Ancaman Etnonasionalis Terhadap Jati Diri Orang Asli PapuaBerdampak Pada Implementasi Penyimpangan Kebijakan Otsus

PENDAHULUAN

Pagaras mengulas sejarah saat KMB di Den Haag tahun 1949 yang menganeksasi Irian Barat sebagai wilayah yang diserahkan oleh Belanda kepada Indonesia dan status Irian Barat masih de facto dibawah kekuasaan Belanda. Indonesia kemudian tahun 1954 menjalankan strategi diplomasi multilateral dengan membawa persengketaan dengan Belanda ke Sidang Umum PBB. Seperti kita ketahui, sikap Amerika di PBB sangat menentukan terhadap semua persoalan yang masuk ke dalam Sidang Umum PBB. Kebijakan AS terhadap Irian Barat di luar dugaan berubah pada kilas tahun 1961 dari kebijakan netralitas pasif menjadi mediasi aktif. AS mendukung penyelesaian sengketa Irian Barat melalui perundingan PBB hingga tercapailah apa yang dimaksud dengan Perjanjian New York 1962.

Integrasi Papua sudah selesai dengan ditandatanganinya Perjanjian New York tahun 1962 dan pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) tahun 1969. Namun, sebagian kelompok di Papua belum mengakuinya, seperti tercermin dalam butir-butir Kongres Rakyat Papua II Tahun 2000.

Bagi orang Papua, sebutan orang Indonesia belum sepenuhnya memberikan rasa dan semangat nasionalisme yang melebur ke dalam status ke-Indonesiaan. Status sebagai orang Indonesia di Papua menghadapi tantangan yang cukup berat sejak integrasi Papua (1963/1969) menjadi Indonesia hingga saat ini. Pagaras melihat kesenjangan pemaknaan antara orang asli Papua (OAP) dan orang Indonesia. Polarisasi yang tidak disadari ini menjadi bibit seolah ada dua kecintaan terhadap tanah air, Tanah Air Papua dan Tanah Air Indonesia.

Persoalan di Tanah Papua yang berkorelasi dengan (Pemerintah) Pusat terjabar dalam permasalahan marginalisasi dan dampak diskriminatif terhadap orang Papua, warisan kegagalan pembangunan rezim masa lalu di bidang pendidikan, kesehatan dan pemberdayaan ekonomi rakyat, konstruksi identitas orang Papua yang sarat dengan kepentingan politik antara Jakarta dan Papua, serta pertanggungjawaban pemerintah atas kekerasan di masa lalu (Orde Baru).

Oleh karena itu, nasionalisme di Papua dalam konteks civic nasionalisme dan state nasionalisme berhadapan dengan tumbuh kembangnya  nasionalisme etnik yang menjadi tantangan kemudian.

KEBIJAKAN OTSUS DAN IDENTITAS OAP

Kebijakan Otsus hakikatnya adalah pemberian kewenangan yang lebih luas bagi provinsi untuk mengatur dan mengurus diri sendiri di dalam kerangka NKRI. Kebijakan Otsus memberikan porsi tanggung jawab yang lebih besar kepada penyelenggara pemerintahan lokal (elit lokal) dalam pemanfaatan kekayaan alam Papua untuk kemakmuran rakyat Papua yang diatur dalam berbagai perundangan dan regulasi.

Penekanan implementasi otonomi yang konkretnya adalah terwujudnya pembagian peran bagi orang-orang asli Papua untuk ikut serta merumuskan kebijakan daerah, menentukan strategi pembangunan dalam kesetaraan dan keragaman kehidupan masyarakat Papua sebagai bentuk aktualisasi jati diri rakyat Papua, serta pengakuan terhadap eksistensi hak ulayat, masyarakat adat, dan hukum adat. Orang Asli Papua adalah istilah yang melekat pada semua orang suku asli Papua namun perlu suatu batasan konkrit tentang identitas ini.

