Kewenangan Kepala Daerah Adalah Esensi Pelaksanaan Otonomi Khusus Dalam Memberikan Ruang Aspirasi ke Pemerintah Pusat, Bukan Sebaliknya

Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua diberlakukan melalui Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008, dan kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua yang selanjutnya disebut UU Otsus Papua. Tujuan produk hukum ini untuk memberikan kewenangan yang lebih luas bagi Provinsi Papua dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pagaras secara jujur mengakui bahwa UU Otsus sangat unik dengan memberikan akses kekhasan yang tidak terjadi didaerah lainnya. Sebagai contoh, terdapat beberapa lembaga daerah yang unik dan tidak dimiliki oleh daerah lainnya, seperti lembaga Majelis Rakyat Papua (MRP), Dewan Perwakilan Rakyat Papua/Papua Barat (DPRP/PB), Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), serta dalam perubahan UU Otsus terbaru terdapat istilah Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota (DPRK). Selain itu, keunikan lainnya yang diberikan kepada provinsi papua yaitu gubernur dan wakil gubernur harus berasal dari Orang Papua Asli (OAP).

Di sisi lain Pagaras juga mencermati bahwa UU Otsus Papua tidak secara jelas mengatur kedudukan pemerintah kabupaten/kota, terkait pelaksanaan pemerintahan di wilayah kabupaten/kota. Dengan kata lain, kedudukan kabupaten/kota sama dengan kedudukan kabupaten/kota pada otonomi daerah biasa, sebagaimana diatur dengan Undang-Undang Nomor 9 tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah atau yang dikenal sebagai UU Pemda.

Pagaras melihat seharusnya pelaksanaan otonomi daerah ditujukan untuk meningkatkan kerja pemerintahan dalam upaya mewujudkan good governance melalui pelayan public yang baik dan dapat meningkatkan harapan, kepercayaan dan kepuasaan kepada masyarakat daerah. Namun ketidaktegasan dalam mengatur kedudukan pemerintah kabupaten/kota ini berpotensi menghasilkan pelaksanaan otonomi khusus di papua yang hanya bertumpu pada pemerintah provinsi.

Untuk itu, masyarakat akar rumput ingin memberikan peringatan kepada Pemerintah Indonesia untuk memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

Pertama, Ketentuan UU Otsus yang tidak tegas mengatur kedudukan pemerintah kabupaten/kota sebagai bagian dari pelaksanaan otonomi khusus bagi Papua dalam pelaksanaannya akan menghasilkan sejumlah permasalahan yang berkaitan dengan batas kewenangan antar pemerintahan. Sebagai contoh, kasus Walikota Sorong membubarkan vaksinansi Covid-19 yang dilaksanakan oleh salah satu partai politik, sehingga mendapatkan perhatian oleh Gubernur Papua Barat. Pemda Kota Sorong beralasan bahwa Pemerintah Kota Sorong adalah otonom, padahal kegiatan vaksinasi tersebut diinisiasi oleh Gubernur Papua Barat.

Kedua, Pendekatan pusat dengan menerapkan desentralisasi asimetris untuk mengatasi kesenjangan tersebut, Pagaras menilai bahwa upaya penguatan demokrasi daerah akan perlahan terbentuk karena masyarakat daerah mulai terbiasa dengan pembentukan kebijakan yang dilaksanakan secara demokratis, yakni dengan melibatkan rakyat secara riil.

Ketiga, Jika pelaksanaan otonomi khusus Papua sepertinya hanya mengakomodir peran pemerintah pusat yang diwakilkan oleh gubernur, maka sebenarnya pelaksanaan otonomi khusus di Papua masih mengandung logika “tugas pembantuan’ versi UU Pemda. Pagaras melihat bahwa ketentuan dalam UU Otsus kurang memadai, bahwa pelaksanaan otonomi khusus perlu keseriusan yang tegas mengingat kondisi sosio-yuridis di Papua.

Keempat, Pagaras berpendapat bahwa wujud “pemerintah pusat” dalam pengaturan mengenai tugas dan wewenang gubernur papua harus sangat minim dan justru dipandang oleh masyarakat dan pelaksana pemerintahan di Tanah Papua sebagai esensi dari pelaksanaan otonomi secara khusus yang memberi ruang aspirasi daerah ke pusat, bukan sebaliknya, program pusat ke daerah.

Jayapura, 29 Maret 2022

Shalom, Tuhan Jaga Herdy Ezra Wayoi Ketua LSM PAGARAS Papua Garis Keras

ENGLISH VERSION

PRESS RELEASE

The Authority of the Regional Head is the Essence of Implementing Special Autonomy in Facilitating the Aspirations to the Central Government, Not the Other Way Around

Special Autonomy for the Papua Province was enacted through Law Number 35 of 2008. It was later amended by Law Number 2 of 2021 concerning the Second Amendment to Law Number 21 of 2001 concerning Special Autonomy for the Papua Province, referred to as the Special Autonomy Law for Papua. This legal product aims to provide broader authority for the Papua Province in regulating and managing its household within the framework of the Unitary State of the Republic of Indonesia.

Pagaras honestly admits that the Special Autonomy Law is unique by providing access that does not occur in other areas. For example, several regional institutions are notable and not owned by other regions, such as the Papuan People’s Assembly (MRP), the Papua/West Papuan People’s Representative Council (DPRP/PB), the Truth and Reconciliation Commission (KKR), as well as in the amendments to the Law. The latest Otsus contains Regency/City People’s Representative Council (DPRK). In addition, another uniqueness given to the Papua province is that the governor and deputy governor must come from Papuan Orang Asli (OAP).

On the other hand, Pagaras also observes that the Special Autonomy Law for Papua does not regulate the position of the district/city government regarding the implementation of governance in the district/city area. In other words, the role of regencies/municipalities is the same as that of regencies/municipalities in ordinary regional autonomy, as regulated by Law Number 9 of 2015 concerning the Second Amendment to Law Number 23 of 2014 concerning Regional Government or what is known as the Regional Government Law.

Pagaras sees that the implementation of regional autonomy should aim to improve government work to realize good governance through good public service and increase hope, trust, and satisfaction for local communities. However, this indecisiveness in regulating the position of the district/city government has the potential to result in the implementation of special autonomy in Papua, which only relies on the provincial government.

To that end, the grassroots community would like to remind the Government of Indonesia to pay attention to the following matters:

First, the Special Autonomy Law provisions, which do not explicitly regulate the position of district/city governments as part of the implementation of special autonomy for Papua in its performance, will result in several problems related to the boundaries of authority between governments. For example, the case of the Mayor of Sorong dissolving the Covid-19 vaccination carried out by a political party, thus getting the attention of the Governor of West Papua. The Sorong City Government reasoned that the Sorong City Government was autonomous, even though the Governor of West Papua initiated the vaccination activity.

Second, the central approach by applying asymmetric decentralization to address this gap, Pagaras believes that efforts to strengthen regional democracy will slowly take shape because local people are getting used to the formation of policies that are implemented democratically, namely by involving the people in real terms.

Third, if the implementation of special autonomy in Papua seems only to accommodate the role of the central government, which the governor represents, then, in fact, the implementation of special autonomy in Papua still contains the logic of “assistance tasks” according to the Regional Government Law. Pagaras sees that the provisions in the Special Autonomy Law are inadequate. The implementation of special autonomy needs firm seriousness considering the socio-juridical conditions in Papua.

Fourth, Pagaras argues that the form of “central government” in regulating the duties and authorities of the governor of Papua must be minimal and is seen by the community and government administrators in Papua as the essence of the implementation of special autonomy that gives space for regional aspirations to the centre, not the other way around. Central to regional programs.

Jayapura April 28 2022 Shalom, Godbless! Herdy Ezra Wayoi Head of PAGARAS NGO Papuan Hardline