Pendahuluan
Dalam menghadapi situasi politik yang kompleks di Papua, penting untuk memperhatikan kondisi perempuan di masyarakat. Sistem patriarki yang masih dominan membuat perempuan Papua seringkali harus bersikap patuh terhadap peran tradisionalnya sebagai istri, ibu, dan pekerja. Kekerasan fisik dan verbal kerap dialami perempuan Papua, baik di rumah maupun di luar rumah. Di beberapa komunitas adat, eksploitasi terhadap perempuan masih terjadi, membuat mereka menjadi tulang punggung keluarga tanpa perlindungan yang memadai.
Perempuan Papua juga rentan terhadap berbagai penyakit akibat pembagian tugas yang tidak proporsional dalam rumah tangga dan kondisi alam yang berat. Mereka didorong untuk memberi keturunan, memenuhi kebutuhan pangan, mendidik anak-anak, dan melayani suami tanpa banyak disorot atau didukung oleh masyarakat sekitar.
Diperlukan upaya nyata untuk melindungi hak-hak perempuan Papua dan memberikan dukungan yang lebih besar terhadap mereka dalam menghadapi tantangan yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. Pembicaraan tentang hubungan gender dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat Papua harus dilakukan secara serius untuk menciptakan lingkungan yang lebih adil dan aman bagi perempuan Papua.
Sebagian besar perempuan Asli Papua memiliki peran yang sangat penting dalam mencukupi kebutuhan keluarga sehari-hari di pedalaman Papua. Mereka melakukan berbagai tugas mulai dari berladang, berkebun, hingga menangkap ikan untuk kehidupan sehari-hari keluarga. Meskipun kehidupan mereka sangat keras, namun beberapa di antara mereka mampu meningkatkan kualitas hidup keluarga sambil melindungi kelestarian alam Papua.
Dalam filosofi masyarakat Papua, tanah dianggap sebagai simbol perempuan atau ibu, sehingga para perempuan Papua memiliki pengetahuan dan informasi yang lebih baik tentang wilayah tempat tinggal mereka. Dengan upaya mereka, perempuan Papua bukan hanya menjadi tulang punggung keluarga, tetapi juga menjaga kekayaan alam Papua untuk generasi mendatang.
Perspektif Baru Melihat Permasalahan Perempuan Papua
Perhatian khusus terhadap kerentanan perempuan Papua ditekankan dalam UU Otonomi khusus, yang mewajibkan pemerintah daerah untuk memperkuat posisi perempuan melalui pembinaan, perlindungan, dan pemberdayaan.
Sejarah juga menunjukkan bahwa gereja memainkan peran penting dalam mengubah pandangan terhadap perempuan di Papua, dengan adopsi nilai-nilai Sepuluh Perintah Allah yang mengakui kesetaraan gender. Ini telah membantu mengurangi isolasi sosial terhadap perempuan dan meningkatkan pengakuan akan derajat yang sama antara gender. Dengan pendekatan ini, diharapkan perempuan Papua bisa lebih diperhatikan dan dihormati dalam berbagai aspek kehidupan, serta menjadi mitra sejajar dengan kaum laki-laki dalam pembangunan Papua yang lebih baik.
Kebijakan Otsus telah membuka peluang bagi perempuan Papua untuk terlibat dalam Majelis Rakyat Papua. Kehadiran perempuan di salah satu bagian Majelis membawa perspektif baru dalam menangani isu-isu perempuan di Papua. Perempuan Papua memiliki kekuatan untuk menjaga perdamaian dan integritas dalam keluarga dan masyarakat.
Mereka juga memiliki pengetahuan tradisional tentang pengelolaan sumber daya, konservasi hutan, dan pertanian yang turun-temurun didapatkan untuk mendukung kehidupan mereka. Oleh karena itu, aspirasi perempuan dalam komunitas adat harus didengarkan dengan serius. Mereka memiliki pengetahuan mendalam tentang sejarah tanah, cerita-cerita wilayah, dan nilai-nilai adat yang tak ternilai.
Meskipun dalam budaya Papua hak kepemilikan tanah biasanya dimiliki oleh laki-laki, tidak boleh dilupakan bahwa perempuan juga memiliki hak untuk mengelolanya. Dengan demikian, peran perempuan dalam memanfaatkan lahan dan wilayah adat sangat penting.
Eksistensi Perempuan Papua Dalam Menjaga Alam
Kebijakan Otsus membuka pintu bagi perempuan Papua untuk berperan aktif dalam Majelis Rakyat Papua. Kehadiran perempuan di dalam Majelis membawa angin segar dalam penyelesaian masalah yang dihadapi oleh perempuan Papua. Mereka memiliki kekuatan untuk menjaga kedamaian dan integritas di tengah-tengah keluarga dan masyarakat.
Perempuan asli Papua memiliki pengetahuan yang luas tentang tata kelola sumber daya alam, konservasi hutan, dan pertanian yang mereka wariskan dari generasi ke generasi. Oleh karena itu, aspirasi dan pandangan perempuan dalam komunitas adat harus didengarkan dan dihargai. Meskipun tradisi Masyarakat Adat Papua menempatkan hak kepemilikan tanah pada laki-laki, perempuan juga memiliki peran penting dalam pengelolaan tanah dan wilayah adat. Mereka memiliki pengetahuan mendalam tentang sejarah tanah, cerita wilayah, serta nilai-nilai adat yang harus dijaga. Peran perempuan dalam pembangunan Papua tidak boleh diabaikan.
Pagaras mengapresiasi revisi UU Otsus yang telah diubah menjadi UU No. 2 Tahun 2021 terkait pembangunan dan meningkatkan peran kaum perempuan Papua. Sesuai dengan Pasal 6A yang menyatakan bahwa 1/4 dari total anggota merupakan tambahan kursi khusus bagi Orang Asli Papua dan 30 % dari merupakan jatah untuk keterwakilan perempuan Papua. Harapan di sini, Perempuan Papua turut menjadi representatif dalam peran sebagai tiang ekonomi keluarga, yang kemudian dapat memberikan saran dan masukan berdasarkan pengalaman mereka mengelola sumber daya alam dan pemikiran-pemikiran konservasi bagaimana merawat Tanah Papua.
Saran Pagaras Kepada Pemerintah
Pagaras membuat catatan yang diharapkan dapat dijadikan referensi oleh pemerintah dalam menyusun rencana aksi meningkatkan keterlibatan Perempuan Papua dengan mengambil manfaat keberadaan UU Otsus Papua, sebagai berikut:
Pertama, Pagaras menemukan fakta ironis bahwa di daerah yang mengelola sumber daya alam, malah banyak perempuan yang hidup dalam kemiskinan. Pembangunan seharusnya memperhatikan kebutuhan dan hak-hak dasar perempuan Papua. Ini merupakan tantangan besar yang harus segera diatasi agar perempuan di Papua dapat hidup lebih baik dan merata.
Kedua, Situasi di masyarakat saat ini masih didominasi oleh budaya yang lebih mendukung laki-laki daripada perempuan. Pemerintah harus meningkatkan pemahaman akan kesetaraan gender dan peran penting perempuan Papua dalam menjaga keluarga serta sumber daya alam Papua.
Ketiga, Pemerintah perlu mengembangkan lebih banyak program dan rencana aksi yang fokus pada pemberdayaan perempuan Papua. Hal ini penting agar perempuan dapat meningkatkan kapasitasnya dalam menyuarakan pendapat serta berpartisipasi aktif dalam dunia politik. Dengan demikian, perempuan akan lebih termotivasi untuk mencapai kuota 30 persen dalam kepemimpinan.
Keempat, Peningkatan kapasitas perempuan Papua harus lebih terencana, bukan hanya fokus pada individu tapi juga komunitas.
Kelima, Perempuan Papua perlu diberikan kesempatan untuk turut serta dalam menyuarakan pendapat mereka mengenai pembangunan yang memengaruhi budaya dan kehidupan mereka di hutan. Kebijakan politik yang menetapkan 30 persen representasi perempuan dan otonomi khusus bagi mereka harus diimplementasikan dengan jelas, termasuk siapa yang akan mendapat manfaat dan bagaimana kebijakan tersebut akan digunakan. Hal ini penting agar perempuan Papua dapat terlibat secara aktif dalam proses pembangunan yang berdampak langsung pada kehidupan mereka.
Untuk menutup, Pagaras mendukung keterlibatan kelompok perempuan dari gereja dan mesjid dalam mendorong partisipasi kaum perempuan. Dukungan dari pihak keagamaan sangat penting untuk memperkuat kontribusi perempuan dalam pembangunan dan mengurangi hambatan yang dihadapi akibat kebiasaan adat yang membatasi kebebasan perempuan. Semoga dengan adanya dukungan ini, perempuan bisa semakin aktif dan berperan dalam memajukan masyarakat.
Jayapura, 17 April 2024
Shalom, Tuhan Jaga
Herdy Ezra Wayoi
Ketua LSM PAGARAS
Papua Garis Keras
Download the Press Release Here
English Version
Press Release
Special Autonomy Policy Must Provide Better Future for Indigenous Papuan Women
Introduction
In light of the ongoing political tensions in Papua and the implementation of the Special Autonomy Law, it is crucial to delve into the status of Papuan women within society. Gender dynamics play a significant role in shaping power structures and division of labour in traditional Papuan communities. The influence of culture and tradition remains deeply entrenched, particularly when it comes to gender relations.
Papuan society largely adheres to a patriarchal system, where women are expected to fulfil traditional roles as wives, mothers, and workers. Women are often relegated to a subordinate position, with their sphere of influence confined to household duties. Men hold the dominant role as heads of the family, wielding authority over women, children, and property.
This power dynamic has far-reaching implications for Papuan women, who may find themselves constrained by societal expectations and norms. The patriarchal system perpetuates inequalities and limits opportunities for women to fully participate in public life. It reinforces a hierarchy that places men above women, ultimately restricting the agency and autonomy of Papuan women.
In order to address these systemic challenges, a nuanced understanding of gender relations in Papua is needed. By recognising the complexities of cultural practices and norms, interventions can be tailored to empower women and promote gender equality. Education, advocacy, and policy initiatives can help dismantle barriers and create opportunities for women to thrive in all aspects of society.
To drive positive change within Papuan communities, it is crucial to engage in meaningful dialogue and collaboration. By challenging outdated gender norms and advocating for women’s rights, we can work towards creating a more inclusive and equitable society for all members of the Papuan community. Unfortunately, indigenous Papuan women often face physical and verbal violence both at home and in their communities.
The exploitation of women continues to persist in many indigenous traditions, with women often being expected to fulfil multiple roles such as providing for their families, educating their children, and serving their husbands. This, coupled with domestic violence and harsh living conditions, leaves many Papuan women vulnerable to various diseases and even death. Despite these challenges, Papuan women work tirelessly to meet the daily needs of their families through farming, fishing, weaving, and selling produce in the market.
It is important to recognise the resilience and strength of these women who not only support their families but also strive to protect Papua’s natural environment. In Papuan society, the land is often seen as a symbol of women or mothers, highlighting the importance and knowledge that women hold about their surroundings. By empowering and supporting Papuan women, we can help improve their quality of life while preserving the unique beauty of Papua.
A New Paradigm for Handling the Problems of Papuan Women
The government has taken special notice of the vulnerability faced by Papuan women, with the Special Autonomy Law specifically targeting their empowerment. This legislation places a strong emphasis on the responsibility of local authorities in Papua, at both provincial and district levels, to protect and uplift the rights of women.
Pagaras highlights the transformative role of the church in improving the status of women in Papua, citing a positive shift in attitudes towards women since the introduction of religious teachings. The inclusion of women in the Papuan People’s Council through the Otsus policy marks a significant step towards addressing gender issues in the region.
Women in Papua are seen as key players in maintaining peace and unity within their families and communities, displaying energy and commitment to contribute to the development process at all levels. This new paradigm offers hope for a more inclusive and equal society in Papua.
Papuan women possess a deep knowledge of traditional resource management, forest conservation, and agriculture, which has been passed down through generations to support their livelihoods. As such, it is crucial to acknowledge the significant role that women in indigenous communities play in preserving their cultural heritage and sustaining their way of life. Women are not only able to provide detailed insights into the history of the land and community but also uphold traditional values and customary rules.
While land ownership rights in most indigenous Papuan cultures typically follow the male lineage, it is essential to recognize that women also have the right to manage and utilize customary lands and territories. Women often play pivotal roles in these processes. By empowering and involving women in decision-making related to land management and conservation, indigenous communities can benefit from a more holistic and inclusive approach that takes into account diverse perspectives and experiences.
In conclusion, the aspirations of Papuan women in indigenous communities should not be overlooked, as they bring valuable insights and expertise that are essential for the sustainable preservation of their cultural heritage and natural resources.
The Role of Women in Building and Protecting the Land of Papua
Pagaras highlighted the emergence of the women’s empowerment program around 2018, in response to the increasing dominance of men in traditional communities. This disparity in participation in discussions on rights and decision-making among indigenous peoples is a pressing issue that cannot be ignored. Looking towards the future, women play a crucial role in enhancing access to natural resources and upholding traditional knowledge.
Various initiatives have been implemented to empower Papuan women, including economic activities like food crop cultivation and the production of noken bags in indigenous communities. These efforts not only support the livelihoods of indigenous peoples but also serve to preserve their cultural heritage for future generations.
The recent revision of the Special Autonomy Law, now known as Law no. 2 of 2021, is a significant step towards promoting the development and empowering the role of Papuan women. Article 6A of the law mandates that a quarter of additional special seats are reserved for Papuan Indigenous People, with 30% specifically allocated for the representation of Papuan women. This provision aims to ensure that Papuan women are given a platform to share their experiences and perspectives on natural resource management and conservation, thus contributing to the sustainable development of the Land of Papua.
It is essential to recognise the invaluable contribution of Papuan women as the backbone of their families’ economies. By including them in decision-making processes, we can benefit from their unique insights and expertise in caring for the environment and nurturing the cultural heritage of the region. Through these measures, we can work towards a more inclusive and sustainable future for all inhabitants of Papua.
Notes for the Government
Pagaras makes notes that are expected to be used as a reference by the government in preparing an action plan to increase the involvement of Papuan women by taking advantage of the existence of the Papua Special Autonomy Law, as follows:
First, Pagaras acknowledged the emergence of the women’s empowerment program in 2018 to address the dominance of men in traditional communities. The revision of the Special Autonomy Law, now Law no. 2 of 2021, aims to increase the role of Papuan women by allocating 30% representation for them.
Second, Society’s current issue is the bias towards men in daily customs and habits. The government should promote gender equality awareness and recognise the vital role of Papuan women in sustaining family and natural resources in Papua.
Third, The government needs to ramp up initiatives and strategies that specifically target Papuan women to boost their empowerment and capacity. This will ultimately enhance their ability to voice opinions and participate in politics, especially in meeting the 30 per cent quota. Let’s make sure these amazing women get the support they need to shine!
Fourth, There should be a well-thought-out scheme to boost the skills of Papuan women, benefiting both individuals and the community as a whole. It might be necessary to collaborate on a community-wide initiative to achieve this goal.
Fifth, Papuan women should have the opportunity to share their views on development affecting their culture, like the forest. The 30% political policy and special autonomy for women need clear communication on who benefits and who it targets. Let’s make sure everyone gets the memo!
In conclusion, Pagaras backs the engagement of church and mosque women’s groups to boost women’s involvement. This support from religious parties helps women contribute to development and break free from old-fashioned constraints.
Jayapura, April 17, 2024
Shalom, Godbless!
Herdy Ezra Wayoi
Head of PAGARAS NGO
Papuan Hardline