Jayawijaya, 04 Juni 2024
Pada tanggal 15 April 2023, TNI melaksanakan operasi penyelamatan Pilot Susi Air yang menyebabkan Prajurit Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad), Pratu Miftahul Arifin gugur dalam tugasnya. Pilot Susi Air, Captain Philip Mark Mehrtens masih ditawan oleh Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) Papua. Dalam operasi tersebut, keselamatan penduduk menjadi prioritas utama bagi aparat TNI/Polri. Penyelamatan dilakukan dengan kehati-hatian ekstra, termasuk keselamatan Captain Philip sendiri.
Berdasarkan surat perintah tertanggal 5 April 2024, Panglima TNI memerintahkan Komando Daerah Militer XVII/Cendrawasih dan Komando Daerah Militer XVIII/Kasuari untuk menggunakan kembali sebutan OPM dalam konteks tersebut. Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto telah menginstruksikan penggantian istilah Kelompok Separatis Teroris (KST) dan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) dengan Organisasi Papua Merdeka (OPM).
OPM adalah organisasi separatis dan teroris
Pemerintah, diwakili oleh Menteri Koordinator Politik, Hukum dan HAM (Menkopolhukam) Mahfud MD, telah mengklasifikasikan KKB Papua, atau OPM, sebagai organisasi teroris setelah serangan terhadap Kepala BIN daerah (Kabinda) Papua. Meskipun pernyataan ini menuai beragam tanggapan, namun secara umum, langkah yang diambil oleh Presiden mendapat dukungan luas dari berbagai pihak.
Dengan memberikan label teroris kepada KKB atau OPM, hal ini berarti semua upaya penanggulangan tindak pidana terorisme akan diatur sesuai dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang (selanjutnya disebut UU Terorisme). Tindakan terorisme sendiri, seperti yang didefinisikan dalam Pasal 1 Ayat 2 UU Terorisme, adalah aksi yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk menimbulkan ketakutan, menyebabkan korban massal, serta merusak objek strategis, lingkungan hidup, dan fasilitas umum dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan.
Karakteristik Aktifitas OPM Menurut Hukum Internasional
Meskipun tidak disebutkan secara langsung sebagai KKB atau OPM, Pagaras mengamati bahwa karakteristik OPM sebenarnya mirip dengan subjek hukum internasional yang dikenal sebagai belligerent. Menurut Konvensi Jenewa 1949 tentang Perlakuan Terhadap Tawanan Perang (selanjutnya disebut Konvensi Jenewa III), belligerents yang diakui oleh hukum internasional adalah anggota milisi yang beroperasi secara sukarela atau terorganisir, memiliki rantai komando dengan simbol khusus, dan membawa senjata secara terang-terangan. Dengan demikian, KKB Papua juga dapat dikategorikan sebagai belligerent berdasarkan definisi hukum internasional.
Namun, penting untuk dicatat bahwa belligerent hanya diakui dalam konteks perang dengan aktor hukum internasional lain. Pernyataan perang saja tidak cukup untuk menetapkan status belligerency. Selain terorisme dan belligerency, hukum internasional juga mengenal istilah insurgent dalam situasi seperti ini.
Dengan demikian, melalui kajian yang cermat atas hukum internasional, Pagaras menemukan bahwa ada aspek lain yang perlu dipertimbangkan dalam kasus seperti ini. Hal ini memperkuat argumen bahwa KKB Papua dapat dilihat sebagai entitas yang layak dipertimbangkan dalam konteks hukum internasional.
Kenapa tidak Belligerency atau Insurgency?
Insurgensi merupakan tindakan pemberontakan atau kerusuhan yang dilakukan oleh sekelompok warga negara terhadap pemerintahan. Umumnya, insurjensi terjadi di wilayah suatu negara yang didukung oleh sebagian penduduk di dalamnya, mirip dengan gerakan Organisasi Papua Merdeka (OPM).
Jika merujuk kaidah yang ada dalam hukum intenasional, beberapa kondisi yang mungkin dapat dikatakan sebagai situasi pemberontakan, antara lain:
- Pemberontak perlu memiliki kendali pada suatu wilayah;
- Sebagian besar penduduk yang tinggal di wilayah tersebut perlu mendukung adanya gerakan pemberontakan bukan karena dipaksa melainkan karena kesadaran perlunya gerakan pemberontakan;
- Pemberontak harus bisa menaati dan bersedia untuk patuh pada hukum internasional.
Menurut Analisa Pagarasa, jika pemerintah memberikan status belligerent kepada kelompok tersebut, maka mereka akan menjadi subjek hukum internasional yang harus tunduk pada ketentuan hukum perang dan hak asasi manusia. Pagarasa juga mendukung langkah pemerintah Indonesia yang menetapkan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) Papua atau OPM, sebagai organisasi teroris, dengan tujuan menjaga hukum nasional (UU Terorisme). Namun, dalam konteks hukum internasional, insurjensi atau perang saudara dianggap sebagai masalah domestik yang harus ditangani sesuai dengan undang-undang nasional yang berlaku.
Status belligerent memiliki arti penting dalam hukum internasional, karena membawa hak dan kewajiban tertentu. Namun, jarang ada negara yang mengakui pemberontakan sebagai belligerent. Jika sebuah negara atau negara ketiga mengakui pemberontakan sebagai belligerent, hal itu dapat diartikan sebagai pengakuan adanya konflik bersenjata antara dua negara berdaulat.
Dalam kajian Pagaras, ada beberapa konsekuensi pengakuan status belligerency oleh negara berkonflik:
- Salah satu konsekuensi hukum yang utama adalah berlakunya hukum dan kebiasaan perang antara pihak yang bersengketa;
- Berlakunya Additional Protocol II to the Geneva Convention of 1949, yaitu mengenai perlindungan kepada warga sipil;
- Dilarang menggunakan bahan beracun sebagai senjata;
- Berlakunya ketentuan mengenai tawanan perang;
- Kewajiban untuk merawat dan mengurus korban perang;
- Dapat melakukan pertukaran bilateral dengan negara berkonflik;
- Dapat melakukan perjanjian dengan negara berkonflik;
OPM atau gerakan separatis lain di Papua tidak memiliki struktur pemerintahan yang diakui baik oleh Indonesia maupun secara internasional. Meskipun konsepsi anti-kolonialisme dapat diterima, namun saat ini tidak relevan karena penjajahan telah lenyap dan semua bangsa telah merdeka.
Menurut Pagarasa, pemberian status belligerent harus dilakukan secara objektif dan tidak sembarangan, karena hal tersebut dapat mempengaruhi stabilitas masyarakat internasional. Hal ini juga dapat dimanfaatkan oleh kelompok kecil dalam suatu negara yang tidak memiliki alasan yang sah untuk melakukan gerakan separatis.
Selanjutnya menurut hukum internasional ada beberapa sebab diberikannya status belligerent terhadap sekelompok penduduk yang melakukan pemberontakan, yaitu:
- Hak menentukan nasib sendiri;
- Hak secara bebas memilih sistem ekonomi, politik dan sosial; dan
- Hak menguasai sumber kekayaan alam dari wilayah yang didudukinya.
Pagarasa menilai bahwa intervensi dari negara ketiga yang memiliki kepentingan tertentu dapat membahayakan kelompok yang sedang berjuang untuk masa depannya. Tindakan intervensi semacam itu dapat dikategorikan sebagai tindakan agresi. Oleh karena itu, penting bagi negara-negara untuk berhati-hati dalam menangani isu insurjensi dan separatisme, serta memastikan bahwa penyelesaiannya dilakukan dengan cara yang adil dan sesuai dengan hukum internasional.
Pandangan Pagaras
OPM masih belum diakui sebagai kelompok belligerent secara internasional, dan komunitas internasional menganggap konflik ini sebagai masalah internal Indonesia. Pemerintah terus berupaya menyelesaikan konflik ini dengan menekankan pentingnya mengurangi jumlah korban jiwa akibat konflik yang berkepanjangan. Tindakan separatisme yang dilakukan oleh OPM dianggap sebagai tindakan makar dan terorisme, karena telah melakukan pembunuhan dan kekerasan massal.
Meskipun demikian, pemerintah harus mengakui bahwa konflik ini juga merupakan hasil dari kebijakan yang tidak selalu sesuai dengan aspirasi masyarakat Papua. Pagaras melihat bahwa pemerintah harus mempertahankan status Otsus Papua untuk memperkuat integrasi Papua sebagai bagian integral dari NKRI. Namun, solusi regulatif saja tidak cukup, karena tidak selalu dapat memenuhi semua kebutuhan dan tuntutan dari permasalahan yang ada.
Pagaras menyadari bahwa kebijakan Otsus seharusnya merupakan terjemahan dari prinsip demokrasi, yakni keinginan dan aspirasi rakyat. Lebih baik memberikan Otsus daripada memenuhi tuntutan OPM yang anarkis terhadap kemerdekaan. Namun, implementasi Otsus belum sepenuhnya menciptakan kemakmuran, kesejahteraan, dan stabilitas di Papua. Pagaras mencermati bahwa sebenarnya ada beberapa pertimbangan, baik secara politis, hukum, dan ekonomi yang dapat membuat pemerintah menentukan OPM sebagai organisasi teroris.
Dalam penanganan konflik Papua, diperlukan pendekatan holistik dan integral. Pemerintah sebaiknya belajar dari pengalaman Aceh dan Timor Leste. Indonesia berhasil meredam konflik di Aceh melalui Otsus, namun gagal mempertahankan Timor Leste karena referendum. Oleh karena itu, pendekatan Otsus bisa menjadi solusi yang tepat untuk menjaga Papua tetap dalam NKRI, tanpa terjebak dalam wacana pemisahan.
Semoga konflik ini segera berakhir tanpa mengganggu stabilitas dan integritas NKRI. Dengan pendekatan yang bijaksana dan berkeadilan, diharapkan Papua dapat meraih kedamaian dan kemajuan yang diinginkan bersama.
Shalom, Tuhan Jaga
Herdy Ezra Wayoi
Ketua LSM PAGARAS
Papua Garis Keras
Download the Press Release Here
English Translation
Incorporating OPM-Related Belligerency or Insurgency Activities
Jayawijaya, June 4, 2024
On 15th April 2023, the Indonesian National Armed Forces (TNI) carried out a rescue operation for Susi Air pilot, resulting in the tragic loss of Army Strategic Reserve Command (Kostrad) soldier, Pratu Miftahul Arifin. Pilot Susi Air, Captain Philip Mark Mehrtens, remains captive by the Armed Criminal Group (KKB) in Papua. The safety of civilians was the top priority during the operation, with extra caution taken to ensure the safety of Captain Philip himself.
In accordance with the order dated 5th April 2024, . The Indonesia Armed Forces (TNI) Commander instructed Military Regional Command XVII/Cendrawasih and Military Regional Command XVIII/Kasuari to revert back to using the term OPM in that context, General Agus Subiyanto has directed the replacement of the terms Kelompok Separatis Teroris (KST) and Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) with Organisasi Papua Merdeka (OPM).
OPM is a separatist and terrorist organization
The Government, represented by the Coordinating Minister for Political, Legal, and Security Affairs, Mahfud MD, has classified the Papua Separatist Group (KKB) or Free Papua Movement (OPM) as a terrorist organization following the attack on the Regional Chief of the National Intelligence Agency (BIN) in Papua. While this statement has received various responses, overall, the President’s decision has garnered widespread support from various parties.
By labelling the KKB or OPM as terrorists, all efforts to combat terrorist activities will be regulated in accordance with Law No. 5 of 2018 concerning Amendments to Law No. 15 of 2003 concerning the Stipulation of Government Regulation in Lieu of Law No. 1 of 2002 concerning the Eradication of Terrorism into Law (hereinafter referred to as the Terrorism Law). Terrorism itself, as defined in Article 1 paragraph 2 of the Terrorism Law, is an act that uses violence or the threat of violence to instill fear, cause mass casualties, and damage strategic objects, the environment, and public facilities with ideological, political, or security disruption motives.
Characteristics of OPM Activities According to International Law
Although not directly referred to as KKB or OPM, Pagaras observes that the characteristics of OPM are actually similar to the international legal subject known as belligerents. According to the 1949 Geneva Convention on the Treatment of Prisoners of War (hereinafter referred to as Geneva Convention III), belligerents recognized by international law are members of militias operating voluntarily or organized, having a chain of command with special symbols, and openly carrying weapons.
Therefore, Papua’s KKB can also be categorized as belligerents based on the definition of international law. However, it is important to note that belligerents are only recognized in the context of war with other international legal actors. A declaration of war alone is not sufficient to establish belligerent status. In addition to terrorism and belligerency, international law also recognizes the term insurgent in such situations.
Thus, through careful examination of international law, Pagaras finds that there are other aspects to consider in cases like this. This strengthens the argument that Papua’s KKB can be seen as an entity worthy of consideration in the context of international law.
Why not Belligerency or Insurgency?
Insurgency is an act of rebellion or rioting carried out by a group of citizens against the government. Typically, insurgency occurs in a country’s territory supported by some of its inhabitants, similar to the Free Papua Movement (OPM). According to Analisa Pagarasa, if the government grants belligerent status to such a group, they will become subjects of international law and must adhere to the laws of war and human rights.
Pagarasa also supports the Indonesian government’s decision to designate the Papua Armed Criminal Group (KKB) or OPM as a terrorist organization, with the aim of upholding national law (Anti-Terrorism Law). However, in the context of international law, insurgency or civil war is considered a domestic issue to be addressed under national laws.
If we refer to the existing rules in international law, several conditions that might be said to be situations of rebellion include:
- Rebels need to have control of an area;
- The majority of the population living in the region needs to support the rebellion movement not because they are forced to but because they are aware of the need for the rebellion movement;
- Rebels must be able to obey and be willing to comply with international law.
The concept of belligerent status holds significant meaning in international law, as it entails certain rights and obligations. However, few countries recognize rebellion as belligerent. If a country or third party recognizes rebellion as belligerent, it could be interpreted as an acknowledgment of armed conflict between two sovereign states. OPM or other separatist movements in Papua do not have a recognized governmental structure either by Indonesia or internationally. Although anti-colonialism may be a valid concept, it is currently irrelevant as colonialism has ceased and all nations are independent.
In Pagaras’ study, there are several consequences of recognizing belligerency status by countries in conflict:
- One of the main legal consequences is the application of the laws and customs of war between the parties to the dispute;
- The implementation of Additional Protocol II to the Geneva Convention of 1949, namely regarding the protection of civilians;
- It is prohibited to use toxic materials as weapons;
- Applicability of provisions regarding prisoners of war;
- Obligation to care for and care for war victims;
- Can carry out bilateral exchanges with countries in conflict;
- Can enter into agreements with countries in conflict;
According to Pagarasa, granting belligerent status should be done objectively and cautiously, as it can impact international community stability. This could also be exploited by small groups within a country without legitimate reasons for separatist movements.
Furthermore, according to international law, there are several reasons for granting belligerent status to a group of people who carry out a rebellion, namely:
- The right to self-determination;
- The right to freely choose economic, political and social systems; And
- The right to control the natural resources of the territory occupied.
Pagarasa believes that intervention from third-party countries with specific interests could endanger groups striving for their future. Such interventions may be categorised as acts of aggression. Therefore, it is crucial for countries to handle insurgency and separatism issues with care and ensure resolution aligns with fairness and international law.
Pagaras’s Point of View
The Free Papua Movement (OPM) is still not recognized as a belligerent group internationally, with the international community viewing the conflict as an internal issue of Indonesia. The government continues to strive to resolve the conflict by emphasizing the importance of reducing the number of casualties resulting from the prolonged conflict. The separatist actions carried out by the OPM are seen as acts of rebellion and terrorism, due to the killings and mass violence that have occurred. However, the government must acknowledge that this conflict is also a result of policies that do not always align with the aspirations of the Papuan people.
It is understood that the government must maintain the Special Autonomy status for Papua to strengthen its integration as an integral part of the Unitary State of the Republic of Indonesia (NKRI). However, regulatory solutions alone are not sufficient, as they may not always meet all the needs and demands of the existing issues.
It is recognized that the Special Autonomy policy should be a translation of democratic principles, reflecting the desires and aspirations of the people. It is better to provide Special Autonomy than to meet the anarchic demands of the OPM for independence. Yet, the implementation of Special Autonomy has not fully created prosperity, welfare, and stability in Papua.
There are various considerations, both politically, legally, and economically, that could lead the government to designate the OPM as a terrorist organization. In handling the Papua conflict, a holistic and integral approach is necessary. The government should learn from the experiences in Aceh and Timor Leste. Indonesia successfully resolved the conflict in Aceh through Special Autonomy, but failed to retain Timor Leste due to a referendum. Therefore, the Special Autonomy approach could be the right solution to keep Papua within the NKRI, without getting caught up in separation discourse.
Let us hope that this conflict will soon end without disrupting the stability and integrity of the NKRI. With a wise and just approach, it is hoped that Papua can achieve the peace and progress desired by all.
Shalom, Godbless!
Herdy Ezra Wayoi
Head of PAGARAS NGO
Papuan Hardline