P A G A R A S Pagaras (Papua Garis Keras) merupakan lembaga Swadaya Masyarakat yang bertujuan untuk menghimpun potensi berbagai pihak yang terkait isu Papua
Insiden penyerangan Posramil Kisor, Maybrat Provinsi Papua Barat yang menewaskan 4 Prajurit TNI AD merupakan aksi terencana. Menurut pengakuan salah satu tersangka yang tertangkap bahwa sebelum penyerangan, mereka sempat melakukan rapat sebanyak dua kali. Bernard Sagrim, Bupati Maybrat kemudian mengutuk kejadian tersebut dan menyebut merupakan kasus tersadis sepanjang sejarah Maybrat. Posramil Kisor diserang oleh sekitar 20 orang dari Kelompok Separatis Teroris pada Kamis (2/9/2021). Para Pelaku kemudian akan dijerat dengan Pasal 340 KUHP sub pasal 338 jo pasal 55 ayat 1 ke 1E dan 56 ayat 1 ke 1E.
Pagaras setuju dengan sikap Bernard Sagrim untuk menyerahkan kasus tersebut kepada pihak Kepolisian RI guna mengusut dan memproses secara hukum kepada siapapun yang perbuatan terhadap pembantaian keji tersebut. Pagaras memahami adanya penambahan personel TNI bukanlah operasi militer, melainkan mencari para pelaku tindak pidana terorisme. Namun mobilitas tersebut telah menyebabkan ketakutan luar biasa pada masyarakat Papua hingga mengungsi kedalam hutan.
Dibelahan Bumi Cenderawasih lainya juga terjadi konflik antara masyarakat adat dengan pemerintah yang mengarah kepada gangguan keamanan akibat ditunggangi oleh provokator yang mengganggu stabilitas keamanan di Tanah Papua guna kepentingan pihak-pihak tertentu. Dengan alasan pembangunan, pemerintah, atau penguasa yang berlagak dan berkedok sebagai pemerintah kerap mengambil tanah ulayat masyarakat. Sejarah dan realita yang dalam dan panjang terukir di Tanah Papua.
Sebenarnya, keberadaan hak ulayat masih diakui dengan adanya Undang-undang Pokok Agraria UU No. 5 Th. 1960. Pagaras mengutip Pasal 3 UUPA dan melihat bahwa eksistensi hak ulayat adalah satu bentuk kewajaran karena hak ulayat masyarakat beserta masyarakat hukum adat telah ada sebelum terbentuknya Negara Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945. Jadi tidak ada sejengkal tanah pun di Bumi Cenderawasih yang tidak ada pemiliknya, sekalipun hamparan hutan belantara di pedalaman Papua.
Saat ini isu pemekaran provinsi sedang dibahas diseluruh penjuru Bumi Cenderawasih. Wacana tersebut akan membuka peluang bagi pelepasan ratusan hektar tanah untuk lokasi perluasan pembangunan infrastruktur kantor pemerintahan. Pagaras melihat apa yang terjadi pada penduduk asli di Jayapura. Penduduk asli Papua seperti suku Amungme, Dani, Lani, dan Moni semuanya mempunyai tanah ulayat yang bisa dimanfaatkan untuk memakmurkan anggota sukunya. Namun, realita yang terjadi sangat ironis. Terjadi ketidakadilan kepada masyarakat adat saat Pemerintah mengambil alih tanah adat, tanpa melalui pelepasan adat. Kemudian pemerintah memberikan konsesi kepada perusahaan besar untuk mengelola tanah ulayat atau untuk melakukan kegiatan pembangunan lainnya.
Saat mereka melakukan protes atau menyuarakan persoalan tersebut, pendekatan rezim sebelumnya cenderung represif. Keterlibatan militer dan polisi dalam menangani konflik yang terjadi adalah wajah lain dari kesewenang-wenangan yang dialami masyarakat adat. Realita lama yang melembaga menjadi satu anggapan abadi yang hadir disetiap alam fikiran orang Papua, melahirkan secara alami sikap prejudis dan resistansi terhadap apapun yang akan disampaikan pemerintah.
Pagaras meminta agar masyarakat Papua tidak selalu disalahkan dan dikaitkan dengan tingkat pendidikan yang rendah, sehingga label keras kepala dan bodoh serta tidak beradab hadir juga disetiap orang yang akan berhadapan dengan orang Papua. Tindakan melawan hukum, teror, menyerukan kemerdekaan hingga penyerangan terhadap aparat keamanan, membuat aparat hukum dan keamanan menyisir hutan, gunung, sawah dan pemukiman untuk mencari para pelaku yang bertanggung jawab atas serangkaian tindak kriminal bersenjata dan terorisme. Masyarakat sekitar merasa ketakutan, terancam dan mengungsi ke pedalaman hutan.
Tindak kriminal bersenjata dan terorisme yang marak terjadi di Tanah Papua membuat pemerintah menyusun regulasi baru. Terakhir, ada Peraturan Presiden (Perpres) No 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Terorisme Berbasis Kekerasan. Pepres ini merupakan instrumen yang dinilai cukup dalam rangka mencegah dan memberantas aksi terorisme di Indonesia. Namun demikian, Pagaras melihat publik dan pemerintah masih menduga apa motif sehingga tindakan kriminal bersenjata dan terorisme hadir di Tanah Papua Barat.
Untuk itu, masyarakat akar rumput menyampaikan beberapa tuntutan dan sedikit catatan untuk mengingatkan Pemerintah Indonesia dan semua pihak terkait, antara lain:
Pertama, Tindakan kriminal bersenjata dan terorisme diawali oleh enam penyebab; pertama, sejarah kekerasan karena kerabat atau orang tua menjadi korban konlik antara KKB/OPM/KST dan TNI/Polri, kedua, mereka umumnya pengangguran, motif ekonomi, ketiga, aktualisasi keberadaan diri dalam suatu kelompok, keempat, “proyek” buat menganggu lawan politik dalam pilkada, kelima, menarik perhatian supaya menerima tugas keamanan, bisnis dan keenam, dimanfaatkan menjadi bagian asal perebutan deposit emas. Pagaras meminta agar melihat awal dari semua sebelum mereka bergabung dalam kelompok tersebut. Disitulah kunci permasalahan yang harus diselesaikan oleh Jakarta.
Kedua, Pagaras ingin secara obyektif menyatakan bahwa tindak kekerasan dan penghilangan nyawa oleh KKB kepada rakyat sipil, Tentara Nasional Indonesia dan Polri menjadi fokus kegiatan mereka yang utama yang bertujuan untuk menghantui masyarakat di sana. Tindakan kriminal yg dilakukan KKB sangat berpengaruh buruk pada psikis, emosional dan mental masyarakat di tanah Papua sehingga upaya pemerintah Indonesia dalam membangun apapun terkesan gagal dan tidak berguna.
Ketiga, Operasi keamanan dalam rangka penegakan aturan hendaknya mendahulukan pendekatan persuasif dengan mengedepankan sinkronisasi terhadap tradisi masyarakat setempat dibanding pendekatan keamanan. Otoritas keamanan di lapangan hendaknya melibatkan kepala wilayah setempat sebagai transmiter komunikasi dan pesan untuk mempersuasi masyarakat yang masih mendukung KKB/TPN-OPM dan agar mendukung NKRI.
Keempat, Pagaras meminta agar aparat yang akan diterjunkan di Tanah Papua memiliki setidaknya pemahaman dan kemampuan berkomunikasi yang mengedepankan konsep holistik dan komparatif, sehingga mampu memperhatikan sejarah, melihat disparitas, menyampaikan perspektif budaya dan pemikiran kepada masyarkat setempat dan bersikap sosial yang menjawab kebutuhan-kebutuhan aktual. Kejelian aparat di lapangan dalam membaca situasi dan kondisi sosial masyarakat akan membawa keberhasilan melokalisasi permasalahan tidak berkembang menjadi ekses yang berujung konflik.
Kelima, Dalam kerangka operasi teritorial, melalui serangkaian pelatihan, diskusi, penggalangan opini, dapat menimbulkan kesadaran masyarakat menyerahkan senjata api yang disimpan dan kebiasaan-kebiasaan hidup masyarakat adat yang berpotensi menimbulkan konflik dan rasa tidak aman. Untuk diketahui, senjata api bisa menjadi salah satu benda seserahan pada saat perkawinan.
Keenam, Pemerintah/TNI/Polri agar memperbanyak inisiatif berkolaborasi dengan dunia pendidikan, kampus melalui kegiatan ketahanan pangan, baik pengetahuan dalam pertanian dan penyediaan bahan konsumsi, membantu mahasiswa dalam pemenuhan gizi dan pengetahuan akan alternatif sayuran yang terdapat disekitar, membantu melihat potensi pertanian dan pembudidayaan tumbuh-tumbuhan agar dapat dikonsumsi dan diperdagangkan.
Ketujuh, Mengaktifkan sistem keamanan kampung dengan melibatkan tokoh rakyat serta pemuda-pemudi setempat, disertai dengan proses-proses pendekatan kesejahteraan serta pemenuhan kebutuhan dasar warga secara nyata, tidak berhenti pada kebijakan serta program semata. Pagaras meminta Pemerintah Daerah bersinergi dalam mendukung kebutuhan diatas seiring meningkatnya eskalasi kekerasan.
Shalom, Tuhan Jaga
Jayapura, 02 April 2022
Herdy Ezra Wayoi
Ketua LSM PAGARAS
Papua Garis Keras
ENGLISH VERSION
PRESS RELEASE
A Holistic and Comparative Approach to Social Communication in Resolving Conflicts of Security Disturbance in the Land of Papua
The incident of the attack on the Posramil (Military Post) Kisor, Maybrat of West Papua Province which killed 4 Indonesian Army soldiers was a planned action. According to one of the arrested suspects, prior to the attack, they had held two meetings. Bernard Sagrim, Regent of Maybrat later condemned the incident and called it the saddest case in Maybrat’s history. The Kisor Posramil was attacked by about 20 people from the Separatist Terrorist Group on Thursday (2/9/2021). The perpetrators will then be charged with Article 340 of the Criminal Code, sub-article 338 in conjunction with Article 55 paragraph 1 to 1E and 56 paragraphs 1 to 1E.
Actually, the existence of ulayat rights is still recognized by the existence of the Basic Agrarian Law, Law no. 5 Th. 1960. Pagaras cites Article 3 of the UUPA and sees that the existence of customary rights is a form of fairness because the customary rights of the community and the customary law community existed before the formation of the Republic of Indonesia on August 17, 1945. So there is not an inch of land on Earth of Cenderawasih that has no owner, even though the expanse of wilderness in the interior of Papua.
Currently, the topic of provincial expansion is causing quite a stir in the land of Cenderawasih. This discussion is paving the way for the potential release of hundreds of hectares of land to accommodate the growth of government office infrastructure. Pagaras has witnessed firsthand the struggles faced by indigenous communities in Jayapura. The Amungme, Dani, Lani, and Moni tribes all have ancestral lands that hold the key to the prosperity of their people. However, the harsh reality paints a different picture. Indigenous Papuans have been subjected to injustices as the government seizes their lands without following proper customary procedures. Subsequently, these lands are handed over to large corporations for development projects without the consent of the rightful owners.
In the bustling region of Cenderawasih, the issue of expanding provinces is causing quite a buzz. This ongoing dialogue is set to unlock vast opportunities for the allocation of government office infrastructure development on a grand scale. Pagaras has had a front-row seat to the struggles faced by the indigenous communities in Jayapura. The Amungme, Dani, Lani, and Moni tribes all lay claim to ancestral lands that hold the promise of prosperity for their people. However, the stark reality reveals a different narrative. Indigenous Papuans have been dealt a tough hand as the government encroaches on their lands without adhering to customary protocols. Consequently, these lands are handed over to corporate giants for various development ventures without the consent of the rightful owners.
When they protested or voiced the issue, the previous regime’s approach tended to be repressive. The involvement of the military and police in dealing with conflicts that occur is another face of the arbitrariness experienced by indigenous peoples. The old reality which is institutionalized into an eternal assumption that is present in every nature of the Papuan people’s mind, naturally gives birth to a prejudiced attitude and resistance to whatever the government will say.
Pagaras is calling for a shift in mindset when it comes to the Papuan people. It’s unfair to constantly label them as uneducated, stubborn, and uncivilized. These stereotypes only serve to perpetuate negative perceptions and hinder any progress towards understanding and unity.
Instead of pointing fingers and placing blame, we should strive to see the Papuan people as individuals with their own unique experiences and challenges. It’s important to remember that education levels do not define a person’s worth or intelligence.
The recent spate of criminal activities in the region has only added fuel to the fire, with law enforcement officers tirelessly searching through forests, mountains, and settlements in pursuit of the perpetrators. This has created a sense of fear and unease among the local community, prompting many to seek refuge in the safety of the forests.
Armed crimes and terrorism that are rampant in Papua have made the government formulate new regulations. Finally, there is Presidential Regulation (Perpres) No. 7 of 2021 concerning the National Action Plan for the Prevention and Combating of Violent-Based Terrorism. This Presidential Decree is considered sufficient in order to prevent and eradicate acts of terrorism in Indonesia. However, Pagaras sees that the public and the government still suspect what the motives are for armed criminal acts and terrorism to be present in the Land of West Papua.
To that end, the grassroots community submitted several demands and a few notes to remind the Government of Indonesia and all related parties, including:
First, armed crime and terrorism are initiated by six causes; first, the history of violence because relatives or parents became victims of the conflict between the KKB and the TNI-Polri, second, they are generally unemployed, economic motives, third, self-actualization in a group, fourth, “projects” to disturb political opponents in the fifth election, attracting attention to receive security, business duties and the sixth, being used as part of the origin of the struggle for gold deposits. Pagaras asks to see the beginning of all before they join the group. Therein lies the key problem that must be resolved by Jakarta.
Second, Pagaras aims to highlight the disturbing acts of violence and loss of life inflicted by the KKB on innocent civilians, the Indonesian National Army, and the National Police in Papua. These heinous actions are the primary focus of their operations, causing fear and distress among the local population. The criminal activities of the KKB have had a detrimental impact on the psychological well-being of the people in the region, creating a sense of hopelessness and despair. As a result, the efforts of the Indonesian government to improve the situation in Papua appear to be ineffective and futile. It is clear that the presence of the KKB is not only a threat to security but also a hindrance to progress and development in the region. It is crucial for all stakeholders to work together to address this issue and restore peace and stability in Papua.
Third, In order to enhance security operations within law enforcement, it is essential to adopt a more engaging and compelling approach. This involves placing a greater emphasis on aligning with the customs and traditions of the local community, rather than solely relying on traditional security measures. Security officials need to work closely with local leaders to effectively communicate and persuade individuals who may still be affiliated with groups like the KKB/TPN-OPM, encouraging them to support the unity of the Republic of Indonesia. By taking a more persuasive and collaborative approach, we can foster a stronger sense of unity and cooperation within the community, ultimately leading to a safer and more secure environment for all.
Fourth, Pagaras requested that the security personnel who will be deployed in Papua have at least understanding and communication skills that prioritize holistic and comparative concepts, so that they are able to pay attention to history, see disparities, convey cultural perspectives and thoughts to the local community and have a social attitude that answers actual needs. The foresight of officers in the field in reading the situation and social conditions of the community will lead to success in localizing the problem, not developing into excesses that lead to conflict.
Fifth, within the framework of territorial operations, through a series of trainings, discussions, and opinion-raising, it can raise public awareness of handing over stored firearms and living habits of indigenous peoples that have the potential to cause conflict and insecurity. To note, firearms can be one of the objects offered at the time of marriage.
Sixth, the Government/TNI/Polri should increase collaboration initiatives with the world of education, campuses through food security activities, both knowledge in agriculture and the provision of consumption materials, assist students in fulfilling nutrition and knowledge of alternative vegetables found around, helping to see the potential of agriculture and cultivation. plants for consumption and trade.
Seventh, Activating the village security system by involving community leaders and local youths, accompanied by processes for approaching welfare and fulfilling the basic needs of citizens in a real way, does not stop at policies and programs alone. Pagaras asked the Regional Government to synergize in supporting the above needs in line with the increasing escalation of violence.
Jayapura, 02 April 2022
Shalom, God Speed
Herdy Ezra Wayoi
Head of PAGARAS NGO
Papuan Hardline
