Pandangan PAGARAS Terkait Pendekatan Kolaboratif Dalam Menyelesaikan Konflik Papua

Mimika, 15 Oktober 2024. Papua memiliki nilai strategis bagi Indonesia dalam berbagai bidang, termasuk ekonomi, sosial budaya, politik, dan pertahanan. Pertama, Papua kaya akan sumber daya alam seperti gas, minyak, emas, tembaga, dan mineral lainnya. Kedua, Papua memiliki kekayaan budaya yang beragam dan unik, yang menjadi salah satu warisan budaya Indonesia yang perlu dilindungi dan dilestarikan. Ketiga, Papua berperan penting sebagai pintu gerbang Indonesia ke wilayah Pasifik dan memiliki sejarah panjang terkait integrasinya ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Namun, hingga saat ini, Papua masih menghadapi berbagai konflik.

PAGARAS mencatat bahwa sepanjang tahun 2023, terdapat 209 insiden kekerasan kriminal bersenjata dan politik di Papua, yang mengakibatkan 79 korban jiwa, terdiri dari 37 warga sipil, 20 anggota TNI, 3 anggota Polri, dan 19 anggota Organisasi Papua Merdeka (OPM). Jumlah korban tewas ini mengalami peningkatan dibandingkan tahun sebelumnya, di mana pada tahun 2022 tercatat 53 orang meninggal.

Selanjutnya, antara Maret dan April 2024, setidaknya terdapat 12 insiden kekerasan di Papua yang tidak hanya mengepung anggota TNI/Polri, tetapi juga warga sipil. Dari jumlah tersebut, empat warga sipil dan lima anggota TNI/Polri mengalami luka, sedangkan delapan orang tewas, termasuk lima anggota TNI/Polri dan tiga warga sipil. Selain itu, dua perempuan menjadi korban kekerasan seksual, termasuk aksi sadis pembunuhan pilot asal Selandia Baru, Glen Malcolm Conning, yang terjadi di Distrik Alama, Kabupaten Mimika, pada awal Agustus 2024 oleh OPM.

PAGARAS juga mengutuk aksi OPM yang tidak hanya melakukan serangan terhadap masyarakat sipil dan aparat keamanan, tetapi juga merusak fasilitas publik. Terbaru, OPM membakar sebuah SMA di Kabupaten Puncak, Papua Tengah, saat terlibat konflik dengan tim pemenangan calon kepala daerah setempat pada malam Selasa, 08/10/2024, yang dipimpin oleh Kalenak Murib.

Selain insiden yang terjadi di Puncak, PAGARAS juga melaporkan pembakaran sekolah oleh OPM di lokasi lain di Papua. Pada Rabu 01/05/2024, OPM membakar sekolah dasar di Pogapa, Distrik Homeyo, Kabupaten Intan Jaya. Kemudian, pada Selasa, 21/05/2024, OPM kembali melakukan pembakaran di gedung sekolah terpadu YPPGI Kepas Kopo, Kabupaten Paniai. Pada Minggu, 21/07/2024, gedung sekolah dasar di Kampung Borban, Distrik Okbab, Kabupaten Pegunungan Bintang, juga menjadi sasaran. Selama periode 2021-2024, OPM tercatat telah membakar sekitar 20 sekolah di berbagai jenjang di Papua.

Menariknya, PAGARAS mengamati bahwa pada semester pertama tahun 2024 (Januari-Juni), jumlah kasus kekerasan oleh OPM menurun menjadi 29 kasus dibandingkan tahun sebelumnya. Penurunan ini membawa dampak positif bagi stabilitas keamanan, yang memungkinkan pemerintah untuk lebih fokus pada peningkatan layanan publik serta membangun kepercayaan dan rasa aman masyarakat.

Selain aksi teror OPM, isu Papua sering menjadi perhatian di forum internasional, di mana terdapat spekulasi mengenai adanya upaya tersembunyi untuk menginternasionalisasi isu ini. Internasionalisasi isu Papua bisa diartikan sebagai usaha untuk memperoleh dukungan internasional terhadap aspirasi politik tertentu, seperti kemerdekaan atau otonomi lebih besar. Di sisi lain, kelompok advokasi internasional, seperti United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), aktif mencari dukungan global.

Isu Separatisme dan Pendekatan Kebijakan Pemerintah
Isu separatisme di Papua dianggap sebagai ancaman bagi persatuan dan kesatuan negara. Papua merupakan bagian tak terpisahkan dari Republik Indonesia, dan proses integrasinya telah berlangsung sesuai dengan hukum internasional melalui Penentuan Pendapat (Pepera) pada tahun 1969. Hasil Pepera menunjukkan bahwa mayoritas penduduk Papua memilih untuk bergabung dengan Indonesia, sehingga setiap gerakan yang berusaha memisahkan diri dianggap melanggar integritas dan kesatuan negara, serta digolongkan sebagai tindakan separatisme. Saat ini realitanya masyarakat Papua masih menghadapi kesulitan ekonomi. PAGARAS mencatat bahwa konflik yang ada sering kali terwujud dalam bentuk aksi separatisme, menggunakan isu-isu diseputar kesejahteraan dan kondisi ekonomi, dengan harapan untuk meraih kehidupan yang lebih baik di bawah pemerintahan yang berbeda.

Di sisi lain, beberapa kebijakan pemerintah, mulai dari pengesahan UU UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, UU RI Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial, UU Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, Peraturan Presiden RI Nomor 18 Tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2020-2024, Peraturan Presiden No. 24 Tahun 2023 Tentang Rencana Induk Pembangunan Papua Tahun 2022-2041, Inpres No. 9 Tahun 2020 tentang Percepatan Pembangunan Kesejahteraan di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, telah diundangkan untuk mendorong percepatan pembangunan di tanah Papua.

Meskipun pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan tersebut diatas untuk mempercepat pembangunan di Papua, ditambah dengan UU Otonomi Khusus dan Peraturan Presiden tentang pembangunan jangka menengah, PAGARAS menyoroti bahwa implementasi kebijakan tersebut belum sepenuhnya berhasil mencapai tujuan yang diinginkan. Gangguan keamanan yang dilakukan oleh OPM sering kali menghambat pembangunan fisik dan sumber daya manusia, diperparah oleh kurangnya komunikasi dan pengawasan yang efektif. Akibatnya, Papua tetap menjadi provinsi dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) terendah di Indonesia.

PAGARAS berpendapat bahwa penyelesaian konflik di Papua memerlukan sinergi dan kolaborasi di antara semua elemen bangsa. Sinergi adalah proses interaksi yang menciptakan keseimbangan harmonis untuk mencapai hasil optimal. Namun, optimalisasi sinergi dalam penyelesaian konflik di Papua menghadapi berbagai tantangan, termasuk hilangnya semangat solidaritas yang berdampak pada tindakan rasisme dan ketimpangan ekonomi, serta kesenjangan antara Orang Asli Papua (OAP) dan pendatang. Selain itu, efektivitas implementasi Undang-Undang Otonomi Khusus juga menjadi faktor penghambat.

Dalam konteks ini, PAGARAS menekankan pentingnya pendekatan pemerintahan kolaboratif dalam menyelesaikan konflik Papua. Pendekatan ini menekankan kerjasama, dialog, dan pengambilan keputusan yang adil dan inklusif. Dengan melibatkan semua pihak terkait, termasuk pemerintah, masyarakat, dan kelompok adat, diharapkan isu-isu seperti kemiskinan, sumber daya manusia, dan korupsi dapat diatasi secara lebih efektif.

Masalah-masalah ini juga berkaitan erat dengan konsolidasi demokrasi di Papua, yang melibatkan penguatan lembaga-lembaga demokrasi dan praktik demokrasi yang efektif dan inklusif. Berbagai faktor, seperti pendidikan, akses informasi, partisipasi masyarakat, integritas elit politik, dan kekuatan lembaga demokrasi, mempengaruhi proses ini. Oleh karena itu, penyelesaian masalah ini mencerminkan aktualisasi konsolidasi demokrasi yang menekankan penegakan hukum, pemerintahan yang berintegritas, perlindungan hak asasi manusia, dan partisipasi masyarakat yang aktif.

Langkah-langkah strategis yang diambil perlu melibatkan peran aktif dari berbagai elemen, termasuk tokoh agama, tokoh adat, akademisi, dan media massa. Hanya dengan kolaborasi dan sinergi yang kuat, upaya penyelesaian konflik di Papua dapat menjadi lebih efektif dan berkelanjutan, sehingga diharapkan bisa mencapai perdamaian dan kemajuan bagi wilayah tersebut.

Shalom, Tuhan Jaga

Herdy Ezra Wayoi
Ketua LSM PAGARAS
Papua Garis Keras

Download the Press Release Here

English Version

PAGARAS’s Perspective on Collaborative Approaches to Resolving the Papua Conflict
Mimika, October 15, 2024

Papua holds strategic value for Indonesia across various fields, including economics, socio-culture, politics, and defense. Firstly, Papua is rich in natural resources such as gas, oil, gold, copper, and other minerals. Secondly, Papua possesses a diverse and unique cultural heritage that is one of Indonesia’s cultural legacies that needs to be protected and preserved. Thirdly, Papua plays a vital role as Indonesia’s gateway to the Pacific region and has a long history concerning its integration into the Unitary State of the Republic of Indonesia (NKRI). However, Papua continues to face various conflicts to date.

PAGARAS notes that throughout 2023, there were 209 incidents of armed criminal violence and political violence in Papua, resulting in 79 fatalities, comprising 37 civilians, 20 members of the military (TNI), 3 members of the police (Polri), and 19 members of the Free Papua Organization (OPM). This death toll reflects an increase compared to the previous year, where 53 people were recorded dead in 2022.

Furthermore, between March and April 2024, there were at least 12 incidents of violence in Papua that not only targeted TNI/Polri personnel but also civilians. Among those incidents, four civilians and five TNI/Polri members were injured, while eight individuals were killed, including five TNI/Polri members and three civilians. Additionally, two women became victims of sexual violence, including the brutal murder of New Zealand pilot Glen Malcolm Conning, which occurred in Alama District, Mimika Regency, in early August 2024 by OPM.

PAGARAS also condemns the actions of OPM, which not only attacks civilians and security personnel but also damages public facilities. Recently, OPM burned a high school in Puncak Regency, Central Papua, during a conflict with the local regional head candidate’s campaign team on the night of Tuesday, October 8, 2024, led by Kalenak Murib.

In addition to the incidents in Puncak, PAGARAS has reported instances of school burnings by OPM in other locations in Papua. On Wednesday, May 1, 2024, OPM set fire to an elementary school in Pogapa, Homeyo District, Intan Jaya Regency. Then, on Tuesday, May 21, 2024, OPM again burned the integrated school building of YPPGI Kepas Kopo in Paniai Regency. On Sunday, July 21, 2024, an elementary school building in Borban Village, Okbab District, Pegunungan Bintang Regency, was also targeted. From 2021 to 2024, OPM is recorded to have burned approximately 20 schools across various levels in Papua.

Interestingly, PAGARAS observes that in the first semester of 2024 (January-June), the number of violent cases by OPM decreased to 29 cases compared to the previous year. This decline has a positive impact on security stability, allowing the government to focus more on improving public services and building trust and a sense of security among the community.

Besides the terror acts by OPM, the issue of Papua frequently gains attention in international forums, where there is speculation about hidden efforts to internationalize this issue. The internationalization of the Papua issue can be interpreted as an attempt to gain international support for certain political aspirations, such as independence or greater autonomy. On the other hand, international advocacy groups, such as the United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), actively seek global support.

Separatism Issues and Government Policy Approaches
The separatism issue in Papua is regarded as a threat to national unity and integrity. Papua is an inseparable part of the Republic of Indonesia, and its integration process has been conducted in accordance with international law through the Act of Free Choice (Pepera) in 1969. The Pepera results indicated that the majority of Papua’s population chose to join Indonesia, thus any movement attempting to secede is considered a violation of the nation’s integrity and unity, classified as separatist actions. Currently, the reality is that the people of Papua still face economic difficulties. PAGARAS notes that existing conflicts often manifest as separatist actions, using issues surrounding welfare and economic conditions, with hopes of achieving a better life under different governance.

On the other hand, several government policies, starting with the enactment of Law No. 21 of 2001 on Special Autonomy for Papua Province, RI Law No. 7 of 2012 on Social Conflict Management, Law No. 40 of 2008 on the Elimination of Racial and Ethnic Discrimination, RI Presidential Regulation No. 18 of 2020 on the National Medium-Term Development Plan for 2020-2024, Presidential Regulation No. 24 of 2023 on the Master Plan for Development of Papua for 2022-2041, and Presidential Instruction No. 9 of 2020 on Accelerating Welfare Development in Papua and West Papua Provinces, have been issued to spur development in Papua.

Although the government has enacted these various policies to accelerate development in Papua, along with the Special Autonomy Law and Medium-Term Development Regulations, PAGARAS highlights that the implementation of these policies has not fully succeeded in achieving the desired objectives. Security disturbances caused by OPM often hinder physical development and human resources, exacerbated by a lack of effective communication and oversight. As a result, Papua remains the province with the lowest Human Development Index (HDI) in Indonesia.

PAGARAS argues that resolving the conflict in Papua requires synergy and collaboration among all elements of the nation. Synergy is an interactive process that creates a harmonious balance to achieve optimal results. However, optimizing synergy in resolving conflicts in Papua faces various challenges, including the loss of solidarity spirit that leads to acts of racism and economic inequality, as well as disparities between Indigenous Papuans (OAP) and migrants. Additionally, the effectiveness of implementing the Special Autonomy Law also poses a hindering factor.

In this context, PAGARAS emphasizes the importance of a collaborative governance approach in resolving the Papua conflict. This approach stresses cooperation, dialogue, and fair and inclusive decision-making. By involving all relevant parties, including the government, the community, and indigenous groups, it is hoped that issues such as poverty, human resource development, and corruption can be addressed more effectively.

These issues are also closely linked to the consolidation of democracy in Papua, which involves strengthening democratic institutions and effective and inclusive democratic practices. Various factors such as education, access to information, community participation, the integrity of political elites, and the strength of democratic institutions influence this process. Therefore, addressing these problems reflects the actualization of democratic consolidation that emphasizes the rule of law, integrity in governance, the protection of human rights, and active community participation.

Strategic steps taken must involve the active role of various elements, including religious leaders, traditional leaders, academics, and the media. Only with strong collaboration and synergy can efforts to resolve the conflict in Papua become more effective and sustainable, leading to peace and progress for the region.

Shalom, Godbless!

Herdy Ezra Wayoi
Head of PAGARAS NGO
Papuan Hardline

Check Also

Himbauan PAGARAS Untuk Mengantisipasi Gangguan Keamanan Pada Pilkada 2024 di Tanah Papua

Jayawijaya, 28 Nopember 2024. PAGARAS mengamati berbagai analisis dari pengamat politik dan keamanan yang meramalkan …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *