Pandangan Pagaras Terkait Self-Determination Papua

Jayawijaya, 28 Mei 2024
Dalam catatan sejarah Pagaras, proses integrasi Irian Barat ke dalam NKRI merupakan perjalanan yang berliku dan sarat konflik antara Indonesia dan Belanda yang saat itu masih menguasai wilayah Papua. Melalui serangkaian perundingan, dari Konferensi Meja Bundar pada tahun 1949 hingga New York Agreement pada tahun 1962, akhirnya tercapailah kesepakatan untuk Irian Barat bergabung dengan Indonesia. Meskipun telah terjadi integrasi sejak Pepera tahun 1969, tuntutan kemerdekaan yang diusung Belanda pada masa tersebut masih menjadi isu sensitif bagi sebagian masyarakat Papua hingga saat ini.

Meskipun telah terjadi integrasi, beberapa orang Papua masih meragukan proses tersebut dan terus mengadvokasi pemisahan diri dari NKRI. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan pandangan antara pemerintah dan sebagian masyarakat Papua yang mendukung gerakan pro kemerdekaan Papua. Pagaras berusaha memberikan gambaran sejarah integrasi Irian Barat ke dalam NKRI, menyampaikan fakta secara obyektif dan imparsial, mencoba memberikan sudut pandang lain bagi sekelompok orang Papua yang masih mempertanyakan proses tersebut.

Tinjauan Sejarah

1) Konferensi Meja Bundar (23 Agustus 1949 – 2 November 1949 di Den Haag Belanda)
Jika kita melihat ke belakang dalam perspektif sejarah, salah satu peristiwa penting yang mendasari masalah terkait integrasi Irian Barat ke dalam NKRI adalah perbedaan pandangan antara Indonesia dan Belanda dalam Konferensi Meja Bundar. Meskipun KMB menetapkan penyerahan kedaulatan dari Belanda ke RIS, namun tidak secara eksplisit mengatur status politik Irian Barat.

Pasca KMB, perundingan mengenai status Irian Barat dilakukan dalam Konferensi Uni Indonesia-Belanda pada Maret 1950, namun gagal mencapai kesepakatan. Konferensi Khusus di Den Haag, Belanda, pada Desember 1950 juga tidak mencapai titik temu, dengan Belanda mempertahankan status quo di Irian. Pada 1 Desember 1961, Belanda mendeklarasikan kemerdekaan Negara Papua sebagai “West Papua” melalui KNP. Meskipun demikian, Indonesia tetap memperjuangkan integrasi Irian Barat ke dalam NKRI.

Perjalanan panjang proses integrasi Irian Barat menggambarkan kompleksitas hubungan antara Indonesia dan Belanda serta perjuangan untuk mencapai kesepakatan yang adil bagi kedua belah pihak. Semoga dengan upaya diplomasi yang terus dilakukan, masalah ini dapat diselesaikan dengan baik demi kepentingan bersama.

2) Trikora (Tri Komando Rakyat)
Dalam menghadapi politik dekolonisasi dan pembentukan Negara Papua Barat oleh Belanda, Presiden Soekarno menginisiasi Tri Komando Rakyat (TRIKORA) pada 19 Desember 1961 di Yogyakarta untuk merebut Irian Barat. TRIKORA menjadi langkah strategis dalam serangan militer terbatas Indonesia terhadap Belanda di Irian Barat pada akhir 1961, yang mempercepat proses Perjanjian New York antara kedua negara mengenai status wilayah tersebut.

3) New York Agreement
Dukungan modernisasi perlengkapan militer dari Uni Soviet, Indonesia dengan ABRI (kini TNI) mengambil langkah serius dalam upaya pembebasan Irian Barat melalui persiapan serangan militer terbatas terhadap Belanda di wilayah tersebut. Konflik antara kedua negara semakin meruncing akibat tindakan tersebut, namun Indonesia pada saat itu didukung oleh persenjataan militer dari Blok Timur, yaitu Uni Soviet, sehingga menarik perhatian Amerika Serikat dari Blok Barat.

Melalui usulan Elsworth Bunker, Amerika Serikat meminta penyelesaian masalah Irian kepada PBB. Dengan tekanan dari Amerika Serikat, Belanda akhirnya menerima rumusan usulan Bunker yang menekankan pentingnya memperhatikan hak-hak dan jaminan bagi rakyat Irian. Perjanjian New York ditandatangani pada 18 Juli 1962, di mana Belanda akan menyerahkan kekuasaannya atas Irian Barat kepada UNTEA sebelum kemudian diserahkan kepada Indonesia.

Pada tanggal 15 Agustus 1962, perjanjian tersebut ditandatangani di markas besar PBB di New York di bawah pengawasan Sekretaris Jenderal PBB U Thant. Isi perjanjian ini menegaskan bahwa Indonesia akan melaksanakan PEPERA pada tahun 1969 untuk menentukan nasib orang Papua/Irian apakah mereka ingin bergabung dengan Indonesia atau mendirikan negara merdeka sendiri, dengan pengawasan dari PBB.

4) Penyelenggaraan Act Of Free Choice (PEPERA) Tahun 1969
Pelaksanaan Act of Free Choice atau PEPERA di Irian dimulai dari Merauke pada tanggal 14 Juli dan berakhir di Jayapura pada tanggal 2 Agustus 1969. PEPERA dilaksanakan di delapan kota di Irian, yaitu Kabupaten Merauke, Jayawijaya, Paniai, Fak-fak, Sorong, Manokwari, Teluk Cendrawasih, dan terakhir di Kota Jayapura. Pelaksanaan PEPERA dihadiri oleh utusan PBB Dr. Fernando Ortiz-Sanz, yang ditunjuk oleh Sekretaris Jenderal PBB U Thant untuk tugas terkait pelaksanaan PEPERA di Irian tahun 1969.

Dewan Musyawarah PEPERA yang terdiri dari 1025 orang dipilih oleh pemerintah Indonesia untuk menentukan nasib bangsa Papua atau Irian, dari total jumlah penduduk saat itu sekitar 815.906 jiwa. Hasil akhir PEPERA melalui Dewan Musyawarah PEPERA secara aklamasi menyatakan bergabung dengan Indonesia. Meskipun terdapat aksi demonstrasi di beberapa kota yang dipimpin oleh Herman Wayoi dan Permenas Torrey, hasil PEPERA menunjukkan keputusan bulat untuk bergabung dengan NKRI.

Meski ada pihak yang tidak menerima keputusan tersebut, hasil PEPERA tetap mengindikasikan kesatuan Papua dengan Indonesia. Sejarah ini tetap dikenang dalam pembangunan dan pembinaan wilayah Irian, sebagai bagian integral dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Isu Self-Determination Papua
Gagasan kemerdekaan Papua melalui hak untuk menentukan nasib sendiri (self-determination) telah menjadi perbincangan yang panjang namun selalu mengalami kegagalan. Pagaras mencontohkan seperti halnya gerakan Republik Rakyat Maluku, Gerakan Aceh Merdeka, serta kemerdekaan Catalonia dari Spanyol, upaya-upaya ini selalu menghadapi tantangan dalam mendapatkan dukungan dari negara-negara lain.

Konsep hak menentukan nasib sendiri seringkali dipahami secara keliru dan tanpa batasan yang jelas. Banyak yang beranggapan bahwa hak ini memberikan kesempatan bagi semua kelompok masyarakat, wilayah, atau ras untuk meraih kemerdekaan. Namun, hal ini tidak selalu benar.

Pernyataan pertama Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebutkan bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa seringkali dijadikan dasar hukum untuk mendukung gerakan Papua Merdeka. Namun Pagaras mengingatkan bahwa pernyataan diatas harus dilihat dalam konteks situasi penjajahan, agar relevansinya secara jelas terabangun. Hukum internasional telah menetapkan kriteria yang ketat mengenai siapa dan dalam situasi apa sebuah kelompok masyarakat atau wilayah memiliki hak untuk menentukan nasib sendiri. Kriteria ini hanya berlaku bagi wilayah yang masih berada di bawah kekuasaan kolonial atau dalam situasi penaklukan, dominasi, dan eksploitasi asing.

Hal ini tercermin dalam Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 1514 dan 2625. Hukum internasional juga menghormati integritas wilayah negara, sebagaimana diatur dalam Resolusi MU PBB 2625. Larangan pemecahan wilayah negara juga ditegaskan dalam Paragraf 6 Resolusi MU PBB 1514. Penting untuk diingat bahwa aturan-aturan ini ada karena pengalaman pahit Indonesia terkait pemisahan ilegal Papua oleh Belanda melalui Konferensi Meja Bundar pada tahun 1949.

Dengan memahami konteks hukum internasional yang ketat ini, Pagaras menghimbau untuk lebih bijaksana dalam menginterpretasikan konsep hak menentukan nasib sendiri. Harus ada pemahaman yang jelas mengenai kondisi yang memenuhi syarat untuk mendapatkan dukungan internasional dalam usaha meraih kemerdekaan. Oleh karena itu, perlu adanya pendekatan yang cerdas dan profesional dalam mengadvokasi hak kemerdekaan, dengan tetap memperhatikan norma-norma hukum internasional yang berlaku.

Apakah Papua berhak atas Self-Determination
Pertanyaan hukum yang pertama yang harus dijawab adalah apakah wilayah Papua termasuk wilayah yang dimerdekakan pada tanggal 17 Agustus 1945, dan dengan demikian turut melaksanakan hak menentukan nasib sendiri? Hukum internasional mengakui doktrin uti possidetis juris yang tercermin dalam putusan Mahkamah Internasional (ICJ) dalam Kasus Concerning the Frontier Dispute (contoh kasus konflik Burkina Faso/Mali) tahun 1986.

Doktrin ini menjelaskan bahwa batas-batas wilayah yang dimerdekakan adalah batas wilayah kolonial, tidak boleh lebih dan tidak boleh kurang. Pagaras harus menyampaikan disini bahwa fakta sejarah sudah menunjukkan bahwa Papua pada tanggal 17 Agustus 1945 adalah bagian dari Hindia Belanda, jika merujuk Pasal 62 Konstitusi Belanda tahun 1938 yang berlaku pada saat itu. Berdasarkan doktrin ini, Papua termasuk wilayah yang dimerdekakan pada tanggal 17 Agustus 1945.

Dalil kelompok pro Papua merdeka bahwa Papua bukan bagian dari RI karena tidak termasuk wilayah RI berdasarkan KMB 1949 dengan sendirinya gugur karena pemisahan ini bertentangan dengan norma self-determination dan doktrin uti possidetis juris (prinsip dalam hukum internasional yang menyatakan bahwa teritori dan properti lainnya tetap di tangan pemiliknya pada akhir konflik, kecuali jika hal yang berbeda diatur oleh suatu perjanjian).

Hukum internasional yang berlaku tidak mengakui hak sekelompok penduduk untuk memisahkan diri dari negaranya hanya karena kehendak semata. Sampai saat ini, masih berlaku norma bahwa tidak ada hak untuk memisahkan diri dari negara (secession) dalam hukum internasional.

Selain itu, terkait dengan hal ini, Indonesia telah melakukan deklarasi terhadap Pasal 1 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik terkait self-determination. Deklarasi tersebut menegaskan interpretasi Indonesia bahwa hak atas self-determination tidak dapat diberlakukan terhadap kelompok masyarakat di dalam suatu negara berdaulat yang akan merusak kesatuan wilayah (territorial integrity) dari negara tersebut. Mayoritas negara, antara lain Aljazair, Burma, India, Iran, Jepang, Kuwait, Malaysia, Arab Saudi, dan Thailand, mendukung posisi Indonesia bahwa PEPERA 1969 ini bukan dalam rangka self-determination.

Proses Integrasi Papua Sesuai Dengan Prinsip Internasional
Jika diperhatikan, Proses Integrasi Irian Barat atau Papua ke dalam NKRI menghadapi tantangan serius, dengan pihak-pihak tertentu yang menciptakan opini di masyarakat lokal dan internasional, memperkuat tuntutan pemisahan. Salah satu alasan utama adalah bahwa rakyat Papua merasa tidak terlibat dalam proses perundingan mengenai masa depan wilayah mereka. Namun, proses Act of Free Choice yang dilakukan pada tahun 1969 dianggap sah karena telah mematuhi prinsip-prinsip internasional.

Status PEPERA 1969 juga dipertanyakan di tingkat hukum nasional Indonesia. Pada tahun 2019, sekelompok masyarakat dan beberapa LSM mengajukan permohonan judicial review terhadap UU 12/1969 ke Mahkamah Konstitusi, meminta pembatalan materi yang berasal dari PEPERA 1969. Namun, MK menolak permohonan tersebut dengan alasan bahwa PEPERA 1969 telah diakui oleh Resolusi PBB 2504 sebagai peristiwa hukum internasional yang sah dan final.

Proses PEPERA dilakukan mulai tanggal 14 Juli 1969 hingga 02 Agustus 1969 di delapan daerah di kabupaten Kota, dengan hasil bahwa 1.025 orang yang menghadiri PEPERA tersebut memilih untuk tetap bersama Indonesia. Pada tanggal 18 Agustus 1969, Ortiz Sanz meninggalkan Indonesia dan melaporkan hasilnya pada sidang umum pada tanggal 06 November 1969. Pada tanggal 19 November 1969, resolusi Papua tentang tetap menjadi bagian integral dari NKRI disetujui oleh 84 negara dalam sidang umum PBB.

Dengan demikian, meskipun terdapat tantangan dan kontroversi seputar proses integrasi Papua ke dalam NKRI, fakta-fakta tersebut menegaskan bahwa PEPERA 1969 telah diakui secara internasional dan wilayah Papua tetap merupakan bagian tak terpisahkan dari Indonesia. Semua langkah yang diambil selama proses tersebut telah sesuai dengan hukum dan prinsip-prinsip internasional.

Kesimpulan Pagaras
Gerakan Papua Merdeka setelah 17 Agustus 1945 tidak dapat disebut sebagai perjuangan hak menentukan nasib sendiri, karena Papua telah melaksanakan hak tersebut dan sebagai bagian sah dari Indonesia. Gerakan ini sebenarnya merupakan gerakan pemisahan diri yang dianggap sebagai tindakan makar menurut Pasal 106 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Penentuan nasib rakyat Papua telah dilakukan pada 17 Agustus 1945 bersama wilayah bekas Hindia Belanda dan PEPERA 1969 mengonfirmasi keinginan rakyat Papua untuk tetap bersatu dalam Republik Indonesia. Oleh karena itu, hak menentukan nasib sendiri tidak relevan lagi setelah Papua menjadi bagian Indonesia. Isu self-determination untuk Papua tidak lagi dibahas dalam literatur hukum internasional setelah Resolusi PBB. Gerakan pemisahan diri oleh OPM sebagian besar dipicu oleh janji kemerdekaan palsu yang ditanamkan oleh kolonial Belanda pasca KMB 1949, yang diteruskan dari generasi ke generasi di Papua.

Dengan demikian, gerakan masyarakat di Papua seharusnya lebih menyuarakan dan memperjuangkan pembangunan, berperan aktif turut mengawasi jalannya pembangunan agar tidak ada lagi praktek korupsi dan upaya eksploatasi sumber daya alam yang tidak jelas, proaktif mendorong segala bentuk program pemberdayaan ekonomi, dan kesejahteraan rakyat Papua namun tetap dalam bingkai persatuan dan kesatuan NKRI.

Shalom, Tuhan Jaga

Herdy Ezra Wayoi
Ketua LSM PAGARAS
Papua Garis Keras

Download the Press Release Here

Pagaras’ Views on the Issue of Papuan Self Determination
Jayapura, May 28, 2024

In the historical records of Pagaras, the integration process of West Irian into the Republic of Indonesia was a tumultuous journey filled with conflicts between Indonesia and the Netherlands, who then controlled the Papua region. Through a series of negotiations, from the Round Table Conference in 1949 to the New York Agreement in 1962, an agreement was finally reached for West Irian to join Indonesia. Despite the integration taking place since the Act of Free Choice in 1969, the demands for independence advocated by the Netherlands at that time still remain a sensitive issue for some Papua communities today.

Although integration has occurred, some Papuans still doubt the process and continue to advocate for separation from Indonesia. This highlights the differing perspectives between the government and certain Papua communities who support the pro-independence movement. Pagaras aims to provide a historical overview of the integration of West Irian into Indonesia, presenting facts objectively and impartially, and offering a different perspective for those Papuans who still question the process.

Historical Overview
1) Dutch–Indonesian Round Table Conference
Looking back from a historical perspective, one of the key events underlying the issue of integrating West Irian into the Republic of Indonesia is the difference in views between Indonesia and the Netherlands during the Round Table Conference. Although the RTC established the transfer of sovereignty from the Netherlands to the RIS, it did not explicitly address the political status of West Irian.

Following the RTC, negotiations on the status of West Irian were held at the Indonesia-Netherlands Union Conference in March 1950, but failed to reach an agreement. The Special Conference in The Hague, Netherlands, in December 1950 also did not find common ground, with the Netherlands maintaining the status quo in Irian. On 1 December 1961, the Netherlands declared the independence of Papua as “West Papua” through the NNG.

However, Indonesia continued to strive for the integration of West Irian into the Republic. The lengthy process of integrating West Irian illustrates the complexity of the relationship between Indonesia and the Netherlands and the struggle to achieve a fair agreement for both parties. Hopefully, with ongoing diplomatic efforts, this issue can be resolved effectively for the common interest.

2) Operation Trikora
In the face of decolonisation politics and the formation of West Papua by the Dutch, President Soekarno initiated the Tri Komando Rakyat (TRIKORA) on 19 December 1961 in Yogyakarta to reclaim West Irian. TRIKORA was a strategic move in Indonesia’s limited military attack against the Dutch in West Irian at the end of 1961, which hastened the process of the New York Agreement between the two countries regarding the status of the territory.

3) New York Agreement
The modernisation support of military equipment from the Soviet Union enabled Indonesia, with ABRI (now TNI), to take serious steps towards the liberation of West Irian through preparations for a limited military attack against the Dutch in the region. The conflict between the two countries escalated as a result of these actions, however, at that time Indonesia was supported by military armaments from the Eastern Bloc, namely the Soviet Union, which drew the attention of the United States from the Western Bloc.

Upon the proposal of Elsworth Bunker, the United States requested the United Nations to resolve the issue of West Irian. Under pressure from the United States, the Netherlands eventually accepted Bunker’s proposal, which emphasized the importance of considering the rights and guarantees for the people of Irian. The New York Agreement was signed on 18 July 1962, in which the Netherlands would transfer its authority over West Irian to UNTEA before it was handed over to Indonesia.

On 15 August 1962, the agreement was signed at the UN headquarters in New York under the supervision of UN Secretary-General U Thant. The agreement stipulated that Indonesia would conduct the Act of Free Choice (PEPERA) in 1969 to determine the fate of the Papuan/Irianese people, whether they wished to join Indonesia or establish their own independent state, under the supervision of the UN.

4) Implementation of the 1969 Act of Free Choice (PEPERA)
The implementation of the Act of Free Choice, or PEPERA, in Irian began in Merauke on 14 July and concluded in Jayapura on 2 August 1969. PEPERA was carried out in eight cities in Irian, namely Merauke Regency, Jayawijaya, Paniai, Fak-fak, Sorong, Manokwari, Teluk Cendrawasih, and finally in the city of Jayapura. The implementation of PEPERA was attended by a UN representative, Dr. Fernando Ortiz-Sanz, appointed by UN Secretary-General U Thant for the task related to the implementation of PEPERA in Irian in 1969.

The PEPERA Consultative Council, consisting of 1025 individuals selected by the Indonesian government, was tasked with determining the fate of the people of Papua or Irian, from a total population of approximately 815,906 at the time. The final outcome of PEPERA, through the Consultative Council, declared by acclamation to join Indonesia.

Despite demonstrations in some cities led by Herman Wayoi and Permenas Torrey, the results of PEPERA showed a unanimous decision to join the Republic of Indonesia. Although there were dissenting voices, the results of PEPERA still indicated the unity of Papua with Indonesia. This historical event is remembered in the development and governance of the region of Irian, as an integral part of the Unitary State of the Republic of Indonesia.

Self-Determination Issue
The idea of Papuan independence through the right to self-determination has been a long-standing topic of discussion, yet it has always faced challenges and setbacks. Similar to movements such as the Republic of South Maluku, the Free Aceh Movement, and Catalonia’s independence from Spain, these efforts have struggled to gain support from other countries. The concept of self-determination is often misunderstood and lacks clear boundaries. Many believe that this right allows any group, region, or race to seek independence, but this is not always the case.

The first statement of the Preamble of the 1945 Constitution, which declares that independence is the right of all nations, is often used as legal basis to support the Free Papua Movement. However, it is important to understand that this statement must be viewed in the context of colonialism to fully grasp its relevance. International law has set strict criteria for determining which groups or regions have the right to self-determination, applying only to territories under colonial rule or facing foreign domination and exploitation.

This is reflected in United Nations General Assembly Resolutions 1514 and 2625, which respect the territorial integrity of states and prohibit the dismemberment of state territories. These rules are in place due to Indonesia’s bitter experience with the illegal separation of Papua by the Netherlands through the Round Table Conference in 1949.

By understanding these strict international legal standards, it is important to approach the concept of self-determination with wisdom and professionalism. There must be a clear understanding of the conditions required to gain international support for independence efforts. Therefore, advocating for independence should be done with a smart and professional approach, while respecting the applicable norms of international law.

Papua Integration Process in Accordance with International Principles
When considering the integration process of West Irian or Papua into the Republic of Indonesia, there are significant challenges to overcome. Certain parties have been creating opinions in the local and international community, strengthening demands for separation. One of the main reasons for this is that the people of Papua feel they were not involved in the negotiations regarding the future of their region. However, the Act of Free Choice process carried out in 1969 is considered valid as it adhered to international principles.

The status of the 1969 Act of Free Choice has been questioned at the national legal level in Indonesia. In 2019, a group of individuals and some NGOs filed for a judicial review of Law 12/1969 with the Constitutional Court, seeking the annulment of provisions originating from the 1969 Act of Free Choice. However, the Constitutional Court rejected the request on the grounds that the 1969 Act of Free Choice had been recognized by UN Resolution 2504 as a valid and final international legal event.

The Act of Free Choice process took place from July 14 to August 2, 1969, in eight areas in the city district, with the result that 1,025 attendees chose to remain with Indonesia. Ortiz Sanz left Indonesia on August 18, 1969, and reported the results at a general meeting on November 6, 1969. On November 19, 1969, a resolution from Papua to remain an integral part of the Republic of Indonesia was approved by 84 countries at a UN general meeting.

Therefore, despite the challenges and controversies surrounding the integration of Papua into Indonesia, these facts affirm that the 1969 Act of Free Choice has been internationally recognized, and the Papua region remains an inseparable part of Indonesia. All steps taken during the process have been in accordance with the law and international principles.

Pagaras Conclusions
The movement for Papua Merdeka (Free Papua) after 17 August 1945 cannot be considered as a struggle for self-determination, as Papua has already exercised this right and is an integral part of Indonesia. This movement is in fact a separatist movement deemed as subversion under Article 106 of the Criminal Code.

The fate of the people of Papua was determined on 17 August 1945 alongside the former Dutch East Indies territories, and the Act of Free Choice in 1969 confirmed the desire of the Papuan people to remain united within the Republic of Indonesia.

Therefore, the concept of self-determination is no longer relevant after Papua became a part of Indonesia. The issue of self-determination for Papua is no longer discussed in international legal literature following the UN Resolution. The separatist movement by the Free Papua Movement (OPM) is largely driven by false promises of independence instilled by the colonial Dutch post-Round Table Conference in 1949, which has been passed down from generation to generation in Papua.

Therefore, the community movement in Papua should strive to voice and advocate for development, actively participate in monitoring the progress of development to prevent corruption and unclear exploitation of natural resources, proactively promote all forms of economic empowerment programs, and the welfare of the people of Papua while still within the framework of unity and integrity of the Unitary State of the Republic of Indonesia.

Shalom, Godbless!

Herdy Ezra Wayoi
Head of PAGARAS NGO
Papuan Hardline

Check Also

Himbauan PAGARAS Untuk Mengantisipasi Gangguan Keamanan Pada Pilkada 2024 di Tanah Papua

Jayawijaya, 28 Nopember 2024. PAGARAS mengamati berbagai analisis dari pengamat politik dan keamanan yang meramalkan …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *