Akhirnya, meningkatkan kejelasan dalam UU Otsus mengenai kedudukan pemerintah kabupaten/kota adalah langkah krusial untuk menyelesaikan permasalahan yang ada. Dengan langkah ini, diharapkan berbagai inisiatif dan program pembangunan dapat berjalan lebih efektif, dan masyarakat Papua dapat merasakan manfaat nyata dari otonomi khusus yang seharusnya menjadi hak mereka. Kurangnya kejelasan ini harus segera diatasi agar otonomi khusus dapat diwujudkan sesuai dengan harapan dan kebutuhan masyarakat yang beragam di Papua.
Dari berbagai catatan yang disampaikan oleh PAGARAS, jelas bahwa pelaksanaan Otonomi Khusus di Papua memerlukan pendekatan yang lebih komprehensif dan terintegrasi. Kejelasan kedudukan pemerintah kabupaten/kota, penguatan demokrasi lokal, dan meminimalisir peran pemerintah pusat adalah langkah-langkah strategis yang perlu diambil untuk memastikan Otsus dapat dilaksanakan dengan efektif.
Shalom, Tuhan Jaga
Herdy Ezra Wayoi
Ketua LSM PAGARAS
Papua Garis Keras
Download the Press Release Here
English Version
PAGARAS’s View on the Distribution of Authority of Special Autonomy
Regional Governments in Papua to Build Effective Governance
Jayapura, August 27, 2024
Special Autonomy (Otsus) for Papua Province is a policy regulated by Law Number 35 of 2008 and amended by Law Number 2 of 2021. This policy aims to provide broader authority to Papua Province to manage its own territory within the framework of the Unitary State of the Republic of Indonesia. This Special Autonomy is a recognition of the unique culture and history of Papua and a step towards improving the welfare of the local community.
The first amendment to the Papua Otsus Law of 2008 was made to accommodate the establishment of West Papua Province and to eliminate the provisions for the election of governors and vice governors by the regional people’s representative council (DPRD), thus allowing for the direct election of the governor and vice governor in Papua, similar to other regions. The second amendment to the Papua Otsus Law in 2021 was made to refine policies related to the special authority, governance in Papua, and the allocation and management of Otsus funds, as well as to improve the governance of these funds.
As a further implementation of the Papua Otsus Law, Government Regulations (PP) Number 106 of 2021 regarding the Authority and Institutional Policies on Papua’s Special Autonomy (PP Kewenangan Papua) and PP Number 107 of 2021 concerning Acceptance, Management, Supervision, and Master Plan for Accelerating Development in the Context of Implementing Special Autonomy for Papua Province have been established.
PAGARAS observes that the Papua Otsus policy has unique characteristics compared to other regions in Indonesia. One important aspect of Otsus is the establishment of special institutions that serve as a means for the Papuan community to actively participate in governance. These include the Papua People’s Assembly (MRP), the Papua and West Papua Regional Representative Council (DPRP/PB), and the Truth and Reconciliation Commission (KKR). These institutions are distinctive to Papua and are expected to represent the aspirations and interests of the indigenous Papuan people in the decision-making process.
Moreover, one crucial provision in Otsus is the requirement that the Governor and Vice Governor of Papua must come from Indigenous Papuans (OAP). This provision demonstrates a commitment to providing opportunities for the local community to lead and manage governance in their region. It is hoped that this will create leadership that is more responsive and understands the dynamics and challenges faced by the Papuan people.
Uniqueness in Implementing the Otsus Law
PAGARAS analyzes that there are several challenges and weaknesses in the implementation of this Special Autonomy. One major issue is the lack of clarity regarding the position of the district/city government in the context of Otsus. Although the Otsus Law provides space for Papua to govern its own regions, there is no clear affirmation regarding the role and authority of district/city governments in governing their territories.
This affects the status of district/city governments, making them equal to those in regions with ordinary autonomy, as regulated by Law Number 9 of 2015 concerning the Second Amendment to Law Number 23 of 2014 concerning Regional Government (UU Pemda). This lack of clarity risks making the implementation of Special Autonomy in Papua overly focused on the provincial government, thus diminishing the strategic role of district/city governments, which should contribute more directly and effectively to regional development.
District/city governments play a crucial role in creating clean governance that is responsive to local community needs. They possess a deeper understanding of the conditions and problems within their communities. Due to weaknesses in regulation, district/city governments risk being sidelined in decision-making and policy implementation that should prioritize the community.
PAGARAS emphasizes that effective autonomy does not just depend on the authority of the provincial government, but must also involve active participation from all levels of government, including district/city governments. This will ensure that the policies adopted truly reflect the needs and aspirations of the people and strengthen the democratic system in the region. PAGARAS calls upon all elements of society and grassroots movements in Papua to actively participate in providing thoughts and support for action plans stemming from government programs in the region.
Additionally, support for the development of capacities and competencies of regional governments, both at the provincial and district/city levels, is crucial. However, PAGARAS also stresses the importance of prioritizing capacity-building efforts; without this, regional governments will struggle to implement Otsus policies effectively. Therefore, PAGARAS sees the need for investment in education and training for local government officials so that they can fulfill their duties effectively and respond to existing challenges.
Furthermore, collaboration between the government and the community must be enhanced. The community should not only be beneficiaries but also partners in the development process. There should be space for the community to voice their aspirations and participate in the planning and implementation of development programs. With community involvement, it is hoped that more relevant innovations and solutions will emerge to address the existing problems in Papua.
PAGARAS asserts the necessity to establish an effective oversight mechanism to ensure the implementation of Special Autonomy aligns with the expected goals. Therefore, a transparent and accountable oversight mechanism is needed to monitor budget usage, program execution, and the impact of the policies adopted. This will guarantee that Otsus is not merely symbolic but truly benefits the people of Papua.
Overall, Special Autonomy for Papua Province is an important step in granting authority and special status to a region that faces its own challenges and uniqueness. However, to achieve the goals of Otsus, a collaborative effort among the government, the community, and all stakeholders is needed to create better, more effective governance that is responsive to the needs of the Papuan people. Clearer regulations regarding the roles of district/city governments, along with increased community capacity and participation, will be key to achieving the success of Special Autonomy in Papua Province.
Issues Regarding the Position of District/City Governments
In light of incidents and dynamics occurring on the ground regarding the clarity and authority of regional officials in Papua, PAGARAS draws several conclusions about the causes of these issues. The lack of clarity in the Special Autonomy Law (UU Otsus) regarding the position of district/city governments in Papua has triggered a number of complex and ongoing problems.
One of the most apparent impacts of this lack of clarity is seen in the limits of authority between the provincial and district/city governments. The case of the Mayor of Sorong dissolving the COVID-19 vaccination initiative led by the Governor of West Papua serves as a concrete example of this issue. This action highlights the ambiguity in the boundaries of authority between the two governments, which has the potential to create conflict and hinder the implementation of development programs that should proceed smoothly.
PAGARAS concludes that under the Otsus Law framework, there should be a clear division of tasks and responsibilities between the provincial and district/city governments. However, due to this lack of clarity, each government often acts according to their own interpretation, which can lead to overlapping policies and conflicts of interest. For example, when the provincial government launched a COVID-19 vaccination program, the district/city governments should have played a role in supporting and implementing the program.
PAGARAS notes that in this case, the Mayor of Sorong decided to dissolve the program, indicating that the existing authority was not matched by a clear understanding of each party’s responsibilities. This not only creates uncertainty for the community but also hampers effective pandemic response efforts at the local level.
PAGARAS’s View
This situation has the potential to reduce community participation in the decision-making process, leading to limited space for regional aspirations. The lack of clarity regarding the position of district/city governments in the Otsus Law makes it difficult for local communities to directly convey their aspirations to the central government. Development plans formulated at the central level often do not align with the real conditions in the regions, as there is no effective mechanism to capture and translate local aspirations into broader policies. Consequently, communities feel alienated and lack control over their fate and regional development.
PAGARAS warns that this issue of ambiguity may lead to dissatisfaction among the public. When development programs are irrelevant or poorly targeted, communities will experience negative repercussions in the form of declining public services, inadequate infrastructure, and a loss of trust in the government. If this situation persists, the potential for social tension and conflict at the local level will increase significantly. This poses a serious challenge for the government in creating stability and welfare in Papua.
One possible solution is the need for revisions and clarifications to the Otsus Law to provide clearer boundaries of authority between the provincial and district/city governments. In this regard, the involvement of various stakeholders, including civil society, is essential to ensure that the resulting regulations meet the real needs on the ground. Establishing a communication forum between the central, provincial, and district/city governments could also help improve coordination and collaboration in implementing development programs.
PAGARAS concludes that special autonomy is not just about decentralizing power but also about giving a voice and space for local communities to actively participate in decision-making that affects their lives. Effective autonomy must create synergy between the central and regional governments, where each element has a clear role and supports each other in achieving inclusive and sustainable development goals.
Finally, enhancing clarity in the Otsus Law regarding the position of district/city governments is a crucial step to resolving existing issues. With this step, it is hoped that various initiatives and development programs can be implemented more effectively, and the people of Papua can experience the tangible benefits of the special autonomy that should be their right. This lack of clarity must be addressed promptly so that special autonomy can be realized in accordance with the diverse hopes and needs of the people in Papua.
From various notes presented by PAGARAS, it is clear that the implementation of Special Autonomy in Papua requires a more comprehensive and integrated approach. Clarifying the position of district/city governments, strengthening local democracy, and minimizing the role of the central government are strategic steps that need to be taken to ensure Otsus can be implemented effectively.
Shalom, Godbless!
Herdy Ezra Wayoi
Head of PAGARAS NGO
Papuan Hardline