Desakan Pagaras Kepada Pemerintah Terkait Persoalan Kelaparan di Papua

Yahukimo, 03 Mei 2024

Berita mengenai pernyataan Wakil Presiden (Wapres) Ma’ruf Amin terkait puluhan orang Papua yang meninggal karena kelaparan telah menuai kritik. Meskipun awalnya diistilahkan sebagai kekurangan pangan, namun ternyata tidak ada kematian masal yang terjadi. Tenaga ahli utama Kantor Staf Presiden (KSP) Theo Litaay menjelaskan bahwa tujuan dari pernyataan Wapres Ma’ruf Amin adalah untuk mengoreksi berita yang menyebut adanya kematian masal di Papua Tengah.

Tahun lalu. Pemerintah daerah Yahukimo telah menetapkan status tanggap darurat bencana di wilayahnya setelah 23 orang di Distrik Amuma, Yahukimo, Provinsi Papua Pegunungan, dilaporkan meninggal dunia akibat kelaparan. Diperkirakan terdapat sekitar 12.000 jiwa di Distrik Amuma yang tersebar di 13 kampung, di mana kasus kematian akibat kelaparan ini dipicu oleh kekeringan yang mengakibatkan gagal panen. Pagaras melihat bahwa sistem pertanian Papua yang tidak berkelanjutan dan kesehatan masyarakat yang rapuh, menjadi faktor penyebab kelaparan yang menimbulkan kematian yang masih terus terjadi.

Upaya Pemerintah Mengatasi Masalah Kelaparan Untuk Papua
Pemerintah telah menetapkan empat langkah strategis untuk mengatasi masalah kelaparan dan krisis pangan yang disebabkan oleh kekeringan di Provinsi Papua Tengah. Menurut Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy, langkah-langkah ini termasuk pembangunan gudang stok pangan dan infrastruktur lainnya di Distrik Agandugume dan Distrik Lambewi.

Pertama, dalam upaya jangka pendek, pemerintah akan segera membangun gudang stok pangan di Distrik Agandugume dan Distrik Sinak sebagai langkah awal penanganan wabah kekeringan di wilayah tersebut. Kedua, dalam rangka penanganan jangka menengah, pemerintah akan memperpanjang landasan pacu Bandara Sinak di Kabupaten Puncak. Hal ini bertujuan untuk memungkinkan pesawat-pesawat besar seperti Hercules dapat mendarat di sana.

Langkah ketiga adalah pembangunan infrastruktur jalan dari Jayapura ke Wamena hingga ke Sinak, sesuai dengan visi Presiden Jokowi untuk membangun Trans-Papua guna meningkatkan kemajuan dan kemakmuran masyarakat Papua. Dengan tersedianya aksesibilitas yang lebih baik, diharapkan biaya pengangkutan bahan pangan dan material konstruksi dapat ditekan, sehingga dapat memberikan dampak positif bagi masyarakat setempat.

Terakhir, pemerintah juga akan memberikan transfer teknologi yang tepat guna meningkatkan nilai tambah makanan lokal, terutama umbi-umbian yang menjadi bahan pokok bagi penduduk pegunungan Papua. Diharapkan dengan adanya inisiatif ini, masyarakat dapat membangun ketahanan pangan sendiri sehingga tidak tergantung pada bantuan pemerintah. Dengan demikian, pemerintah hanya akan fokus pada penyediaan infrastruktur yang dibutuhkan, seperti pembangunan gudang penyimpanan pangan.

Kondisi iklim yang tidak biasa
Distrik Agandugume dan Distrik Lambewi di Kabupaten Puncak, Papua Tengah, terletak pada ketinggian rata-rata 3.000-3.400 meter di atas permukaan laut, setinggi Gunung Lawu di Jawa Timur. Pada pukul 11:00, suhu mencapai sekitar 12 derajat Celsius. Kejadian ini terjadi setiap hari dan tidak disebabkan oleh musim kemarau seperti di wilayah lain di Indonesia. Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Kebencanaan BNPB Abdul Muhari mengatakan penyebab kekeringan Papua Tengah adalah udara dingin dari Australia.

Fenomena unik terjadi di Distrik Agandugume dan Distrik Lambewi, di mana butiran es muncul setiap malam atau pagi hari dan merusak tanaman umbi-umbian yang menjadi sumber makanan utama penduduk setempat. Akibatnya, cadangan pangan mereka menipis. Masyarakat setempat bercocok tanam secara swadaya untuk memenuhi kebutuhan kelompok mereka sendiri. Setiap kelompok memiliki ladang sendiri, namun Abdul Muhari dari BNPB memperkirakan satu lahan pertanian hanya mampu mencukupi kebutuhan sekitar 15 rumah.

Hambatan Geografis Dalam Pendistribusian Bantuan
Bantuan pemerintah yang diangkut menggunakan pesawat Cessna 208 Caravan dari Timika hanya dapat mendarat di bandara di Distrik Sinak. Bandara terdekat yang berada di Distrik Sinak hanya bisa dijangkau oleh pesawat kecil karena landasan pacunya yang pendek. Pagaras berharap pemerintah segera memperpanjang landasan pacu tersebut. Namun, cuaca dan angin seringkali menjadi tantangan bagi penerbangan tersebut.

Pagaras membayangkan betapa sulitnya akses bantuan jika harus menembus Distrik Agandugume, di mana warga harus berjalan kaki selama dua hari satu malam untuk mengaksesnya. Warga seringkali harus menyeberangi sungai karena kurangnya kendaraan dan jembatan di beberapa titik. Dari pusat bantuan di Sinak, satu kepala keluarga (KK) hanya dapat membawa dua hingga lima kantong bantuan, yang berisi beras dan makanan siap saji yang cukup untuk 3-4 hari.

Dengan kondisi akses yang sulit dan terbatas, perlu kerja sama antara pemerintah dan masyarakat setempat untuk mencari solusi agar bantuan dapat disalurkan dengan efisien dan tepat waktu. Semoga langkah-langkah yang diambil dapat membantu meringankan beban masyarakat yang membutuhkan bantuan.

Desakan Pagaras Kepada Pemerintah
Mayoritas penduduk Papua adalah petani dan petani yang telah tinggal di pegunungan selama ribuan tahun. Meskipun menghadapi perubahan iklim, kelaparan yang mereka alami bukanlah hal yang aneh bagi mereka. Menyikapi problematika di atas, Pagaras menuntut pemerintah untuk memperhatikan beberapa hal berikut:

Pertama, pemerintah segera mengirim tim peneliti ke lapangan guna mengevaluasi kerusakan dan kerugian yang terjadi, serta menentukan kebutuhan apa yang harus dipantau dan ditanggulangi.

Kedua, menekankan perlunya perbaikan pola pertanian di Papua. Pemerintah harus melibatkan lebih banyak peneliti lokal Papua untuk mendukung transfer teknologi yang akan dilakukan. Mengembalikan pola pertanian tradisional yang sudah dikenal oleh masyarakat Papua dan membagikan pengetahuan serta teknologi yang tepat dapat meningkatkan produksi untuk konsumsi lokal maupun perdagangan. Desakan Pagaras ini sebenarnya in-line dengan pandangan Mulyadi, seorang pengamat pertanian dari Universitas Papua.

Ketiga, perlu adanya pendampingan dan bantuan ketika menghadapi hama dan cuaca buruk. Sebenarnya, masyarakat Papua memiliki kearifan lokal mereka sendiri dalam hal pertanian, seperti cara menyimpan stok makanan selama setahun. Mereka hanya mengambil bagian yang diperlukan saat panen, sambil menimbun kembali umbinya agar tumbuh kembali. Pendampingan dibutuhkan ketika terjadi perubahan cuaca ekstrem dapat menyebabkan gagal panen, sehingga masyarakat dapat berkonsultasi.

Keempat, Kementerian Sosial perlu mengambil langkah konkret untuk membantu warga yang bergantung pada pertanian. Pembangunan lumbung makanan dan pemilihan varietas tanaman yang cocok untuk daerah tersebut juga perlu dipertimbangkan.

Kelima, perlunya pendekatan sosial budaya. Selain faktor iklim, perubahan kebiasaan masyarakat dalam pola makan juga berdampak pada ketahanan pangan di Papua. Kebiasaan menyantap nasi telah menggeser kearifan lokal dalam pertanian. Oleh karena itu, strategi untuk mengatasi kelaparan di Papua harus melibatkan pendekatan sosial budaya yang lebih dalam.

Keenam, memproyeksikan kampung-kampung di Papua menjadi pusat pertanian lokal yang berkelanjutan, tanpa menghilangkan nilai-nilai lokal yang dimiliki oleh masyarakat setempat. Ketujuh, diperlukan juga penerapan teknologi tepat guna dan manajemen pemasaran yang baik. Pendampingan oleh pemuda asli setempat yang telah mendapatkan pelatihan khusus, juga penting untuk mendukung upaya ini.

Ketujuh, diperlukan juga penerapan teknologi tepat guna dan manajemen pemasaran yang baik. Pendampingan oleh pemuda asli setempat yang telah mendapatkan pelatihan khusus, juga penting untuk mendukung upaya ini.

Pagaras berkesimpulan bahwa dengan mengembangkan pertanian lokal di Papua, selain mendukung ketahanan pangan nasional, tetapi juga melestarikan kearifan lokal dan memperkuat kemandirian masyarakat Papua. Langkah-langkah ini harus diambil dengan serius dan berkelanjutan untuk mencapai hasil yang signifikan dalam mengatasi masalah kelaparan di Papua.

Shalom, Tuhan Jaga

Herdy Ezra Wayoi
Ketua LSM PAGARAS
Papua Garis Keras

Download the Press Release Here

English Version

Pagaras Demand to the Government in Addressing the Starvation in Papua
Yahukimo, May 3, 2024

The news regarding the statement made by Vice President Ma’ruf Amin about dozens of Papuans dying of starvation has sparked criticism. Initially described as a food shortage, it turns out that there were no mass deaths occurring. Chief expert at the Presidential Staff Office (KSP) Theo Litaay explained that the purpose of Vice President Ma’ruf Amin’s statement was to correct reports claiming mass deaths in Central Papua.

Last year, the Yahukimo local government declared a state of emergency in their region after 23 people in the Amuma District of Yahukimo, Papua Highlands Province, were reported to have died from starvation.

It is estimated that there are around 12,000 individuals in the Amuma District spread across 13 villages, where the cases of starvation-induced deaths were triggered by drought leading to crop failure. Observers note that the unsustainable agricultural system in Papua and fragile public health are contributing factors to the ongoing deaths caused by starvation.

Government Efforts to Address Starvation Issues in Papua
The government has established four strategic steps to address the issues of starvation and food crisis caused by drought in Central Papua Province. According to the Coordinating Minister for Human Development and Culture, Muhadjir Effendy, these steps include the construction of food stock warehouses and other infrastructure in the Agandugume and Lambewi Districts.

Firstly, in the short term, the government will immediately build food stock warehouses in the Agandugume and Sinak Districts as an initial step in addressing the drought crisis in the area.

Secondly, for medium-term intervention, the government will extend the runway at Sinak Airport in Puncak Regency to accommodate larger aircraft such as Hercules.

The third step involves the construction of road infrastructure from Jayapura to Wamena to Sinak, in line with President Jokowi’s vision to build Trans-Papua to enhance progress and prosperity in the Papua community. With better accessibility, it is hoped that transportation costs for food and construction materials can be reduced, providing a positive impact on the local population.

Lastly, the government will provide appropriate technology transfers to enhance the value of local food, especially root crops that are staple foods for the mountainous Papuan population.

With this initiative, it is expected that the community can build their own food security and not rely on government aid, allowing the government to focus solely on providing necessary infrastructure such as food storage facilities.

Unique Climate Conditions in Agandugume and Lambewi Districts
The Agandugume and Lambewi Districts in Puncak Regency, Central Papua, are situated at an average altitude of 3,000-3,400 meters above sea level, similar to Mount Lawu in East Java. By 11:00, temperatures reach around 12 degrees Celsius.

This phenomenon occurs daily and is not caused by the dry season as in other parts of Indonesia. Head of Data, Information, and Communication at BNPB Abdul Muhari stated that the cold air from Australia is the cause of the drought in Central Papua.

A unique phenomenon occurs in the Agandugume and Lambewi Districts, where ice pellets appear every night or morning, damaging the root crops that are the main food source for the local population. As a result, their food reserves are dwindling. The local community engages in self-sustained farming to meet their own group needs. Each group has their own field, but Abdul Muhari estimates that one farming plot can only meet the needs of around 15 households.

Geographical Barriers in Aid Distribution
Government aid transported by Cessna 208 Caravan aircraft from Timika can only land at the Sinak District airport. The nearest airport in Sinak District can only be reached by small aircraft due to its short runway. It is hoped that the government will soon extend the runway. However, weather conditions and winds often pose challenges to these flights.

It is difficult to imagine the access to aid if it had to penetrate the Agandugume District, where residents must walk for two days and one night to reach it. Residents often have to cross rivers due to a lack of vehicles and bridges at several points. From the aid center in Sinak, a household can only carry two to five aid bags, containing rice and ready-to-eat meals sufficient for 3-4 days.

With limited and challenging access, cooperation between the government and the local community is essential to find solutions for efficient and timely aid distribution. Hopefully, the steps taken will help alleviate the burden on the communities in need.

Pagaras Demand to the Government
The majority of the population in Papua are farmers who have been living in the mountains for thousands of years. Despite facing climate change, hunger is not unfamiliar to them. In response to these challenges, Pagaras demands that the government pay attention to the following issues:

First, the government should immediately send a research team to evaluate the damage and losses that have occurred, as well as determine the needs that must be monitored and addressed.

Second, there is a need to improve the agricultural patterns in Papua. The government should involve more local researchers from Papua to support technology transfer. Restoring traditional farming patterns known to the people of Papua and sharing appropriate knowledge and technology can increase production for both local consumption and trade. Pagaras’ demands are actually in line with the views of Mulyadi, an agricultural observer from the University of Papua.

Third, there is a need for assistance and support when dealing with pests and bad weather. In fact, the people of Papua have their own local wisdom when it comes to agriculture, such as storing food stocks for a year. They only take what is needed during harvest, while replenishing the seeds to grow again. Assistance is needed when extreme weather changes can cause crop failures, so that the community can seek advice.

Fourth, the Ministry of Social Affairs needs to take concrete steps to help those who depend on agriculture. Building food barns and selecting suitable plant varieties for the area should also be considered.

Fifth, a social-cultural approach is necessary. In addition to climate factors, changes in eating habits also impact food security in Papua. The habit of consuming rice has displaced local wisdom in agriculture. Therefore, strategies to address hunger in Papua should involve a deeper social-cultural approach.

Sixth, projecting villages in Papua as sustainable local farming centers, without erasing the local values held by the local community, is crucial.

Seventh, application of appropriate technology and good marketing management is essential. Assistance from trained local youth is also important to support these efforts.

Pagaras concludes that by developing local agriculture in Papua, not only will it support national food security, but it will also preserve local wisdom and strengthen the self-reliance of the people of Papua. These steps must be taken seriously and continuously to achieve significant results in addressing hunger in Papua.

Shalom, Godbless!

Herdy Ezra Wayoi
Head of PAGARAS NGO
Papuan Hardline

Check Also

Himbauan PAGARAS Untuk Mengantisipasi Gangguan Keamanan Pada Pilkada 2024 di Tanah Papua

Jayawijaya, 28 Nopember 2024. PAGARAS mengamati berbagai analisis dari pengamat politik dan keamanan yang meramalkan …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *