Jayapura, 24 Juni 2024
Kelompok teroris kriminal bersenjata merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan kelompok separatis yang disebut sebagai sebagai Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB). Mereka telah lama beroperasi di wilayah Papua dengan tujuan utama untuk merdeka dan memisahkan diri dari NKRI. Dalam lima tahun terakhir, aktivitas gerakan separatis bersenjata semakin meningkat dan kekerasan yang dilakukan telah menelan banyak korban jiwa, termasuk warga sipil, anggota Polri, dan TNI.
Pagaras menegaskan bahwa pemerintah tidak boleh tinggal diam dalam menghadapi ancaman gerakan separatis bersenjata yang mengganggu keamanan dan ketertiban di Tanah Papua. Tindakan kelompok separatis bersenjata dimaksud, menggunakan strategi perang gerilya, dan bersembunyi di tengah masyarakat merupakan ancaman serius yang harus segera ditanggulangi.
Oleh karena itu, Pagaras mendesak pemerintah untuk bertindak tegas dan komprehensif dalam mengatasi gerakan separatis bersenjata di Papua. Pengalaman masa lalu harus dijadikan pembelajaran bagi pemerintah untuk memastikan keamanan dan kedamaian di Papua tetap terjaga. Semua tindakan harus dilakukan dengan profesional dan sesuai dengan hukum demi kepentingan negara dan rakyat Papua.
Kebingungan Jakarta Merumuskan Kebijakan Keamanan di Papua
Pagaras mengamati bahwa para pembuat kebijakan di Jakarta belum sepenuhnya memperhatikan prinsip kecermatan dalam merumuskan arah hukum dan kebijakan keamanan untuk Papua. Hal ini dapat menimbulkan kebingungan di kalangan pejabat negara serta berpotensi menimbulkan korban di masyarakat dan aparat pelaksana di lapangan.
Sepanjang tahun 2021, aksi teror KKB di Papua telah mengakibatkan 34 orang meninggal dunia, yang terdiri dari 11 anggota TNI, 4 anggota Polri, dan 19 warga sipil. Mengutip laman resmi MPR RI, Ketua MPR RI Bambang Soesatyo, meminta aparat TNI, Polri dan BIN menurunkan kekuatan penuh yang dimiliki untuk melakukan tindakan tegas terukur terhadap OPM di Papua. Menurutnya, tak ada lagi toleransi terhadap KKB untuk melakukan aksi kejahatan yang meresahkan masyarakat serta mengakibatkan korban jiwa. Menkopolhukham Mahfud MD kemudian menetapkan KKB sebagai kelompok teroris berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018.
April 2024, TNI kembali mengubah penyebutan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) menjadi Organisasi Papua Merdeka (OPM) untuk mengikuti nama yang digunakan oleh kelompok tersebut. Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto menyatakan bahwa OPM telah melakukan tindakan teror seperti pembunuhan dan pemerkosaan di Papua. Operasi di Papua disesuaikan dengan tingkat kerawanan di setiap wilayah.
Menurut Panglima TNI, penyelesaian masalah di Papua memerlukan pendekatan yang tepat, termasuk penggunaan senjata jika diperlukan. Pagaras setuju dengan pandangan Jenderal Agus Subianto bahwa operasi di Papua harus melibatkan unsur territorial, intelijen, dan tempur, serta disesuaikan dengan tingkat kerawanan di setiap wilayah. Dengan demikian, penting bagi pembuat kebijakan untuk lebih cermat dalam merumuskan kebijakan keamanan untuk Papua guna menghindari kebingungan di kalangan pejabat negara dan potensi korban di masyarakat serta aparat pelaksana di lapangan.
Perjalanan Penetapan Status Teroris
Kementerian Luar Negeri melalui KBRI di Jerman telah mengusulkan agar Organisasi Papua Merdeka (OPM) dimasukkan ke dalam Daftar Terduga Teroris dan Organisasi Teroris (DTTOT), sebagai langkah untuk memutus dukungan internasional terhadap kelompok tersebut. Usulan ini didasarkan pada kesamaan elemen tindak pidana terorisme antara Uni Eropa (UE) dan Indonesia.
Meskipun usulan tersebut telah dibahas secara internal oleh berbagai kementerian dan lembaga, namun ketika diumumkan secara resmi, pemerintah menggunakan istilah Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) bukan OPM. Padahal, OPM merupakan organisasi yang menyuarakan tuntutan kemerdekaan Papua, sedangkan KKB adalah istilah yang digunakan pemerintah untuk menamai kelompok bersenjata yang melakukan tindak kriminal.
Meskipun demikian, penting untuk memperhatikan bahwa OPM dan KKB memiliki arti dan implikasi hukum yang berbeda. OPM merupakan organisasi yang memiliki sayap bersenjata yaitu Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB), yang mengklaim bertanggung jawab atas serangkaian teror, pembunuhan dan perusakan fasilitas umum di Papua. Sementara itu, KKB merupakan istilah yang digunakan pemerintah untuk menamai kelompok bersenjata yang tidak bisa diidentifikasi dengan jelas dan melakukan tindak kriminal. Oleh karena itu, penamaan yang tepat dan akurat sangat penting dalam menentukan langkah-langkah kebijakan yang akan diambil terkait dengan kelompok-kelompok tersebut.
Himbauan Pagaras
Pagaras mengkritik pemerintah karena dianggap kurang hati-hati dalam menentukan arah kebijakan, terutama terkait dengan pilihan nomenklatur yang tidak selaras. Separatisme OPM dan TPNPB bertujuan untuk memisahkan diri dari negara, sementara terorisme dalam pengertian UU No 5 Tahun 2018 adalah tindak pidana yang bertujuan menimbulkan rasa takut secara meluas di masyarakat.
Namun, ketika pemerintah menyematkan status “organisasi teroris” pada kelompok yang disebut sebagai KKB, KSB, atau KKSB, sebenarnya sama saja dengan memberikan label pada suatu organisasi yang sebenarnya tidak ada. Istilah tersebut lebih mirip dengan Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) di masa lalu, yang digunakan untuk menyebut siapa pun yang dianggap melawan negara tanpa membedakan tingkat ancamannya.
Pilihan nomenklatur ini memiliki implikasi kebijakan yang berbeda. Pernyataan Bambang Soesatyo tentang “tumpas habis” mungkin tidak merujuk pada hukum yang spesifik, tetapi dapat diartikan sebagai arah kebijakan negara untuk bertindak tegas menghadapi KKB. Pendekatan ini menganggap KKB sebagai “musuh negara” yang mengancam kedaulatan dan keselamatan bangsa. Namun, pengerahan militer harus dilakukan berdasarkan keputusan politik negara dan tidak boleh hanya dilakukan oleh lembaga eksekutif atau legislatif saja.
Pagaras menegaskan bahwa penanganan terorisme seharusnya dilakukan melalui penegakan hukum, bukan perang terhadap gerakan pembebasan nasional. Para pembuat kebijakan perlu serius menyikapi situasi keamanan di Papua dan menahan emosi agar tidak memicu penggunaan kekuatan berlebihan yang dapat menimbulkan korban. Kebijakan yang dikeluarkan pemerintah harus jelas dalam kerangka konseptual dan keselarasan sikap antar elite lembaga negara agar dapat memenuhi asas-asas pemerintahan yang baik, termasuk asas kecermatan dan ketidakberpihakan, sehingga tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan.
Shalom, Tuhan Jaga
Herdy Ezra Wayoi
Ketua LSM PAGARAS
Papua Garis Keras
Download the Press Release Here
English Version
Pagaras Encourages Firmness in Security Policy Direction in Papua
Jayapura, June 24, 2024
The term “armed criminal terrorist group” is used to describe the separatist group known as the Free Papua Movement (OPM). They have long been operating in the Papua region with the main goal of independence and separation from Indonesia. Over the past five years, the activities of the armed separatist movement have increased, and the violence perpetrated has claimed many lives, including civilians, police, and military personnel.
It is imperative that the government does not remain passive in the face of the threat posed by the armed separatist movement that disrupts security and order in Papua. The OPM’s guerrilla warfare strategy and their hiding among the civilian population pose a serious threat that must be addressed promptly. Therefore, it is crucial for the government to take decisive and comprehensive action against the OPM separatist movement.
Past experiences should serve as lessons for the government to ensure that security and peace in Papua are maintained. All actions must be carried out professionally and in accordance with the law for the benefit of the nation and the people of Papua. It is essential to tackle this issue effectively to safeguard the well-being of the region and its inhabitants.
Jakarta’s Confusion in Formulating Security Policy in Papua
Pagaras sees that the policymakers in Jakarta have not fully considered the principle of precision in formulating legal and security policies for Papua. This could lead to confusion among state officials and potentially result in casualties among the community and law enforcement on the ground.
Throughout 2021, the acts of terror by the KKB in Papua have resulted in the deaths of 34 individuals, including 11 TNI members, 4 Polri members, and 19 civilians. Referring to the official MPR RI website, Chairman Bambang Soesatyo urged the TNI, Polri, and BIN to deploy their full strength to take decisive and measured actions against the OPM in Papua. He stressed that there is no longer any tolerance for the KKB to carry out criminal activities that disturb the public and result in loss of life. Minister of Political, Legal, and Security Affairs Mahfud MD has subsequently designated the KKB as a terrorist group under Law Number 5 of 2018.
The Indonesian National Armed Forces (TNI) have rebranded the Separatist Terrorist Group in Papua, formerly known as the Armed Criminal Group (KKB), as the Free Papua Movement (OPM). TNI Commander General Agus Subiyanto stated that this change in nomenclature follows the name used by the group itself. General Subiyanto mentioned that the OPM has engaged in various forms of terror, from murder to rape. Furthermore, he explained that operations in Papua are tailored to the level of vulnerability in each specific area.
According to General Agus Subianto, the resolution of territorial issues in Papua requires its own method – weapons must be fought with weapons. Pagaras concurs with General Agus Subianto’s view that operations in Papua must incorporate elements of territorial, intelligence, combat, and adapt to the varying levels of vulnerability in different regions. It is imperative to approach these challenges with a strategic and well-coordinated effort to ensure the safety and security of all individuals involved.
Process to Determining Terrorist Status
The Ministry of Foreign Affairs through the Indonesian Embassy in Germany has proposed for the Free Papua Movement (OPM) to be included in the List of Suspected Terrorists and Terrorist Organizations (DTTOT), as a step to cut off international support for the group. This proposal is based on the similarity of elements of terrorism between the European Union (EU) and Indonesia. Although the proposal has been discussed internally by various ministries and institutions, when officially announced, the government used the term Armed Criminal Group (KKB) instead of OPM.
However, OPM is an organization that advocates for Papuan independence, while KKB is a term used by the government to name armed groups involved in criminal activities. It is important to note that OPM and KKB have different legal meanings and implications.
OPM is an organization with an armed wing, namely the West Papua National Liberation Army (TPNPB), which claims responsibility for the shooting, killing, arson, and many other violent actions in Papua. On the other hand, KKB is a term used by the government to name armed groups that cannot be clearly identified and engage in criminal activities. Therefore, accurate and precise naming is crucial in determining policy steps related to these groups.
Pagaras Conclusion
It is evident that the government lacks caution in determining policy direction, as reflected in the inconsistency of nomenclature choices. The separatist groups OPM and TPNPB aim to break away from the state, while terrorism, as defined in Law No. 5 of 2018, is a criminal act intended to create widespread fear or terror in society. When the government labels groups such as KKB, KSB, or KKSB as “terrorist organizations,” it is akin to labeling an organization that does not actually exist since no group in Papua goes by those names. This terminology is more reminiscent of the Security Disturbance Movement (GPK) used in Aceh, Papua, and East Timor during the New Order era to identify anyone perceived as opposing the state without distinguishing the level of threat.
The choice of nomenclature has different policy implications. Bambang Soesatyo’s statement about “eradicating completely,” while not referring to specific laws, can be interpreted as the state’s policy direction to take strong action against the target, KKB. This approach views the KKB as an “enemy of the state” threatening sovereignty, territorial integrity, or national security. The policy translation of this statement is the deployment of military force.
Military deployment must be based on the state’s policy and political decisions (Article 7 Paragraph 3 of the TNI Law). It cannot be solely the decision of the executive or legislative branch. State policies and decisions are made through laws, including the enforcement of international humanitarian law or laws of war.
In contrast to the Chairman of the Indonesian Parliament, Bambang Soesatyo, who focuses on territorial policy and criminal justice, Mahfud MD views the KKB as a group considered ‘terrorists’ whose actions are deemed ‘terrorism’ under Law No. 5 of 2018 on the eradication of terrorist acts. Pagaras asserts that if the terrorism in question is a “criminal act,” then the appropriate response is to deploy the police, prosecutors, and courts to enforce the law, not wage war against a national liberation movement. This approach requires the state apparatus to treat targets as citizens to be embraced, rather than enemies to be eradicated.
Pagaras highlights the need for policymakers to take the security situation in Papua more seriously. Statements should be based on institutional coordination and research, not emotional outbursts that could lead to excessive use of force and casualties. Policymakers must ensure that any government policies are clear, conceptually sound, and aligned with the attitudes of state institutions to uphold principles of good governance, from diligence to impartiality, thus preventing abuse and misconduct in the field.
Shalom, Godbless!
Herdy Ezra Wayoi
Head of PAGARAS NGO
Papuan Hardline