Sistem Noken Papua: Partisipasi Demokrasi Berbasis Kearifan Lokal

Wamena, 19 April 2024

Pagaras mencermati, setidaknya ada dua aspek penting dalam membahas penggunaan sistem noken. Pelaksanaan sistem noken yang dianggap sebagai kearifan lokal dan manifestasi demokrasi deliberatif, sementara di sisi yang lain, sistem itu kerap dianggap melanggar prinsip kebebasan dan hak-hak politik warga negara. Prinsip ideal tentang eksistensi hak-hak politik warga serta prinsip ideal pemilu dengan jargon One Man One Vote (OMOV) bisa tidak tercapai pada kasus seperti di tanah Papua. Jika ditilik lebih dalam, sistem noken Papua memang memiliki keunikan tersendiri.

Kita perlu memahami apa yang dimaksud dengan sistem noken di Papua. Sistem noken merupakan sistem tradisional Papua yang digunakan dalam proses pemilihan kepala suku atau kepala adat. Dalam sistem ini, seorang calon kepala suku harus mendapatkan dukungan dari sejumlah tokoh masyarakat atau keluarga besar sebelum dia dapat menjadi pemimpin. Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa kepala suku yang terpilih adalah orang yang diakui oleh sebagian besar masyarakat adat. Asal muasal dinamai sistem noken, lantaran pada saat pemilu surat suara yang dihasilkan dari kesepakatan bersama akan ditempatkan pada suatu tas bernama noken.

Noken merupakan tas anyaman yang berasal dari serat kulit kayu yang memiliki peran penting dalam kehidupan masyarakat Papua. Saking pentingnya peran noken, tas ini mendapat julukan rahim kedua bagi para mama-mama Papua. Di tas noken itu, para mama mengendong bayi, hingga membawa hasil panen untuk makanan bagi keluarga mereka. Tas ini pun telah menjadi Warisan Kebudayaan Dunia oleh UNESCO pada tahun 2012.

Dalam pengamatan Pagaras, ada dua cara dalam pelaksanaan sistem noken, yaitu sistem noken dan sistem ikat. Sistem noken adalah kesepakatan masyarakat di TPS (Tempat Pemungutan Suara) yang diisi dalam noken. Sedangkan, sistem ikat melibatkan kepala suku untuk mengisi semua surat suara. Semua surat suara Pemilu yang diwakili kepala suku akan dimasukkan ke dalam noken.

Dalam konteks demokrasi modern, sistem noken ini seringkali dipandang sebagai hal yang kontroversial. Di satu sisi, pendukung sistem noken berargumen bahwa sistem ini merupakan bagian dari kearifan lokal Papua yang harus dihormati dan dilestarikan. Mereka berpendapat bahwa sistem noken memungkinkan partisipasi masyarakat secara langsung dalam pemilihan kepala suku, sehingga memperkuat legitimasi dan otoritas pemimpin yang terpilih.

Pagaras mencatat kritik yang berdatangan terhadap sistem noken, dan dianggap sebagai bentuk pelanggaran terhadap prinsip-prinsip kebebasan berpendapat, serta hak politik setiap individu. Prinsip One Man One Vote (OMOV) yang menjadi landasan demokrasi modern dianggap tidak tercapai dalam sistem noken, karena keputusan akhir tetap berada di tangan sejumlah tokoh masyarakat atau keluarga besar. Hal ini menimbulkan konflik horizontal antar kelompok masyarakat.

Pada 14 Februari 2024, terjadi konflik antar warga di Kabupaten Puncak Jaya dan Kabupaten Nduga karena selisih suara sistem noken. Meskipun wilayah ini masih dilanda konflik bersenjata, Pagaras harus mengapresiasi pendekatan pihak keamanan, penyelenggara pemilu, tokoh masyarakat, pemerintah daerah, dan masyarakat, akhirnya berhasil mencapai kesepakatan damai. Konflik pun dapat diselesaikan tanpa berkepanjangan.

Namun, perlu dicatat bahwa sistem noken di Papua juga memiliki aspek positif yang tidak boleh diabaikan. Salah satunya adalah adanya ruang bagi demokrasi deliberatif, di mana masyarakat dapat berdiskusi dan mencapai konsensus dalam pemilihan kepala suku. Proses ini memungkinkan partisipasi aktif dari seluruh anggota masyarakat, sehingga keputusan yang diambil mencerminkan kepentingan bersama.

Yurisprudensi Penggunaan Sistem Noken
Sejak tahun 1971 hingga sekarang, tas noken telah menjadi simbol penting dalam pemilihan di Papua, terutama di daerah pegunungan. Sistem pemilihan ini berasal dari tradisi musyawarah dan egaliter di rumah adat Papua. Pada tahun 2004, sistem noken diterapkan di 16 kabupaten di Provinsi Papua. Dengan demikian, noken telah menjadi cara resmi dalam pemilihan sejak keputusan Mahkamah Konstitusi pada tahun 2009.

Kemudian, kebijakan penggunaan noken sebagai tempat suara ada dalam aturan KPU Papua Nomor 1 tahun 2013. Tidak hanya aturan KPU Papua, terdapat juga putusan MK Nomor 01/Kpts/KPU Prov.03/2013. Putusan MK itu memperbolehkan, penggunaan noken pada pemungutan suara di daerah pedalaman Papua.

Penggunaan sistem noken hanya dapat dilakukan pada wilayah-wilayah yang sulit dijangkau atau terpencil. Sistem ini biasanya digunakan di daerah Pegunungan Tengah Papua. Sebab, masyarakat di sana hidup tanpa akses informasi, transportasi, alat komunikasi, serta memiliki pendidikan yang rendah.

Lebih lanjut, penggunaan sistem noken dalam Pemilu dan Pilkada di Papua diatur putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 47-81/PHPU.AVII/2019. Hal ini sebagai yurisprudensi dalam penggunaan sistem noken atau lkat yang digunakan oleh masyarakat tertentu di Papua. Komisi Pemilihan Umum (KPU) melalui Keputusan KPU Nomor 66 Tahun 2024 tentang Pedoman Teknis Pelaksanaan Pemungutan dan Penghitungan Suara dalam Pemilihan Umum telah mengumumkan 11 wilayah yang akan mengikuti pemilu dengan metode Noken.

Keunikan sistem Noken adalah cerminan dari kearifan lokal di Indonesia yang merupakan negara demokrasi konstitusional. Selain memiliki aturan hukum tertulis, Indonesia juga mengakui hukum adat sebagai bagian dari warisan budaya. Konstitusi melindungi hak-hak masyarakat hukum adat sesuai Pasal 18B ayat (2) UUD 1945. Hal ini menunjukkan keberagaman dan kekayaan budaya Indonesia yang perlu dilestarikan.

Problematika Penggunaan Sistem Noken
Penggunaan sistem noken oleh masyarakat adat pegunungan di Papua memang menuai pro dan kontra. Saat merumuskan kesepakatan, setiap orang memiliki hak untuk mengeluarkan pendapatnya. Namun, dalam perhelatan pemilu, proses musyawarah sering kali terabaikan. Kepala suku seringkali menggunakan dominasi kekuasaan untuk menentukan pilihan politik, sehingga meminimkan partisipasi warga.

Dampaknya, penolakan dari sebagian masyarakat seringkali muncul karena merasa tidak dilibatkan dalam proses politik. Gangguan keamanan juga menjadi ancaman karena potensi perebutan surat suara antar pendukung. Hal ini terutama terjadi saat pemilihan kepala daerah, di mana setiap kelompok akan memberikan dukungan dan mempertahankan calonnya.

Pagaras sependapat dengan Ketua KPU Provinsi Papua Pegunungan, Theodorus Kossay, yang mengakui bahwa sistem noken menjadi bara konflik di masyarakat. Meskipun demikian, sistem noken tidak bisa dihapus begitu saja dan diganti dengan sistem one man, one vote (OMOV). Prinsip Luber Jurdil (langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil) yang berlaku di Indonesia harus dijalankan dengan baik, meskipun di Papua, prinsip Lubet Jurdil (langsung, umum, bebas, terbuka, jujur dan adil) yang berlaku menimbulkan perbedaan.

Perubahan sistem pemilihan yang lebih transparan diharapkan dapat mengurangi konflik dan permusuhan antarwarga. Dengan keterbukaan yang ada, diharapkan setiap individu dapat mengetahui pilihan politik masing-masing tanpa adanya rasa dendam. Semoga ke depannya, sistem pemilihan di Papua dapat lebih baik dan sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi yang ada.

Kesimpulan Pagaras
Kesimpulan dari Pagaras adalah bahwa sistem noken masih digunakan di Papua karena masih banyak wilayah yang homogen dan masyarakatnya masih memegang teguh peran kepala suku. Namun, ada tantangan besar seperti masyarakat buta aksara dan jarak antar kampung yang berjauhan. Pagaras meminta agar pemerintah perlu lebih fokus pada infrastruktur dan peningkatan sumber daya manusia.

Pagaras menyarankan agar pemerintah dan masyarakat menciptakan keseragaman dalam sistem pemilihan noken untuk menjaga proses pelaksanaan dan pengawasan yang ketat. Tujuannya adalah menuju sistem pencoblosan one man, one vote (OMOV) dalam jangka pendek dan menengah.

Dalam konteks demokrasi deliberatif, Pagaras berpendapat bahwa sistem noken tidak layak karena tidak menghargai kerahasiaan atau privasi dalam pengambilan keputusan. Oleh karena itu, Pagaras mendesak semua pihak untuk meninggalkan sistem ini dan fokus pada peningkatan infrastruktur, transportasi, dan sumber daya manusia di Papua. Pemerintah harus mengawal benar terhadap pelaksanaan program-program yang memprioritaskan pembangunan infrastruktur dan peningkatan sumber daya manusia, dengan membangun instrument pengawasan yang komprehensif serta membangun sinergi pusat dan daerah.

Pagaras mengajak seluruh komponen dan masyarakat akar rumput untuk bersama-sama menciptakan perubahan positif untuk Papua menuju masa depan yang lebih baik.

Shalom, Tuhan Jaga

Herdy Ezra Wayoi
Ketua LSM PAGARAS
Papua Garis Keras

Download the Press Release Here

English Version

The Noken System in Papua: Embracing Local Wisdom for Democratic Participation
Wamena, April 19, 2024

In exploring the unique noken system in Papua, it is evident that there are contrasting views on its implementation. While some see it as a reflection of local wisdom and deliberative democracy, others argue that it may infringe upon the principles of individual freedom and political rights, rights as well as the ideal principle of elections with the jargon of One Man One Vote (OMOV) may not be achieved in cases such as in Papua. Despite these debates, it is important to appreciate the cultural significance and intricacies of the Noken system.

The noken system, a traditional Papuan practice used in selecting tribal leaders, operates on the premise that a prospective chief must garner support from community leaders or extended families before assuming leadership. This ensures that the elected leader is endorsed by the majority of the indigenous population. The name “noken” derives from the woven bag used during the election process, symbolizing collective decision-making and community consensus.

The noken bag itself holds great importance in Papuan culture, serving as a vessel for carrying babies and harvests. It is revered as the “second womb” for Papuan mothers, embodying the nurturing and sustaining essence of their heritage. Recognized as a World Cultural Heritage by UNESCO in 2012, the noken bag symbolizes the deep-rooted traditions and values of the Papuan people.

Pagaras underlines two methods of implementing the Noken system: the “noken” system and the “ikat” system. The former involves community agreement at the polling place, where ballots are placed in the noken, the tie system involves the tribal chief filling in all ballot papers. Both methods aim to uphold the principles of community participation and consensus-building in the election process.

Despite criticisms of the noken system within the context of modern democracy, proponents argue that it upholds Papuan local wisdom and fosters direct community involvement in leadership selection. By empowering communities to participate in decision-making, the noken system enhances the legitimacy and authority of elected leaders, strengthening the bond between leaders and their constituents.

However, Pagaras noted the criticisms have been raised regarding the perceived limitations of the noken system, particularly in relation to individual freedoms and the principle of One Man One Vote (OMOV). Critics argue that the system’s reliance on community leaders may inhibit equal representation and lead to horizontal conflicts within society.

On February 14 2024, a conflict occurred between residents in Puncak Jaya Regency and Nduga Regency due to differences in votes for the noken system. In light of conflicts arising from differences in votes for the noken system, it is crucial to acknowledge the efforts of various stakeholders in resolving disputes and promoting peace. Pagaras appreciated a collaborative approaches involving security forces, election organizers, community leaders, and local government, conflicts can be effectively managed and resolved without escalating tensions.

While acknowledging the challenges and controversies surrounding the noken system, it is essential to recognise its positive aspects, such as providing a platform for deliberative democracy and inclusive decision-making processes. By fostering active participation from all members of society, the noken system enables communities to collectively determine their leaders and shape their shared future.

Jurisprudence on the Use of the Noken System
Since 1971, the noken bag has played a significant role in elections in Papua, particularly in the mountainous regions. This electoral system is deeply rooted in the deliberative and egalitarian traditions of Papuan traditional houses. In 2004, the noken system was introduced in 16 districts in Papua Province and was officially recognised as a method of election following a decision by the Constitutional Court in 2009.

The use of the noken system as a voting method is outlined in Papua KPU regulation N0. 1 of 2013, as well as in the MK (Mahkamah Konstitusi, Constitutional Court of the Republic of Indonesia) decision Number 01/Kpts/KPU Prov.03/2013. The Constitutional Court’s decision paved the way for the use of noken in voting in remote areas of Papua, where access to information, transportation, and communication tools is limited, and education levels are low.

Moreover, the utilization of the noken system in elections and regional elections in Papua is governed by Constitutional Court decision Number 47-81/PHPU.AVII/2019. This decision reflects the legal precedent regarding the use of the noken or lkat system by specific communities in Papua. The General Election Commission (KPU) has officially designated 11 regions to participate in the election using the Noken method, as outlined in KPU Decree Number 66 of 2024 concerning Technical Guidelines for the Implementation of Voting and Counting in General Elections.

The distinctive feature of the Noken system represents the local wisdom of Indonesia, a country that upholds constitutional democracy. In addition to statutory laws, Indonesia also honours customary law as an integral part of its cultural heritage. The constitution safeguards the rights of customary law communities in accordance with Article 18B paragraph (2) of the 1945 Constitution, demonstrating the diverse and culturally rich tapestry of Indonesian society that warrants preservation.

Challenges of Utilizing the Noken System
The utilization of the noken system by indigenous communities in the mountainous regions of Papua comes with its own set of advantages and disadvantages. While it allows for everyone to have a say in decision-making processes, there are certain drawbacks that cannot be ignored. In particular, during election events, the process of deliberation is often overlooked.

In these instances, tribal leaders tend to exert their dominance and influence over political choices, thereby diminishing the level of citizen participation. This can lead to feelings of exclusion among certain communities, who may feel that their voices are not being heard in the political arena. Pagaras aware that there is a risk of security disturbances arising, as supporters may engage in conflicts over ballot papers. This is especially prevalent during regional head elections, where different groups rally behind their respective candidates.

Pagaras agrees with the Chair of the Papua Mountains Province KPU, Theodorus Kossay, who admitted that the noken system had become a source of conflict in society. It is crucial to address these issues and find ways to improve the noken system in order to ensure a fair and inclusive political process. One possible solution could be to implement measures that promote transparency and accountability within the system. This could involve establishing clear guidelines for decision-making and ensuring that all voices are heard during deliberations.

However, it’s not as easy as just getting rid of the noken system and switching to a one person, one vote setup. The Luber Jurdil (langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil ) principle, which stands for direct, general, free, confidential, honest, and fair elections, is crucial in Indonesia and needs to be upheld. In Papua, there are some variations with the Lubet Jurdil (langsung, umum, bebas, terbuka, jujur dan adil) principle, which which stands for direct, general, free, open, and fair elections, leading to some differences in implementation.

The Conclusion of Pagaras
The conclusion drawn by Pagaras is that the noken system is still being used in Papua because there are still many homogenous areas where the community holds onto the traditional role of tribal leaders. There are significant challenges such as illiteracy among the population and the vast distances between villages. This poses a barrier to effective communication and decision-making within the community. Additionally, the remote and isolated nature of many villages in Papua presents logistical challenges in terms of accessing election ballots, services and equipment’s. Pagaras has called for the government to focus more on infrastructure development and improving human resources.

Pagaras suggests that the government and the community work together to create consistency in the noken election system to ensure a smooth implementation process and strict monitoring. The ultimate goal is to move towards a One Man, One Vote (OMOV) system in the future.

Pagaras recognises the need for greater investment in education and skills development to address the issue of illiteracy. By empowering the community with knowledge and resources, they can better participate in the decision-making process and contribute to the overall development of their region.

The noken system in Papua embodies a blend of tradition, culture, and democratic values. By embracing the principles of local wisdom and community participation, the noken system offers a unique perspective on democratic governance and collective decision-making. As Papua continues to navigate the complexities of modern democracy, the noken system serves as a testament to the enduring spirit of Papuan heritage and identity.

In conclusion, Pagaras emphasises the importance of collaboration between the government and the community to address the challenges facing Papua. By working together to improve infrastructure and human resources, they can create a more inclusive and sustainable future for all. The journey towards a more democratic and equitable society begins with small steps, but with determination and cooperation, anything is possible.

Shalom, Godbless!

Herdy Ezra Wayoi
Head of PAGARAS NGO
Papuan Hardline