Pemberian otonomi khusus (otsus) bagi Papua pertama kali diberikan melalui UU Nomor 21 Tahun 2001. Tujuannya adalah untuk menjaga keutuhan NKRI dan menghormati keberagaman budaya di Papua. Pagaras mencermati beberapa alasan dari kebijakan otsus terkait tujuan kebijakannya. Otonomi khusus diberikan dalam rangka untuk mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa. Salah satu yang terpenting adalah untuk memastikan kesejahteraan masyarakat Papua dan mengurangi kesenjangan antara Papua dengan provinsi lainnya.
Pada saat orde reformasi, masyarakat Papua menuntut pengembalian nama Provinsi Irian Jaya menjadi Papua. Terpenting kedua bagi Pagaras adalah gesture pemerintah dalam memberikan otonomi khusus adalah bentuk pengakuan atas hak adat, aspek-aspek Hak Azazi Manusia (HAM), dan penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu. Otsus merupakan gateway bagi Orang Asli Papua (OAP) untuk berperan penting dalam pembangunan di Papua.
UU Otsus Papua telah mengalami dua kali perubahan, yaitu pada tahun 2008 dan 2021. Perubahan pertama dilakukan untuk pembentukan Provinsi Papua Barat dan pemilihan gubernur secara langsung. Sedangkan perubahan kedua dilakukan untuk penyempurnaan kebijakan otsus Papua, termasuk dalam hal kewenangan khusus, pemerintahan, dan pengelolaan dana otsus.
Sebagai langkah lanjutan, PP Nomor 106 Tahun 2021 dan PP Nomor 107 Tahun 2021 telah disusun untuk mengatur lebih lanjut tentang kewenangan dan kelembagaan kebijakan otonomi khusus Papua serta pengelolaan dana otsus untuk percepatan pembangunan di Papua. Dengan demikian, otonomi khusus bagi Papua merupakan langkah penting dalam memastikan keberlangsungan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat Papua. Pagaras mengingatkan agar implementasi kebijakan otsus harus tetap berjalan, Papua dapat terus berkembang dan meraih kemajuan yang lebih baik di masa depan.
Rekognisi Kewenangan Adat Papua
Kewenangan yang dimiliki oleh daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota secara umum telah diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang, serta dijabarkan dalam pembagian urusan konkuren yang terdapat dalam lampirannya.
Di Papua, khususnya, terdapat kewenangan khusus yang diatur dalam UU Otsus Papua serta PP Kewenangan Papua. Dalam UU Otsus Papua dan PP Kewenangan Papua, provinsi Papua memiliki kewenangan yang luas, termasuk dalam bidang pendidikan, kesehatan, sosial, perekonomian, kependudukan, ketenagakerjaan, pembangunan berkelanjutan, dan lingkungan hidup. Pagaras mencatat rincian mengenai kewenangan khusus ini dapat ditemukan dalam lampiran PP Kewenangan Papua.
Untuk melaksanakan amanat yang terdapat dalam UU Otsus, pemerintah daerah provinsi Papua dapat membentuk peraturan daerah khusus (perdasus) Papua. Selain itu, terdapat juga peraturan daerah provinsi (perdasi) yang merupakan peraturan daerah biasa.
Perdasus dan perdasi ditetapkan melalui rapat Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) dan ditandatangani oleh gubernur. Beberapa kewenangan khusus yang diatur dalam perdasus antara lain adalah pemberian pertimbangan gubernur terhadap perjanjian internasional, pelaksanaan tugas MRP, pembagian penerimaan hasil tambang antara provinsi dan kabupaten/kota, serta usaha perekonomian yang memanfaatkan sumber daya alam. Sedangkan, perdasi mengatur tata cara penyusunan APBD provinsi, pembentukan perangkat daerah, struktur organisasi pemerintahan distrik, dan kebijakan kepegawaian provinsi.
Pagaras menyambut positif dengan adanya regulasi yang jelas, diharapkan pemerintah daerah di Papua dapat menjalankan kewenangannya dengan baik dan memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat setempat.
Pengakuan Hak Adat Tertuang Dalam Kebijakan Otsus
Masyarakat adat Papua merupakan salah satu dari 19 lingkungan hukum adat di Indonesia, yang masih eksis hingga saat ini. Penting bagi pemerintah untuk memberikan pengakuan yang layak terhadap mereka. Melalui UU Otsus Papua, langkah-langkah telah diambil untuk mengakui dan menghormati masyarakat adat tersebut.
UU Otsus memberikan definisi yang jelas mengenai adat, masyarakat adat, dan hak ulayat. Hal ini menunjukkan komitmen untuk melindungi dan memperkuat eksistensi masyarakat adat Papua. Dalam UU Otsus, pembentukan Majelis Rakyat Papua (MRP) menjadi wadah penting bagi representasi budaya orang asli Papua. Selain itu, anggota DPRD dipilih berdasarkan wilayah adat, sumber daya alam dimanfaatkan dengan menghormati hak masyarakat adat, dan pembangunan dilakukan dengan melibatkan masyarakat adat secara luas.
Selain itu, UU Otsus juga mengatur mengenai penerimaan khusus untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat adat dan memperkuat lembaga adat. Secara khusus, UU Otsus Papua mengamanatkan bahwa penerimaan khusus yang diperoleh provinsi dan kabupaten/kota dari pemerintah pusat yang besarnya setara dengan 2,25 persen dari plafon Dana Alokasi Umum (DAU) nasional salah satunya digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan OAP dan penguatan lembaga adat. Kewenangan khusus yang diberikan kepada provinsi Papua selalu diiringi dengan kewajiban untuk memperhatikan hak masyarakat adat. Struktur pemerintahan di Papua juga disesuaikan dengan tipologi dan klasifikasi berbasis adat.
Untuk mencapai cita-cita pengakuan adat dalam kebijakan Otsus Papua, perlu adanya peraturan yang lebih teknis dan mendukung dari pemerintah pusat maupun daerah. Kementerian/lembaga terkait Papua juga harus mendukung pengarusutamaan adat demi kemajuan masyarakat adat Papua.
Untuk itu Pagaras meminta pemerintah untuk terus memperkuat kerjasama dengan masyarakat adat Papua dan memastikan bahwa kebijakan yang diambil selalu memperhatikan hak-hak mereka. Melalui langkah-langkah ini, diharapkan masyarakat adat Papua dapat terus berkembang dan merasa diakui serta dihargai dalam ranah hukum adat Indonesia.
Representasi Kelembagaan Adat Masyarakat Papua
Dalam upaya untuk menghormati adat dalam penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan otsus Papua, Majelis Rakyat Papua (MRP) dibentuk sebagai wakil kultural OAP. MRP memiliki kekuasaan tertentu dalam melindungi hak-hak OAP dengan mengutamakan penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, serta memperkuat kerukunan hidup beragama.
Anggota MRP terdiri dari orang Papua asli yang mewakili adat, agama, dan perempuan, dengan jumlah setiap kelompok sebanyak sepertiga dari total anggota MRP. Mereka menjabat selama lima tahun dan tersebar di setiap provinsi di Papua. Berbeda dengan Gubernur dan Dewan Perwakilan Daerah Provinsi Papua (DPRP), MRP tidak bertugas sebagai penyelenggara pemerintahan daerah.
Tugas dan wewenang MRP antara lain memberikan pertimbangan terhadap bakal calon gubernur dan wakil gubernur dalam pemilihan kepala daerah, meratifikasi rancangan perdasus yang diajukan oleh DPRP dan gubernur, memberikan saran terkait perjanjian kerja sama di Papua, serta menyalurkan aspirasi masyarakat adat, umat beragama, perempuan, dan masyarakat umum terkait hak-hak OAP.
Selain itu, MRP juga memberikan pertimbangan kepada partai politik dalam seleksi politik partai, persetujuan pemekaran daerah, dan menetapkan wilayah adat sebagai dasar pengangkatan anggota Dewan Perwakilan Daerah Provinsi (DPRP) dan Dewan Perwakilan Daerah Kabupaten (DPRK). Anggota DPRP/DPRK dari jalur pengangkatan harus berasal dari suku-suku wilayah adat provinsi (DPRP) dan sub suku wilayah adat kabupaten/kota (DPRK), dengan masa tugas lima tahun.
Proses pengisian anggota DPRP/DPRK dari jalur pengangkatan dilakukan oleh panitia seleksi (pansel) yang dibentuk oleh Mendagri (DPRP) dan gubernur (DPRK). Sebelumnya, gubernur dan bupati/wali kota harus menetapkan wilayah adat sebagai basis pengangkatan. Setiap daerah pengangkatan dapat mengirimkan calon yang kemudian diseleksi oleh pansel.
Pagaras melihat rekognisi kelembagaan masyarakat dan adat Papua dengan adanya MRP melalui mekanisme pengangkatan anggota DPRP/DPRK dari OAP, diharapkan dapat lebih memperkuat representasi dan perlindungan hak-hak OAP dalam ranah pemerintahan. Semoga hal ini dapat menciptakan kehidupan yang lebih harmonis dan inklusif bagi semua masyarakat Papua.
Pandangan Pagaras Dalam Implementasi Kebijakan Otsus
Pengarusutamaan adat dalam setiap kewenangan khusus serta penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan kekhususan yang diberikan kepada Papua memang tidak mudah. Pagaras melihat ada beberapa tantangan yang dihadapi dalam implementasinya. Salah satu tantangan utamanya adalah belum adanya kesepakatan mengenai definisi OAP, sehingga data resmi mengenai jumlah OAP masih belum tersedia secara lengkap. Menurut UU Otsus, OAP adalah orang yang berasal dari ras Melanesia di Provinsi Papua atau yang diakui sebagai OAP oleh masyarakat adat Papua. Namun, hingga saat ini, belum ada lembaga di Papua yang memiliki data akurat mengenai jumlah OAP.
Pagaras mengapresiasinupaya Ditjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kemendagri yang sudah berusaha melakukan pendataan OAP melalui pemadanan nama, namun masih sulit untuk mengakomodasi OAP yang tidak memiliki nama khas Papua. Untuk mendapatkan data OAP yang akurat, diperlukan sinergi antara lembaga adat dan pemerintah daerah, terutama Dukcapil, guna pendataan faktual OAP. Selain itu, perlu kesepakatan mengenai kriteria OAP yang dapat diterima oleh masyarakat adat.
Khusus terkait komitmen pemerintah dalam pemajuan, penegakan, dan perlindungan HAM bagi masyarakat Papua. UU Otsus Papua tahun 2001, Pagaras menegaskan bahwa pemenuhan komitmen ini seharusnya menjadi solusi untuk masalah di Papua, termasuk pelanggaran HAM di masa lalu. Pagaras menyayangkan, implementasi Pasal 45 dan 46 UU Otsus masih belum optimal, dan pemerintah perlu memperhatikan hal ini lebih serius.
Lambatnya proses penyusunan dan penetapan perdasus dan perdasi juga menjadi tantangan serius. UU Otsus mengamanatkan agar perdasus dan perdasi ditetapkan dalam waktu satu tahun setelah UU tersebut disahkan, namun hingga saat ini masih banyak yang tertunda. Kemendagri perlu memainkan peran strategis dalam memfasilitasi penyusunan peraturan tersebut agar tidak terlalu berlarut-larut.
Tantangan terakhir adalah pemahaman yang belum komprehensif dari seluruh pemangku kepentingan mengenai kewenangan khusus yang diberikan kepada Papua. Lampiran PP Kewenangan Papua memberikan kewenangan yang lebih luas bagi pemerintah Papua, namun hal ini juga menimbulkan tugas tambahan yang harus dilaksanakan dengan baik. Pemerintah pusat perlu melakukan supervisi dan fasilitasi agar implementasi kewenangan berjalan lancar.
Dalam menghadapi tantangan-tantangan ini, Pagaras berkesimpulan bahwa adalah penting untuk terus berkomunikasi dan bekerja sama antara lembaga adat, pemerintah daerah, dan pemerintah pusat. Dengan kerjasama yang baik, diharapkan implementasi pengarusutamaan adat dan kewenangan khusus di Papua dapat berjalan dengan lebih lancar dan efektif.
Shalom, Tuhan Jaga
Herdy Ezra Wayoi
Ketua LSM PAGARAS
Papua Garis Keras
Download the Press Release Here
English Translation
Pagaras Notes to the Government Regarding Papua’s Special Autonomy Policy
Concerning the Recognition of Customary Rights
Jayapura, May 01, 2024
The establishment of special autonomy for Papua was initially enshrined in Law Number 21 of 2001 with the objective of upholding Indonesia’s unity while recognising and celebrating the diverse cultural heritage of the region. Pagaras thoroughly evaluated the rationale behind this policy, highlighting the importance of acknowledging and respecting the unique characteristics of regional government units. A key focus of this initiative is to enhance the well-being of the Papuan people and bridge the development gap between Papua and other provinces.
In response to demands from the Papuan community during the period of reform, the province’s name was rightfully changed back to Papua from Irian Jaya. Furthermore, the granting of special autonomy serves as a symbolic gesture by the government towards recognising their human rights, as well as the traditional rights, promoting human rights, and addressing human rights past violations. This empowerment allows Indigenous Papuans (OAP) to actively participate in shaping the future development of their region.
Over the years, the Papua Special Autonomy Law has undergone revisions in 2008 and 2021, with the primary focus on establishing West Papua Province and implementing direct elections for the governor. The recent amendments aim to enhance the effectiveness of Papua’s special autonomy policy, particularly in terms of governance, management of funds, and allocation of special authorities.
Continuing on this trajectory, the drafting of PP Number 106 and PP Number 107 in 2021 further solidifies the framework for governing Papua’s special autonomy policy and managing funds to expedite development efforts in the region. It is imperative to sustain the momentum of special autonomy implementation to propel Papua towards sustained progress and prosperity.
Pagaras emphasises the importance of upholding and advancing the special autonomy policy to ensure the continual growth and advancement of Papua. By maintaining a steadfast commitment to this initiative, Papua can forge a path towards a brighter future for its people.
Recognition of Papuan Traditional Authority
The allocation of authority within regions, such as provinces and districts/cities, is primarily governed by Law Number 23 of 2014 on Regional Government, which has undergone amendments, most recently with Law Number 6 of 2023 regarding the Incorporation of Government Regulation in Lieu of Law (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang-Perppu) Number 2 of 2022 on Job Creation into Law. This legislation, along with the delineation of concurrent affairs outlined in the annex, serves as the framework for regional governance.
In the case of Papua, there are specific powers outlined in the Papua Special Autonomy Law and the Papua Authority PP. These provisions grant the province of Papua extensive authority in various sectors, including education, healthcare, social welfare, economic development, population management, employment opportunities, sustainable growth, and environmental protection. The detailed scope of these special powers can be found in the appendix to the PP on Papuan Authorities. Pagaras noted that details regarding this special authority can be found in the appendix to the PP on Papuan Authorities.
To fulfil the mandates set forth in the Special Autonomy Law, the Papua provincial government can establish special regional regulations (perdasus) for Papua. Additionally, there are provincial regional regulations (perdasi) that govern standard regional matters. These regulations are formulated during meetings of the Papuan People’s Representative Council (DPRP) and are subsequently endorsed by the governor.
Key areas covered by the special authorities outlined in the regional regulations include granting the governor the authority to consider international agreements, fulfilling MRP responsibilities, managing the distribution of mining revenues between provinces and districts/cities, and overseeing economic enterprises that exploit natural resources. On the other hand, perdasi specifies procedures for drafting the provincial budget (APBD), establishing regional bodies, defining the organizational structure of district governments, and setting provincial personnel policies.
Pagaras has expressed approval for the presence of clear regulations, anticipating that the regional government in Papua will effectively exercise its authority and deliver significant benefits to the local populace. It is imperative that these powers are wielded responsibly and in the best interests of the community.
Recognition of Customary Rights Contained in the Special Autonomy Policy
The Papuan indigenous peoples are a significant part of the 19 customary legal communities in Indonesia that continue to thrive today. It is imperative for the government to acknowledge and honour their presence. The Papua Special Autonomy Law has been instrumental in taking steps towards recognising and respecting these indigenous communities. This law offers a clear definition of customs, traditional communities, and customary rights, demonstrating a commitment to safeguard and bolster the Papuan indigenous people’s existence.
The establishment of the Papuan People’s Council (MRP) within the framework of the Special Autonomy Law serves as a crucial platform for the cultural representation of indigenous Papuans. Moreover, the election of DPRD members based on customary areas, the respectful utilisation of natural resources in accordance with indigenous rights, and inclusive development involving indigenous communities all highlight the government’s dedication to supporting these communities.
Furthermore, the Special Autonomy Law outlines provisions for special revenues aimed at enhancing the welfare of indigenous peoples and strengthening traditional institutions. Specifically, it mandates that a portion of special revenues received by provinces and districts/cities from the central government must be allocated towards improving the welfare of OAP and fortifying traditional institutions.
Pagaras notes that in particular, the Papua Special Autonomy Law mandates that special revenues obtained by provinces and districts/cities from the central government, the amount of which is equivalent to 2.25 percent of the national general allocation fund (DAU) ceiling, is used to improve the welfare of OAP and strengthen traditional institutions.
The unique authority granted to the province of Papua is always balanced with a responsibility to uphold the rights of indigenous peoples. The governmental structure in Papua is tailored to accommodate custom-based typologies and classifications.
To fully realise the recognition of customs in the Papua Special Autonomy policy, additional technical and supportive regulations from both central and regional authorities are necessary. Ministries and institutions linked to Papua must actively support the integration of customs for the advancement of Papuan indigenous peoples.
In light of this, Pagaras strongly asked that it is essential for the government to strengthen collaboration with the Papuan indigenous peoples and ensure that policies consistently uphold their rights. By taking these measures, it is hoped that the Papuan indigenous peoples will continue to flourish and feel acknowledged and respected within the Indonesian customary law framework.
Traditional Institutional Representation of Papuan People
In order to honour the traditions of governance under Papua’s special autonomy, the Papuan People’s Council (MRP) was established as the cultural voice of the indigenous population. The MRP holds significant authority in safeguarding the rights of the Papuan people by upholding customs and traditions, promoting gender equality, and fostering religious tolerance. Comprised of native Papuans representing cultural, religious, and female perspectives, the MRP operates on a five-year term and is distributed across all provinces in Papua.
Unlike the Governor and Regional Representative Council of Papua Province (DPRP), the MRP does not serve as a governing body. Instead, its responsibilities include evaluating candidates for governor and deputy governor positions in regional elections, endorsing proposed regional regulations, advising on cooperation agreements, and advocating for the rights of indigenous communities, religious groups, women, and the general public.
Furthermore, the MRP plays a crucial role in the selection of political party candidates, approving regional expansions, and designating customary territories for appointing members to the Provincial Regional Representative Council (DPRP) and Regency Regional Representative Council (DPRK). Members of the DPRP/DPRK appointed through this process must hail from tribal or sub-tribal backgrounds within their respective customary areas, serving a five-year term.
The selection of DPRP/DPRK members is overseen by a committee formed by the Minister of Home Affairs (DPRP) and the governor (DPRK), with candidates proposed by each appointment area. By institutionalising the representation of Papuan society and customs through the MRP’s involvement in appointing council members, it is hoped that the rights of the Papuan people will be further protected and advocated for within the government framework.
Pagaras firmly believed this approach seeks to foster a more harmonious and inclusive society for all Papuans, where cultural heritage is respected, gender equality is promoted, and religious diversity is celebrated. Through the collaborative efforts of the MRP and other governing bodies, the aspirations and rights of the Papuan people can be upheld and advanced, paving the way for a brighter future for the region.
Pagaras’ Highlight on Implementing Special Autonomy Policy
Mainstreaming customs and administering regional government in Papua presents several challenges, as highlighted by Pagaras. One key obstacle is the lack of agreement on the definition of OAP (indigenous Papuans), leading to a dearth of official data on their numbers. The Special Autonomy Law defines OAP as individuals of Melanesian descent in Papua Province or those recognized as such by Papuan indigenous communities. However, accurate OAP data remains elusive, with no institution in Papua possessing comprehensive information on their population.
Pagaras acknowledges the Directorate General of Population and Civil Registration’s efforts to gather OAP data through name matching but notes the difficulty in identifying those without typical Papuan names. Achieving precise OAP statistics requires collaboration between traditional institutions, local governments, and Dukcapil. Furthermore, consensus on accepted OAP criteria within indigenous communities is essential.
The commitment to promoting and safeguarding human rights for Papuans, as outlined in the 2001 Special Autonomy Law, is paramount. Pagaras stresses the need for this commitment to address past human rights violations effectively. However, the implementation of Articles 45 and 46 of the law has been suboptimal, urging the government to prioritise this issue.
The sluggish process of drafting and enacting regional regulations poses another significant challenge. The law stipulates a one-year timeline for these regulations, yet many remain pending. The Ministry of Home Affairs must facilitate the timely preparation of these regulations.
A further hurdle is the incomplete understanding of Papuan authorities among stakeholders. The broader authority granted to the Papuan government in the Appendix to the PP on Papuan Authorities necessitates meticulous execution. Central government oversight and support are crucial to ensure smooth implementation of this authority.
In addressing these challenges, Pagaras underscores the importance of ongoing communication and collaboration between traditional institutions, regional governments, and the central government. By fostering strong cooperation, the integration of customs and special authority in Papua can progress more efficiently and effectively.
Shalom, Godbless!
Herdy Ezra Wayoi
Head of PAGARAS NGO
Papuan Hardline