PAGARAS: Pendidikan Kontekstual yang Diperlukan Anak-Anak Papua

Kerom, 28 November 2024. Penyediaan pendidikan dasar yang berkualitas merupakan hak asasi manusia dan seharusnya menjadi kesepakatan sosial antara warga negara dan presiden terpilih Prabowo Subianto. Mengacu pada statistik hingga tahun 2023, Papua masih menjadi provinsi dengan tingkat buta huruf tertinggi di Indonesia, yakni 12,84% (usia 15-44 tahun). PAGARAS juga mengajak untuk menilai secara objektif, langkah yang telah diambil selama pemerintahan Presiden Joko Widodo dalam upaya mempercepat pembangunan di Papua, salah satunya adalah Perpres 24/2023 mengenai Rencana Induk Percepatan Pembangunan Papua Tahun 2022-2041.

PAGARAS mencatat masalah seperti tingginya tingkat absensi guru dan siswa, kurangnya dukungan untuk pendidikan anak, ketidakrelevanan materi pembelajaran dengan konteks sehari-hari, serta minimnya inovasi dalam proses belajar mengajar. PAGARAS berpendapat bahwa masalah ini tidak dapat diselesaikan oleh pemerintah semata. Diperlukan kerjasama antara berbagai pihak untuk menyediakan pendidikan yang mampu menghadapi tantangan yang ada di Papua.

Meningkatkan Kehadiran Guru
PAGARAS memperhatikan berbagai kendala yang mengakibatkan absensi guru, seperti masalah transportasi, aksesibilitas yang sulit, ketidakamanan, ketiadaan akomodasi di sekitar sekolah, kehadiran dalam upacara adat dan keagamaan, serta ketidakadaan pengawasan, termasuk tinggal di kota dan meninggalkan tempat mengajar dari 6 bulan hingga 3 tahun. PAGARAS meyakini bahwa desentralisasi bisa menjadi solusi untuk mengatasi masalah ini. Desentralisasi memberikan kesempatan bagi daerah untuk menetapkan kebijakan pendidikan, seperti merekrut guru, menentukan lokasi penempatan, dan mempercepat pemberian honorarium.

PAGARAS berpendapat bahwa desentralisasi diperlukan untuk menjawab keterbatasan pengawasan oleh pemerintah provinsi dan pusat. Dengan desentralisasi, pengawasan dan dukungan dapat dilakukan di tingkat distrik hingga kampung, melalui mekanisme lokal yang dikenal sebagai tiga tungku (kepala kampung, gereja, dan ketua adat) yang efektif berfungsi sebagai kontrol sosial di Papua. PAGARAS mencontohkan bahwa desentralisasi melalui mekanisme lokal di Kabupaten Lanny Jaya dapat berjalan dengan baik.

Di Lanny Jaya, pemerintah daerah melibatkan kepala kampung, tokoh adat, dan pemuka agama untuk mengawasi kehadiran guru dan siswa di sekolah. Sementara itu, Sekretaris Daerah memberikan efek jera dengan menunda bantuan program keluarga harapan bagi keluarga yang membiarkan anaknya tidak hadir ke sekolah.

Pengaruh Intelektualitas Orang Tua
PAGARAS menilai bahwa pengaruh sosial budaya dalam keluarga sangat berdampak pada perkembangan anak. Sebagai contoh, orang tua yang buta huruf secara psikologis menganggap pendidikan tidak penting bagi anak. Berdasarkan data dari BPS, angka buta huruf pada orang dewasa berusia 45 tahun ke atas di Provinsi Papua masih tinggi, yaitu 22,26%. PAGARAS pernah melakukan observasi pada tahun 2022 di Kabupaten Keerom (Provinsi Papua) dan Manokwari Selatan (Provinsi Papua Barat), di mana hampir seluruh orang tua siswa di sana tidak bisa membaca. Hal ini mengakibatkan orang tua tidak mendampingi anak untuk belajar membaca dan menyelesaikan PR di rumah, serta tidak memotivasi anak untuk bersekolah dan membiarkan anak absen. PAGARAS melihat situasi ini berdampak pada kemampuan membaca anak.

PAGARAS kembali melakukan pengamatan di tahun 2024, yang menunjukkan bahwa orang tua yang buta huruf berpengaruh terhadap kesejahteraan anak, yang berujung pada prestasi akademik, stabilitas emosional, dan kemajuan sosial yang buruk. Selain itu, dalam beberapa kasus, ditemukan bahwa banyak orang tua siswa dari latar belakang ekonomi rendah bercerai, sehingga anak tinggal bersama nenek atau anggota keluarga lain yang tua dan buta huruf. Memprihatinkan, namun PAGARAS berpendapat bahwa untuk mengatasi masalah buta huruf yang masih tinggi, keterlibatan aktif orang tua sangatlah penting. Komunikasi yang efektif antara sekolah dan orang tua menjadi kunci utama untuk memotivasi orang tua agar lebih terlibat dalam proses belajar anak.

PAGARAS mendorong sekolah-sekolah untuk melibatkan orang tua secara aktif dalam berbagai kegiatan, seperti mengadakan pertemuan rutin, sosialisasi, dan kegiatan belajar bersama di rumah. Dinas pendidikan berperan penting sebagai fasilitator dalam membangun komunikasi yang baik antara sekolah dan orang tua.

Selain itu, PAGARAS juga mengajak tokoh masyarakat seperti kepala kampung, tokoh adat, tokoh agama, dan kelompok muda pegiat literasi, untuk melakukan kegiatan kolaboratif. Kolaborasi ini diharapkan dapat memberikan dampak besar bagi masyarakat dan berfungsi sebagai agen perubahan yang efektif. PAGARAS berharap pesan tentang pentingnya pendidikan dan literasi dapat disampaikan secara lebih efektif kepada masyarakat luas.

Menghubungkan Realitas dengan Kebutuhan
Dalam beberapa penelusuran PAGARAS ke sejumlah kabupaten di Papua, dapat disimpulkan bahwa salah satu penyebab rendahnya kemampuan membaca siswa di Papua berkaitan dengan ketidakrelevanan materi pembelajaran dengan konteks kehidupan sehari-hari mereka. Keterbatasan akses terhadap buku pelajaran yang sesuai dan ketidaksesuaian substansi buku dengan budaya masyarakat Papua menjadi hambatan utama.

Mengacu pada penelitian tim riset kolaborasi dari Pusat Riset Kependudukan BRIN, Pusat Kurikulum dan Perbukuan Kementerian Pendidikan, dan Universitas Cenderawasih di Kampung Demta, Kabupaten Jayapura pada tahun 2021, serta diskusi PAGARAS dengan guru setempat, para pendidik tersebut mengeluhkan contoh materi yang tidak relevan, seperti tentang kereta api. Hal ini menyulitkan siswa membayangkan konsep tersebut karena tidak ada dalam lingkungan mereka. Sementara itu, karakteristik masyarakat Papua yang sangat bergantung pada alam serta gaya hidup berburu dan meramu menuntut adanya materi pembelajaran yang lebih kontekstual.

PAGARAS menyimpulkan bahwa jika buku pelajaran disusun dengan kosakata dan contoh-contoh yang berhubungan dengan budaya serta kehidupan sehari-hari masyarakat Papua, seperti sagu, kayu, ubi, hutan, dan berburu, maka siswa akan lebih mudah memahami dan mengingat materi pelajaran. Penggunaan contoh yang familiar akan menciptakan visualisasi yang kuat dalam benak siswa, sehingga proses pembelajaran menjadi lebih efektif dan bermakna.

PAGARAS juga memberikan saran kepada pemerintah daerah untuk mempertimbangkan relevansi kurikulum dan inovasi dalam proses pembelajaran guna meningkatkan kemampuan membaca siswa di Papua. Pembelajaran yang berpusat pada siswa dan konteks budaya mereka dapat meningkatkan minat belajar yang lebih tinggi. Penggunaan media pembelajaran yang beragam dan relevan dengan kehidupan sehari-hari masyarakat Papua, seperti permainan tradisional, cerita rakyat, dan lagu daerah, dapat menjadi alternatif menarik.

Penerapan Pendidikan Kontekstual Papua
PAGARAS menyoroti pentingnya implementasi pendidikan kontekstual melalui pengembangan kurikulum yang berbasis kearifan lokal, penggunaan media pembelajaran yang sesuai dengan kehidupan sehari-hari orang asli Papua (OAP), serta inovasi dalam proses belajar mengajar dengan media permainan tradisional atau integrasi pengetahuan tradisional dengan ilmu pengetahuan modern.

PAGARAS menegaskan bahwa pendekatan pembangunan yang berfokus pada kesejahteraan sosial dan wilayah adat juga harus diprioritaskan, dengan perhatian khusus kepada masyarakat OAP di kampung-kampung, terutama di daerah pedalaman dan pegunungan yang sulit dijangkau. Hal ini sering kali tidak dipertimbangkan dalam merumuskan berbagai program akselerasi pendidikan di wilayah Papua.

PAGARAS akan mendorong pemerintah daerah untuk lebih sering mengadakan dialog dengan semua elemen masyarakat, sehingga pemerintah dapat merumuskan kebijakan pendidikan yang lebih responsif terhadap kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Selanjutnya, PAGARAS akan mendorong pemerintah untuk memberikan pendampingan berkelanjutan untuk memastikan efektivitas implementasi kebijakan tersebut. Menurut PAGARAS, dengan tersedianya layanan publik, OAP akan merasakan kehadiran negara, dan tidak hanya memiliki ingatan mengenai politik kekerasan.

PAGARAS berkesimpulan bahwa pemberdayaan masyarakat lokal dalam pengawasan dan partisipasi aktif untuk meningkatkan kualitas layanan publik akan mendorong terciptanya sistem pendidikan yang lebih akuntabel dan berkelanjutan. Peningkatan kerjasama kemitraan dengan berbagai penyelenggara pendidikan, baik pemerintah maupun swasta, juga penting untuk memperluas akses dan meningkatkan kualitas pendidikan di Papua.

Shalom, Tuhan Jaga

Herdy Ezra Wayoi
Ketua LSM PAGARAS
Papua Garis Keras

Download the Press Release Here

English Translation

PAGARAS: Contextual Education Needed for Children in Papua
Kerom, November 28, 2024

Providing quality basic education is a human right and should be a social agreement between citizens and the elected president, Prabowo Subianto. According to statistics up to 2023, Papua remains the province with the highest illiteracy rate in Indonesia, at 12.84% (ages 15-44). PAGARAS also calls for an objective assessment of the steps taken during President Joko Widodo’s administration to accelerate development in Papua, one of which is Presidential Regulation 24/2023 concerning the Master Plan for Accelerated Development of Papua 2022-2041.

PAGARAS notes issues such as the high absenteeism rates among teachers and students, insufficient support for children’s education, the irrelevance of learning materials to everyday contexts, and a lack of innovation in the teaching and learning process. PAGARAS argues that these problems cannot be solved by the government alone. Collaboration among various parties is essential to provide education that can address the challenges in Papua.

Increasing Teacher Attendance
PAGARAS pays attention to various obstacles leading to teacher absenteeism, such as transportation issues, difficult accessibility, insecurity, lack of accommodation near schools, participation in traditional and religious ceremonies, and lack of supervision, including teachers living in the city and leaving their teaching posts for 6 months to 3 years. PAGARAS believes that decentralization could be a solution to address these problems. Decentralization provides opportunities for local regions to establish educational policies, such as recruiting teachers, determining placement locations, and expediting honorarium payments.

PAGARAS asserts that decentralization is necessary to address the limitations of supervision by provincial and central governments. With decentralization, oversight and support can occur at the district and village levels, through local mechanisms known as the three pillars (village heads, church leaders, and customary leaders) which effectively function as social control in Papua. PAGARAS provides an example that decentralization through local mechanisms in Lanny Jaya regency has been successful.

In Lanny Jaya, local government involves village heads, customary figures, and religious leaders to monitor the attendance of teachers and students at schools. Meanwhile, the Regional Secretary imposes sanctions by delaying family hope program assistance for families that allow their children to be absent from school.

The Influence of Parental Literacy
PAGARAS assesses that socio-cultural influences within families greatly impact children’s development. For instance, illiterate parents psychologically perceive education as unimportant for their children. Based on data from the Central Statistics Agency (BPS), the illiteracy rate among adults aged 45 and above in Papua Province remains high, at 22.26%. PAGARAS conducted observations in 2022 in Keerom Regency (Papua Province) and South Manokwari (West Papua Province), where nearly all parents of students were unable to read. This resulted in parents not assisting their children in learning to read and completing homework at home, as well as failing to motivate their children to attend school, thus allowing absences. PAGARAS sees this situation affecting children’s reading abilities.

In 2024, PAGARAS observed that illiterate parents influence their children’s well-being, which in turn affects academic performance, emotional stability, and social advancement negatively. Additionally, in some cases, many parents from low economic backgrounds are divorced, leading children to live with elderly relatives who are also illiterate. It is concerning, yet PAGARAS believes that to address the still high illiteracy rates, active parental involvement is crucial. Effective communication between schools and parents is key to motivating parents to become more engaged in their children’s learning processes.

PAGARAS encourages schools to actively involve parents in various activities, such as regular meetings, socialization, and joint learning activities at home. The education office plays a vital role as a facilitator in building good communication between schools and parents.

Furthermore, PAGARAS invites community leaders such as village heads, customary leaders, religious figures, and youth literacy activists to engage in collaborative activities. This collaboration is expected to have a significant impact on the community and serve as an effective agent of change. PAGARAS hopes that the message about the importance of education and literacy can be communicated more effectively to the wider community.

Connecting Reality with Needs
Through several explorations by PAGARAS in various regencies in Papua, it can be concluded that one of the causes of low reading abilities among students in Papua relates to the irrelevance of learning materials to their daily life contexts. Limited access to suitable textbooks and the mismatch of book content with the culture of the Papuan community are major obstacles.

Referring to research conducted by a collaborative research team from the Population Research Center at BRIN, the Curriculum and Book Center of the Ministry of Education, and Cenderawasih University in Demta Village, Jayapura Regency in 2021, as well as discussions with local teachers, these educators complained about irrelevant material examples, such as those concerning trains. This makes it difficult for students to visualize the concept as it does not exist in their environment. Meanwhile, the characteristics of Papuan society, which are heavily reliant on nature and a lifestyle of hunting and gathering, demand learning materials that are more contextual.

PAGARAS concludes that if textbooks are prepared with vocabulary and examples related to the culture and daily life of the Papuan people, such as sago, wood, tubers, forests, and hunting, students will find it easier to understand and remember the learning material. Using familiar examples will create strong visualization in students’ minds, making the learning process more effective and meaningful.

PAGARAS also suggests that local governments consider curriculum relevance and innovation in the learning process to improve students’ reading abilities in Papua. Student-centered learning that is contextual to their culture can lead to higher learning interest. The use of diverse learning media relevant to the daily lives of Papuan people, such as traditional games, folktales, and regional songs, can serve as interesting alternatives.

Implementing Contextual Education in Papua
PAGARAS highlights the importance of implementing contextual education through the development of curricula based on local wisdom, the use of learning media that align with the daily lives of Indigenous Papuans (OAP), and innovations in the teaching and learning process using traditional games or integrating traditional knowledge with modern science.

PAGARAS underscores that a development approach focusing on social welfare and customary regions must also be prioritized, particularly concerning OAP communities in villages, especially in remote and mountainous areas that are difficult to reach. This aspect is often overlooked when formulating various educational acceleration programs in Papua.

PAGARAS will encourage local governments to engage in more frequent dialogues with all community elements, ensuring that the government can formulate educational policies that are more responsive to the needs and aspirations of the community. Furthermore, PAGARAS will advocate for the government to provide ongoing support to ensure the effective implementation of these policies. According to PAGARAS, with the availability of public services, OAP will feel the presence of the state, rather than only having memories of political violence.

PAGARAS concludes that empowering local communities in supervision and active participation to improve the quality of public services will promote the creation of a more accountable and sustainable education system. Enhancing partnerships with various educational providers, both government and private, is also crucial to expand access and improve education quality in Papua.

Shalom, Godbless!

Herdy Ezra Wayoi
Head of PAGARAS NGO
Papuan Hardline

Check Also

Himbauan PAGARAS Untuk Mengantisipasi Gangguan Keamanan Pada Pilkada 2024 di Tanah Papua

Jayawijaya, 28 Nopember 2024. PAGARAS mengamati berbagai analisis dari pengamat politik dan keamanan yang meramalkan …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *