Definisi Gerakan Separatis dapat disederhanakan sebagai usaha pemisahan diri dari suatu negara atau pencapaian kemerdekaan. Gerakan separatis seringkali muncul akibat ketidakpuasan dan kesadaran akan ketidakadilan. Secara umum, motif tersembunyi dan campur tangan pihak asing yang ingin meraih keuntungan dari wilayah tersebut menjadi sorotan utama. Hal ini didorong oleh kepentingan pribadi, korporasi, ekonomi, politik, dan alasan lain yang tidak bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan daerah terkait. Adanya berbagai faktor yang mempengaruhi proses separatisme menunjukkan kompleksitas permasalahan yang terlibat. Itulah sebabnya penting untuk memahami akar masalah dan mencari solusi yang adil dan berkelanjutan guna mencegah konflik yang lebih luas.
Gerakan separatisme di Papua bermunculan sejak PEPERA 1969 dan salah satunya dikenal dengan sebutan Organisasi Papua Merdeka (OPM). Dalam catatan Pagaras, sebut saja Komite Nasional Papua Barat (KNPB), United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), dan lain-lain. Pemerintah kemudian berdasarkan gerakan dan upaya provokasi mengistilahkan dengan sebutan Gerakan Pengacau Keamanan (GEPEKA), Kelompok Kriminal Separatis Bersenjata (KKSB), Kelompok Separatis Papua (KSP) dan sekarang Kelompok Separatis Teroris Papua (KSTP).
KSTP Penyebab Konflik di Tanah Papua
KSTP inilah penyebab konflik di Tanah Papua. Pemikiran separatisme mereka menjadi alasan pembenaran diri untuk melakukan tindak kekerasan, dan tidak segan-segan melakukan pembantaian baik terhadap pendatang maupun Orang Asli Papua. Kejahatan ini diperparah dengan propaganda media seolah akibat keberadaan aparat keamanan atau negara. Sebaliknya adalah tugas negara mengamankan rakyat Papua dari tindakan dan aksi mereka.
Pagaras mengajak seluruh pihak untuk menelaah beberapa konflik yang disebabkan oleh KSTP tersebut, termasuk konflik bersenjata, yang terjadi di Tanah Papua. Dari sekian banyak tindak kebrutalan aksi terorisme mereka, Pagaras merangkum sejarah konflik di Bumi Cenderawasih tersebut. Dalam catatan, perlawanan bersenjata OPM pecah untuk pertama kalinya pada 26 Juli 1965 di Manokwari. Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) kemudian menuangkan kejadian tersebut dalam laporan yang berjudul “The Current Status of The Papuan Pro-Independence Movement”, menceritakan bahwa kegiatan penambangan Freeport pada 1973 adalah pemicu aktivitas militer OPM di wilayah Timika.
Eksistensi KSTP Mengancam Keamanan dan Keselamatan Penduduk Sipil
Kemudian pada bulan Mei 1977, kurang lebih 200 gerilyawan OPM menyerang Freeport dan pemerintah segera melancarkan operasi pemulihan keamanan dengan melibatkan kekuatan militer, terutama di Desa Amungme. Tanah Freeport sendiri dulunya merupakan tanah adat Suku Amungme dan Komoro yang merupakan penduduk asli wilayah tersebut. Dalam penelusuran Pagaras, tercatat 60 orang Suku Amungme menjadi korban insiden penyerangan OPM tersebut.
Kemudian Kasus Wasior pada 2001 dan Kasus Wamena pada 2003 yang juga disebabkan penyerangan OPM yang kemudian melibatkan aparat yang dihadapkan dengan warga setempat yang sudah terprovokasi. Dalam perkembangannya, gerakan separatis lebih menyerupai kelompok kriminal dan kelompok teroris. Kelompok ini kemudian menyebarkan ujaran provokatif dan menuduh Pemerintah Pusat melalui aparat keamanan telah melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Padahal, aksi-aksi mereka adalah gerakan makar yang melawan hukum nasional, alias melawan Pancasila dan UUD 1945 dan sangat bertentangan dengan HAM.
Menjelang penghujung tahun 2019, KSTP kembali melancarkan aksi kekerasan yang mengakibatkan delapan orang sipil tewas di Deiyai dalam kerusuhan pada 28 Agustus 2019, disusul dengan insiden yang terjadi pada 26 September 2019 mengakibatkan 33 orang tewas di Wamena dan empat orang tewas di Jayapura. Kebrutalan kelompok ini yang menurut catatan Pagaras sangat keji dan brutal adalah tragedi 2 Desember 2018 yang menewaskan 31 pekerja proyek jalan raya Trans Papua. Mereka dibantai di wilayah Nduga oleh kelompok bersenjata Papua pimpinan Egianus Kogoya.
Pagaras sangat menyayangkan insiden pembantaian 31 orang pekerja jalan raya Trans Papua yang mengundang konflik di wilayah Nduga. Ratusan penduduk sipil melarikan diri ke hutan setelah kampung mereka didatangi aparat keamanan yang memburu kelompok Egianus Kogoya. Gerakan separatis memutar balikan fakta dan menuduh aparat keamanan yang menyerang warga sipil, padahal tugas mereka adalah menangkap para pengacau keamanan tersebut. Justru tokoh pro-kemerdekaan Papua, Benny Wenda, yang sering menjadi dalang kerusuhan di Bumi Cendrawasih melalui propaganda di media sosial.
Kemudian pada tanggal 25 Oktober 2019, KKB membantai 3 warga sipil tukang ojek di wilayah Intan Jaya. Kontak bersenjata KKB dengan pihak kepolisian pada tanggal 17 Desember 2019 mengakibatkan gugurnya 2 orang personel Polri. Pada Februari 2021, kelompok tersebut kembali membunuh warga sipil di Ilaga yang menewaskan 1 orang tukang ojek. Tercatat pada bulan April, KSTP menembak guru, Oktovianus Rayo dan Jonatan Renden di Kampung Julukoma yang diikuti dengan pembakaran rumah warga, sekolah dan kantor PT. Bumi Infrastruktur. Tanggal 25 April 2021, serangan KSTP menewaskan Brigjen TNI Gusti Putu Danny saat ia melakukan investigasi kasus pembakaran sekolah oleh KSTP. Pagaras meringkas dalam angka bahwa sepanjang tahun 2020-2022, KSTP telah melancarkan aksinya sebanyak 226 kali. Di tahun 2022, dalam 6 bulan pertama, tindakan keji mereka telah menyebabkan 22 orang meninggal dunia.
Manuver Internasional KST Yang Gagal
KSTP melancarkan serangan bersenjata secara sporadis dan tidak terkoordinasi dengan baik. Gerakan mereka kemudian berkembang dan merambah ke kampanye internasional dengan menggunakan media dalam menyebarluaskan pernyataan provokatif yang menyesatkan. Strategi ini sebenarnya tidak murni hasil pemikiran mereka, namun banyak dipengaruhi campur tangan dari berbagai pihak asing yang seolah mendukung gerakan kemerdekaan Papua dan penegakan HAM di Tanah Papua.
Kesimpulan Pagaras
Pagaras juga melihat kegiatan-kegiatan kampanye internasional yang aktif dengan mengangkat isu-isu sensitif tentang Papua kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dan juga ke berbagai negara tidak pernah mengangkat korban sipil akibat KSTP. Sebuah ironi meskipun KSTP terus berupaya menggalang dukungan secara internasional, namun tidak ada satu pun negara di dunia yang mengakui bahwa Papua adalah negara. Memang banyak negara mendukung kemerdekaan Papua, namun semuanya masih mengakui Papua sampai saat ini adalah bagian sah dari NKRI.
Pagaras menyimpulkan bahwa sebenarnya gerakan separatisme di Papua telah kehilangan arah. KSTP telah gagal dalam berjuang di Papua melalui upaya kekerasan dan teror. Mereka juga gagal mempengaruhi dunia internasional untuk mengakui mereka sebagai negara. Mendukung kemerdekaan adalah hal yang sangat berbeda dengan mengakui kedaulatan Papua sebagai sebuah negara. Walaupun perjuangan mereka di front internasional bisa membentuk opini publik internasional, namun dalam konteks kedaulatan sebuah negara, opini publik bukanlah suatu ukuran. Yang menjadi parameter utama adalah hukum internasional yang diakui oleh komunitas internasional, termasuk PBB.
Jayapura, 05 Agustus 2022
Shalom, Tuhan Jaga
Herdy Ezra Wayoi
Ketua LSM PAGARAS
Papua Garis Keras
Download the Press Release Here
English Version
PRESS RELEASE
Pagaras’ Perspective on Papuan Separatism Veers Off Course
The Separatist Movement can be defined as a desire to break away from a state or achieve independence. It is driven by a sense of dissatisfaction and a perception of injustice. Pagaras suggests that hidden agendas from foreign entities, driven by personal gain, corporate interests, economic factors, and political motives, may influence such movements. These motives may not necessarily align with the betterment or progress of the region.
Separatist movements in Papua have emerged since PEPERA 1969, and one of them is known as the Free Papua Organization (OPM). Pagaras notes call it the West Papua National Committee (KNPB), the United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), and others. The government then, based on the movement and provocation efforts, termed the Security Disruption Movement (GEPEKA), the Armed Separatist Criminal Group (KKSB), and the Papuan Separatist Group (KSP) and now the Papuan Terrorist Separatist Group (KSTP).
KSTP sparks controversy in Papua region.
KSTP’s advocacy for separatism has sparked conflict in Papua, leading to violent acts against migrants and Indigenous Papuans. Media propaganda often blames security forces or the state for these crimes, but the state must protect all citizens from such violence. It is essential to address the root cause of this conflict and work towards a peaceful resolution that respects the rights and safety of all individuals in Papua.
Pagaras invites all parties to examine several conflicts caused by the KSTP, including the armed conflict in the Land of Papua. Of the many acts of the brutality of their acts of terrorism, Pagaras summarizes the history of the conflict on Earth of Cenderawasih. On record, the OPM armed resistance broke out for the first time on 26 July 1965 in Manokwari. The Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) then wrote about the incident in a report entitled “The Current Status of the Papuan Pro-Independence Movement”, recounting that Freeport’s mining activities in 1973 were the trigger for OPM military activities in the Timika area.
The existence of KSTP Threatens the Security and Safety of Civilians
Then in May 1977, approximately 200 OPM guerrillas attacked Freeport. The government immediately launched a security restoration operation involving military forces, especially in Amungme Village. Freeport’s land was formerly the customary land of the Amungme and Comoros. They are the original inhabitants of the region. In the investigation of Pagaras, it was recorded that 60 Amungme tribesmen were victims of the OPM attack incident.
Then the Wasior Case in 2001 and the Wamena Case in 2003 were also caused by the OPM attack, which involved the officers confronted by residents who had been provoked. In its development, the separatist movement is more like a criminal group and a terrorist group. This group then spread provocative remarks and accused the Central Government through the security forces of committing human rights violations. Their actions are treason movements against national law, aka against Pancasila and the 1945 Constitution and are very much against human rights.
Towards the end of 2019, the KSTP again launched violent acts that resulted in eight civilians being killed in Deiyai in riots on 28 August 2019, followed by an incident that occurred on 26 September 2019, which resulted in 33 deaths in Wamena and four deaths in Jayapura. The brutality of this group which, according to Pagaras records, is very vile and brutal, was the tragedy of 2 December 2018 which killed 31 workers of the Trans Papua highway project. They were massacred in the Nduga area by the Papuan armed group led by Egianus Kogoya.
Pagaras deeply regrets the massacre incident of 31 Trans Papua highway workers, which sparked conflict in the Nduga region. Hundreds of civilians fled to the forest after security forces had visited their village hunting for Egianus Kogoya’s group. The separatist movement twists the facts and accuses the security forces of attacking civilians, even though their job is to arrest the security intruders. It is precisely the pro-independence Papuan figure, Benny Wenda, who is often the mastermind of riots on Earth of Cendrawasih through propaganda on social media.
Then on 25 October 2019, KKB massacred three civilian motorcycle taxi drivers in the Intan Jaya area. KKB’s armed contact with the police on 17 December 2019 resulted in the death of 2 Polri personnel. In February 2021, the group again killed civilians in Ilaga, killing one motorcycle taxi driver. It is recorded that in April, KSTP shot teachers Oktovianus Rayo and Jonatan Renden in Julukoma Village, followed by burning residents’ houses, schools and the office of PT. Earth Infrastructure. On 25 April 2021, the KSTP attack killed Brigadier General Gusti Putu Danny while investigating the KSTP school burning case. Pagaras summarized that throughout 2020-2022, the KSTP had carried out its actions 226 times. In 2022, in the first six months, their heinous actions have caused 22 people to die.
Failed International Maneuver
The KSTP initially conducted sporadic and disorganised armed attacks, which later evolved into an international campaign through the strategic dissemination of misleading statements via media channels. This approach appears to be influenced not only by their own ideology but also by foreign entities supporting Papuan independence and human rights enforcement in Papua. The movement’s expansion and tactics suggest a significant external backing.
Conclusion of Pagaras
Pagaras also saw vigorous international campaign activities by raising sensitive issues about Papua to the United Nations (UN) and various countries that had never increased civilian casualties due to KSTP. It is paradoxical that while KSTP actively pursues international backing, no nation officially recognises Papua as an independent state. Despite widespread global support for Papua’s independence, all countries maintain that it remains an integral part of the Unitary Republic of Indonesia.
Pagaras concluded that the the separatist movement in Papua has veered off course, with KSTP failing to achieve its goals through violent means. Their inability to garner international recognition as a state has hindered their progress. While garnering public support is important, it does not equate to legal sovereignty. International law, upheld by the United Nations, remains the key determinant of a country’s status. The movement must reassess its strategies to align with legal frameworks for a more effective approach.
Jayapura, 05 August 2022
Herdy Ezra Wayoi
Head of PAGARAS NGO
Papua Garis Keras