Kesepakatan antara masyarakat dan pemangku kepentingan di Tanah Papua untuk mengidentifikasikan masyarakat adat Papua sebagai OAP yang tinggal dan hidup di Tanah Papua, diakomodir dalam Undang-Undang Republik Indonesia nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua Bab 1, Pasal 1 yang menyatakan bahwa “Masyarakat Hukum Adat adalah masyarakat asli Papua yang sejak kelahirannya hidup dalam wilayah tertentu dan terikat serta tunduk kepada hukum adat tertentu dengan rasa solidaritas yang tinggi antara anggotanya”. Sehingga setiap OAP berdiri dan merasa semangat etnik merupakan identitas mereka sebagai entitas yang mendiami, menguasai dan mengatur tanah tempat mereka berada.

Penerapan Otsus di Tanah Papua hingga saat ini yang berimplikasi pada pembangunan masyarakat Papua secara utuh dinilai belum mampu mengurangi kesenjangan dan belum dapat memberikan dampak redistribusi horizontal maupun vertikal sementara potensi alamnya telah lama dan masih dikeruk namun belum mampu menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat Papua.

Merujuk sejarah integrasi Papua (1963/1969) dan pertumbuhan identitas orang Papua, tumbuh apa yang disebut nasionalisme etnik. Dalam perkembangannya, sejak integrasi Papua dalam Indonesia, dalam proses pembangunan OAP, khususnya masa Orde Baru, merasa dirinya termarginalisasi, terdiskriminasi oleh negara dan kaum pendatang (non-Papua) dalam bentuk ketidakberdayaan dalam aktivitas/persaingan bidang ekonomi, sosial, budaya, dan politik. Kondisi tersebut diperparah oleh status Daerah Operasi Militer (DOM) di Papua.

Dalam perkembanganya, nasionalisme etnik Papua kemudian ditandai oleh adanya tuntutan untuk merdeka dari Indonesia dan penggunaan unsur etnisitas untuk agenda politik sekelompok orang elit lokal maupun luar Tanah Papua. Konspirator dan provokator makin mahir menggoreng isu kebanggaan nasionalisme etnik dengan bahan bakar faktor-faktor yang dianggap sebagai penyebab kegagalan kehadiran negara dalam memajukan Tanah Papua. Nasionalisme etnik hingga saat ini mampu menggeser nasionalisme kewarganegaraan dan atau negara sebagai bagian dari negara Indonesia.

ETNONASIONALIS BIBIT DISINTEGRASI

Pagaras melihat bahwa keragaman suku bangsa yang ada di Tanah Papua dan kebudayaannya sangat dinamis sehingga konflik adalah hal yang dianggap biasa, sebagai akibat perbedaan pandangan tentang sesuatu, atau akibat dari pengentalan kesadaran identitas kesukuan.

Secara umum, Papua mempunyai tradisi perang yang sangat kuat. Konflik suku bangsa di Papua memiliki unsur etnonasionalisme dan masyarakat adat. Pagaras ingin mengingatkan bahwa etnonasionalis adalah paham yang mendasari dan ingin memisahkan diri dari negara (Indonesia), dan masyarakat adat, hidup dalam wilayah tertentu dan menginginkan otonomi yang lebih besar dari negara yang memerintah untuk melindungi tanah adat. Seperti yang disebutkan diatas bahwa keinginan tersebut terjadi akibat Pemerintah Pusat tidak memilih pendekatan yang tepat dalam menyeragamkan pemahaman nasionalisme sebagai bagian dari entitas yang bernama Indonesia.

Etnonasionalis dinilai mendasari perlawanan bersenjata di Papua, yakni Organisasi Papua Merdeka (OPM). Hilangnya negara dalam memahami bekerjanya imajinasi kolektif (etnonasionalisme) tersebut berpotensi memperumit keadaan di Papua. Nasionalisme mempunyai makna beragam dan pemaknaan tersebut dimanfaatkan menurut sudut pandang dan kepentingan masing-masing pengusungnya.

Kasus Papua dalam politik identitas lebih terkait dengan masalah etnisitas, agama, ideologi, dan kepentingan-kepentingan lokal. OPM dapat dipandang sebagai salah satu wujud dari reaksi kegelisahan politik identitas itu atas ketidaksetaraan politik sentralistis Pemerintah Pusat (Jakarta). Identitas dalam hal ini mampu merusak nasionalisme itu sendiri sekaligus memperkuat etnonasionalisme yang menjadi dasar perlawanan baru terhadap negara.

Pagaras meyakini bahwa menguatnya etnonasionalisme Papua muncul karena kebijakan Pemerintah Pusat (Jakarta) tidak dapat diterima sepenuhnya oleh OAP yang merasa dimarginalisasi dan didiskriminasi dalam proses pembangunan baik bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya khususnya di masa pemerintahan Orde Baru. Belum lagi kehadiran militer pada masa orde baru. Memori kolektif rakyat Papua adalah terjadinya beberapa tindak kekerasan dan kekejaman oleh oknum aparat keamanan negara.

Kehadiran pendatang (non-Papua) dilihat OAP sebagai bentuk persaingan, diperburuk dengan eksistensi kaum pendatang yang kebetulan saja mendominasi perekonomian di Papua karena keunggulan Sumber Daya Manusia (SDM) dan modal dibandingkan OAP. Isu-isu sesat seputar program transmigrasi yang disinyalir sebagai bentuk kolonisasi dan penyiaran agama (Islam) di Papua. Kondisi ini difabrikasi menjadi elemen yang harus dijawab dengan perlawanan, merapatkan barisan OAP dan meniupkan pemikiran jati diri dan kebanggaan OAP, memainkan subjektivitas etnonasionalis OAP. Pagaras mensinyalir hal tersebut kerap dipergunakan oleh elit-elit lokal maupun tokoh adat dalam agenda-agenda yang menguntungkan mereka secara politik dan ekonomi.

MENYIMPANG KELUAR TUJUAN OTSUS

Pasal 12 UU Otsus Papua menyatakan, “yang dapat dipilih menjadi gubernur dan wakil gubernur adalah warga Negara Republik Indonesia dengan syarat-syarat Orang asli Papua, dan seterusnya. Pasal ini kemudian digugat oleh 3 orang putra Papua agar pasal ini diperluas hingga ke kepala daerah setingkat Kota/Kabupaten dengan dalih bahwa hal ini dapat mengakselerasi kemajuan dan kesetaraan dengan kelompok masyarakat lain pada umumnya.

Pagaras mengajak masyarakat untuk jujur dan menilai kegiatan Pilkada gubernur, bupati/walikota yang dipilih langsung oleh rakyat, telah menimbulkan kerugian yang signifikan. Pagaras mencermati tindakan masyarakat cenderung bersifat euphoria dan fanatisme terhadap calon yang mereka usung. Isu etnosentris ini sangat mujarab diandalkan pada kancah tersebut mengingat solidaritas dan ikatan kekerabatan masyarakat adat yang masih sangat kental.

Kemenangan calon pemimpin dari suku, kampung, atau marga tertentu kemudian mengubah pimpinan SKPD dan jabatan struktural fungsional lainnya dalam wewenangnya menjadi oknum-oknum dari kampung dan marga yang sama. Pagaras melihat bahwa dualisme peran yang dimainkan oleh elit lokal, berkompromi dengan penyimpangan terhadap semangat Otsus dan cenderung menerapkan diskriminatif, nepotisme dan kolusi dalam mengelola sumber daya manusia yang duduk di Pemerintahan daerah.

Pagaras mengkhawatirkan bahwa penyimpangan ini tanpa disadari mengikis kepercayaan masyarakat terhadap elit lokal yang akan melahirkan citra buruk terhadap elit diberbagai tingkatan hingga pusat. Penyimpangan lainnya adalah krisis loyalitas terhadap hirarki organisasi pemerintahan, cenderung hanya melayani perintah dan kepentingan elit lokal serta kroni-kroninya.

OTSUS MENGEDEPANKAN KEPEMIMPINAN PUTERA DAERAH

Pasal 12 UU Otsus mengutamakan putera daerah. Pemikiran ini meyakini bahwa putera asli daerah akan lebih mengerti konteks adat termasuk masalah utama penghambat pembangunan yaitu masalah sengketa hak ulayat yang menjadi jati diri masyarakat adat Papua. Pemikiran lain nya bahwa putera daerah akan lebih mudah memediasi dan mengurangi resistansi serta sikap apatis yang merupakan warisan kegagalan pembangunan di masa lalu.

Berbicara soal pemekaran, Pagaras perlu mengingatkan pemerintah juga bahwa dampak dari percepatan pemekaran wilayah, rentan dipergunakan elit lokal untuk menguasai sumber daya alam yang terkandung di tanah ulayat untuk kepentingan mereka dengan menggunakan pengaruh-pengaruh adat.

Pagaras menekankan bahwa sangat penting menyusun program penguatan civic nasionalisme khususnya pada generasi muda Papua, yang akan menjadi pemimpin di masa depan. Penguatan juga harus mengikutsertakan pemahaman untuk selalu menjunjung tinggi perbedaan dan keragaman serta mengeliminir perbedaan sebagai sumber pertentangan dan konflik yang akan merusak konstruksi dan narasi nasionalisme kewarganegaraan.

Nasionalisme etnik Papua tetap tumbuh dan berkembang dengan karakteristik (keunikan) yang berbeda dengan etnonasionalisme lain di Indonesia. Tanah Papua menjadi unik karena beban sejarah dan ketertinggalan dari saudaranya se-Tanah Air.  Namun dalam jangka panjang nasionalisme etnik bukan tidak mungkin dapat menyatu kedalam nasionalime kewarganegaraan. Penguatan civic nasionalisme di Papua harus ditumbuhkembangkan.

Pagaras juga menghimbau kepada OAP untuk membuka diri sehingga program-program dalam Otsus dapat dipergunakan untuk melipatgandakan aspek keberlangsungan hidup dalam hak ulayat jika orang asli Papua melalui peningkatan kapasitas dengan memperbaiki tingkat pendidikan, pengetahuan, teknologi dan partisipasi serta terbuka bagi pembaharuan agar dapat bernegosiasi untuk turut mengelola dan terlibat dalam proyek-proyek pembangunan di atas tanah surga ini.

Jayapura, 25 April 2022

Shalom, Tuhan Jaga

Herdy Ezra Wayoi

Ketua LSM PAGARAS

Papua Garis Keras

ENGLISH VERSION

PRESS RELEASE

Ethnonationalist Threats to the Identity of Indigenous Papuans

Impact on Implementing Otsus Policy Deviations

PRELIMINARY

Pagaras will review the history of the KMB in The Hague in 1949, which annexed West Irian as a territory handed over by the Dutch to Indonesia and the status of West Irian was still de facto under Dutch rule. Indonesia then, in 1954, carried out a multilateral diplomacy strategy by bringing the dispute with the Netherlands to the UN General Assembly. As we know, America’s attitude toward the United Nations is very decisive on all issues that enter the United Nations, General Assembly. US policy towards West Irian unexpectedly changed in a flash in 1961 from a policy of passive neutrality to active mediation. The US supported the settlement of the West Irian dispute through UN negotiations until the 1962 New York Agreement was reached.

The integration of Papua was completed with the signing of the New York Agreement in 1962 and the implementation the People’s Opinion Determination (PEPERA) in 1969. However, some groups in Papua have not acknowledged it, as reflected in the points of the Second Papuan People’s Congress in 2000.

For Papuans, the term Indonesian has not yet fully conveyed the sense and spirit of nationalism fused into Indonesian status. The status of Indonesians in Papua has faced severe challenges since the integration of Papua (1963/1969) into Indonesia until now. Pagaras sees the gap in meaning between indigenous Papuans (OAP) and Indonesians. This unconscious polarisation becomes the seed as if there are two love for the homeland, Papua and Indonesia.

The problems in Tanah Papua that are correlated with the Central (Government) are explained in the issues of marginalisation and discriminatory impacts on Papuans, the legacy of the failure of the past regime development in the fields of education, health and people’s economic empowerment, the construction of Papuan identity which is full of political interests between Jakarta and Papua, as well as the government’s accountability for past violence (the New Order).

Therefore, nationalism in Papua in the context of civic nationalism and state nationalism is faced with the growth and development of ethnic nationalism, which becomes a challenge later.

OTSUS POLICY AND OAP IDENTITY

The Otsus policy essentially grants broader authority to the provinces to regulate and manage themselves within the framework of the Unitary State of the Republic of Indonesia. The Otsus policy gives a more significant portion of responsibility to local government administrators (local elites) in utilising Papua’s natural resources for the prosperity of the Papuan people as regulated in various laws and regulations.

The emphasis on the concrete implementation of autonomy is the realisation of the division of roles for indigenous Papuans to participate in formulating regional policies, determining development strategies in the equality and diversity of Papuan people’s lives as a form of actualising the identity of the Papuan people, as well as recognising the existence of ulayat rights, indigenous peoples, and customary law. Orang Asli Papua is a term attached to all indigenous Papuan people. Still, there needs to be a concrete definition of this identity.

The agreement between the community and stakeholders in the Land of Papua to identify the indigenous Papuan people as OAP who live and live in the Land of Papua is accommodated in the Law of the Republic of Indonesia number 21 of 2001 concerning Special Autonomy for Papua Chapter 1, Article 1 which states that “Legal Community Adat is the indigenous Papuan people who since their birth have lived in a certain area and are bound and subject to certain customary laws with a high sense of solidarity between their members” so that every OAP stands and feels that the ethnic spirit is their identity as an entity that inhibits, controls and regulates the land where they are located.

The implementation of Special Autonomy in Papua, which has implications for the development of the Papuan people as a whole, has not been able to reduce inequality and has not been able to have an impact on horizontal or vertical redistribution, while its natural potential has long been and is still being exploited but has not been able to create prosperity for the Papuan people.

Referring to the history of Papuan integration (1963/1969) and the growth of Papuan identity, what is called ethnic nationalism grew. In its development, since the integration of Papua into Indonesia, in the process of developing OAP, especially during the New Order era, they felt that they were marginalised, discriminated against by the state and immigrants (non-Papuans) in the form of powerlessness in activities/competition in the economic, social, cultural, and political fields. . This condition is exacerbated by the status of the Military Operations Area (DOM) in Papua.

In its development, ethnic Papuan nationalism was then marked by the demand for independence from Indonesia and the use of ethnicity for the political agenda of a group of local and foreign elites. Conspirators and provocateurs are increasingly adept at frying the issue of ethnic nationalism pride with factor-favour fuel, which is considered the cause of the failure of the state’s presence in advancing the Land of Papua. Ethnic nationalism eventually shifted citizenship and state nationalism as part of the Indonesian state.

ETNONASIONALIST BREEDING DISINTEGRATION

Pagaras sees that the diversity of ethnic groups in the Land of Papua and their culture is very dynamic. Conflicts are considered normal due to different views on something or a thickening awareness of ethnic identity.

In general, Papua has a substantial war tradition. Ethnic conflicts in Papua have elements of ethnonationalism and indigenous peoples. Pagaras wants to remind us that ethnonationalism is the underlying ideology and wants to separate itself from the state (Indonesia). Indigenous peoples live in certain areas and want greater autonomy from the state that governs to protect customary lands. As mentioned above, this desire occurred because the Central Government did not choose the right approach in uniforming the understanding of nationalism as part of an entity called Indonesia.

Ethnonationalism is considered the basis of armed resistance in Papua, namely the Free Papua Organization (OPM). The loss of the state in understanding the workings of the collective imagination (ethnonationalism) can complicate the situation in Papua. Nationalism has various meanings, and these meanings are used according to the perspectives and interests of each of its bearers.

The case of Papua in identity politics is more related to issues of ethnicity, religion, ideology, and local interests. The OPM can be seen as a manifestation of identity politics’ uneasy reaction to the centralistic political inequality of the Central Government (Jakarta). Identity, in this case, is capable of destroying nationalism itself and strengthening ethnonationalism, which is the basis of new resistance to the state.

Pagaras believes that the strengthening of Papuan ethnonationalism arises because OAP cannot entirely accept the policies of the Central Government (Jakarta). The latter feel marginalised and discriminated against in the political, economic, social, and cultural development process, especially during the New Order government. Not to mention the military presence during the New Order era. The collective memory of the Papuan people is the occurrence of several acts of violence and cruelty by the state security apparatus elements.

OAP sees the presence of migrants (non-Papuans) as a form of competition, exacerbated by migrants who happen to dominate the economy in Papua because of the superiority of Human Resources (HR) and capital compared to OAP. Misguided issues surrounding the transmigration program are allegedly a form of colonisation and broadcasting of religion (Islam) in Papua. This condition is fabricated into elements that must be answered with resistance, closing the ranks of the OAP and blowing the thoughts of OAP’s identity and pride, playing OAP’s ethnonationalist subjectivity. Pagaras indicated that local elites and traditional leaders often used this in agendas that benefited them politically and economically.

DIFFERENT OUT THE PURPOSE OF OTSUS

Article 12 of the Papua Special Autonomy Law states, “Those who can be elected as governors and deputy governors are citizens of the Republic of Indonesia with the conditions that they are Papuans, and so on. 3 Papuan sons later challenged this article, so this article was extended to regional heads at the City/Regency level on the pretext that this could accelerate progress and equality with other community groups.

Pagaras invites the public to be honest and assess that the activities of the regional elections for governors, regents/and mayors who the people directly elect have caused significant losses. Pagaras observes that people’s actions tend to be euphoric and fanatic towards the candidates they are carrying. This ethnocentric issue is very effective to rely on in this arena, considering indigenous peoples’ solidarity and kinship ties are still very strong.

The victory of candidate leaders from certain tribes, villages, or clans then changes the leadership of the SKPD and other functional, structural positions within their authority into elements from the same town and family. Pagaras sees that the dualism of the role played by local elites compromises with deviations from the spirit of Otsus and tends to apply discrimination, nepotism and collusion in managing human resources sitting in regional governments.

Pagaras is worried that this deviation will unwittingly erode public confidence in local elites, which will create a bad image of elites at various levels up to the centre. Another deviation is the crisis of loyalty to the hierarchy of government organisations, which tend only to serve the orders and interests of local elites and their cronies.

OTSUS PRIORITISE THE LEADERSHIP OF LOCAL SONS

Article 12 of the Special Autonomy Law prioritises local sons. This thinking believes that native sons of the region will better understand the traditional context, including the main problem that hinders development, namely the issue of customary rights disputes, which are the identity of the Papuan indigenous people. Another thought is that local sons will be easier to meditate and reduce resistance and apathy, which are the legacy of past development failures.

Speaking of expansion, Pagaras also needs to remind the government that the impact of accelerating regional growth is vulnerable to being used by local elites to control the natural resources contained in customary lands for their benefit by using familiar influences.

Pagaras emphasised that it is vital to develop a program to strengthen civic nationalism, especially for the young Papuan generation, who will become leaders in the future. Strengthening must also include an understanding always to uphold differences and diversity and eliminate differences as a source of conflict and conflict that will damage the construction and narrative of civic nationalism.

Papuan ethnic nationalism continues to grow and develop with characteristics (uniqueness) different from other ethnonationalism in Indonesia. The land of Papua is unique because of its brothers and sisters’ historical burden and backwardness throughout the country. However, in the long run, ethnic nationalism is not impossible to integrate into citizenship nationalism. Strengthening civic nationalism in Papua must be developed.

Pagaras also appealed to OAP to open up so that programs in Otsus can be used to multiply aspects of survival in customary rights if indigenous Papuans go through capacity building by improving the level of education, knowledge, technology and participation as well as being open to renewal so that they can negotiate to participate. Manage and be involved in construction projects on this paradise land.

Jayapura, April 25, 2022

Shalom, Godbless us!

Herdy Ezra Wayoi

Head of PAGARAS NGO

Papua Garis Keras

Check Also

Himbauan PAGARAS Untuk Mengantisipasi Gangguan Keamanan Pada Pilkada 2024 di Tanah Papua

Jayawijaya, 28 Nopember 2024. PAGARAS mengamati berbagai analisis dari pengamat politik dan keamanan yang meramalkan …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *