Bersikap Tegas Terhadap Kelompok Separatis di Papua, Solusi Dilematis Tapi Harus

Jayapura, 27 Juni 2024,
Apa yang terjadi di Papua sehingga TNI dan masyarakat selalu diganggu oleh kelompok kriminal bersenjata (KKB) yang mengganggu stabilitas politik, keamanan, dan ekonomi di pulau tersebut? Posisi pemerintah saat ini sangat dilematis. Jika dilakukan tindakan tegas, pemerintah dituduh melanggar HAM. Namun, jika tindakan lunak diambil, gangguan keamanan akan terus berlanjut.

KKB adalah singkatan dari Kelompok Kriminal Bersenjata, yang merupakan sebuah kelompok yang kerap menebar teror baik kepada warga sipil maupun TNI serta Polri di wilayah Papua. Tujuan KKB Papua adalah melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Belakangan, Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto telah menginstruksikan stafnya untuk mengganti istilah Kelompok Separatis Teroris (KST) dan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) dengan Organisasi Papua Merdeka (OPM) kembali. Lebih lanjut, berdasarkan surat perintah tertanggal 5 April 2024, Panglima TNI memerintahkan kepada Komando Daerah Militer XVII/Cendrawasih dan Komando Daerah Militer XVIII/Kasuari untuk menggunakan kembali sebutan OPM dalam konteks tersebut.

Namun demikian, Pagaras mengajak seluruh masyarakat akar rumput di tanah Papua untuk melihat kembali perjalanan kelam kelompok separatis di Indonesia. Sejarah telah menunjukkan bahwa NKRI pernah menghadapi tantangan dari berbagai kelompok separatisme di masa lalu. Pagaras mencontohkan, mulai dari peristiwa RMS yang dipimpin Johan Manusama meledak di Ambon sekitar 1950, gerakan PRRI yang dipimpin Letnan Kolonel Ahmad Husein dengan dukungan Amerika Serikat, sejumlah politisi dari Partai Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI) di Padang, Sumatera Barat, pada 1958, pemberontakan Letnan Kolonel Ventje Sumual dengan para pendukungnya di Manado, Sulawesi, hingga pemberontakan Kahar Muzakar di Sulawesi Selatanjuga memproklamasikan Permesta, dengan sikap tegas dari pemerintah pada zaman itu semua gerakan separatisme dapat dipadamkan. Tentunya pada masa itu, kita semua belum terlalu “diganggu” oleh isu-isu HAM.

Pagaras melihat ada kebutuhan untuk memformulasikan pendekatan yang tegas dan komprehensif yang tidak hanya tentang menjaga stabilitas di Papua. Program yang merancang kegiatan partisipatif masyarakat sangat penting dalam menyelesaikan konflik ini. Masyarakat harus dibuat melihat realita bahwa tanggung jawab menjaga keamanan dan ketertiban adalah tanggung jawab bersama, dengan menjaga persatuan dan memupuk nasionalisme, serta mengambil peran yang berarti.

Kelompok Separatis di Papua
Masalah KKB, atau yang lebih dikenal sebagai Organisasi Papua Merdeka (OPM), telah menjadi perhatian sejak Indonesia berjuang untuk pembebasan Irian Barat pada tahun 1950-an. OPM sendiri bermula dari inisiasi Belanda untuk mempertahankan penjajahan atas Irian Barat.

Nama Irian Barat kemudian diubah menjadi Papua setelah kunjungan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada 31 Desember 1999. Media massa melaporkan bahwa Gus Dur menerima tuntutan kaum separatis yang ingin mengganti nama Irian menjadi Papua dengan alasan bahwa Irian merupakan singkatan dari “Ikut Republik Indonesia Anti Nederland”. Namun, argumentasi ini dianggap aneh dan lemah dalam konteks kebijakan negara.

Sebagai informasi, nama Irian sendiri diusulkan oleh pejuang kemerdekaan Irian Barat, Frans Kaisiepo, kepada Bung Karno. Menurut Frans, Irian berasal dari bahasa suku di Papua yang berarti ‘Sinar yang menghalau kabut. Gus Dur dalam Sidang Tahunan MPR 2000 dengan tegas menyatakan bahwa pemisahan diri akan ditindak tegas.

Tindakan tegas tersebut sesuai dengan semangat Pidato Kenegaraan Bung Karno pada 17 Agustus 1950, yang menegaskan bahwa Irian Barat merupakan soal penjajahan atau kemerdekaan. Pagaras mengutip pernyataan Bung Karno, “Kita menghendaki seluruh Tanah Air kita merdeka, seluruh tumpah darah kita, dari Sabang sampai Merauke zonder kecuali”. Mencermati hal diatas, Pagaras melihat sangat penting bagi semua pihak untuk memahami sejarah dan konteks konflik di Papua serta menjaga persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.

Kebijakan Otsus dan Kesejahteraan
Dari contoh dimaksud, Pagaras menyimpulkan bahwa gerakan separatis di NKRI harus ditindak tegas, bahkan dengan kekuatan bersenjata jika diperlukan, dan tidak hanya melalui diplomasi persuasif atau dialog. Terutama jika pendekatan damai tidak berhasil. Berkenaan dengan persoalan HAM, Pagaras mengutip sejarah ketika Menteri Luar Negeri Indonesia saat itu, Dr. Subandrio, menjelaskan kepada delegasi Belanda yang dipimpin oleh Van Royen pada perundingan 25 Juli 1962.

Berkaitan dengan pelaksanaan hak asasi manusia di Irian Barat, hal ini dapat dipelajari dari rancangan diplomat AS, Ellsworth Bunker, yang menjadi penengah dalam perundingan antara RI dan Belanda untuk menyelesaikan masalah Irian Barat, dikenal sebagai “Bunker Plan”. Dalam Bunker Plan, hak-hak rakyat Irian Barat diakui oleh Pemerintah Indonesia untuk menentukan pilihannya sendiri apakah tetap menjadi bagian dari Indonesia atau Belanda. Akhirnya, melalui Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera), rakyat Irian Barat memilih untuk tetap menjadi bagian dari NKRI.

Sejak tahun 2001, Pemerintah telah memberikan otonomi khusus (otsus) bagi rakyat Papua dan Papua Barat dengan dana yang besar dari APBN untuk meningkatkan kesejahteraan, kesehatan, dan pendidikan mereka. Meskipun terdapat dugaan korupsi dalam pelaksanaan otsus di tanah Papua, serta dugaan pelanggaran HAM oleh aparat keamanan, hal ini harus ditindak tegas dan diperbaiki oleh pemerintah pusat, daerah, TNI, dan rakyat Papua sendiri.

Apapun bentuk gangguan atau upaya pemisahan diri dari NKRI oleh kelompok di tanah Papua, Pagaras mendukung pemerintah untuk bertindak tegas dan tanpa kompromi. TNI, sebagai pengawal NKRI, harus tetap berada di garis depan di seluruh Tanah Papua. Dukungan Pagaras semata-mata agar kehidupan masyarakat di tanah Papua menjadi lebih baik, demi mengejar ketertinggalan di segala aspek, serta dapat sejajar makmur dengan propinsi-propinsi lain di Indonesia.

Shalom, Tuhan Jaga

Herdy Ezra Wayoi
Ketua LSM PAGARAS
Papua Garis Keras

Download the Press Release Here

English Version

Taking a Firm Stance Against Separatist Groups in Papua,
Solution to a Dilemma But It is a Must
Jayapura, June 27, 2024

What is happening in Papua that the Indonesian National Armed Forces (TNI) and the community are constantly being disrupted by armed criminal groups (KKB) that disturb the political, security, and economic stability on the island? The government’s current position is very dilemmatic. If decisive action is taken, the government is accused of violating human rights. However, if soft actions are taken, security disturbances will continue.

KKB stands for Armed Criminal Group, which is a group that often spreads terror to civilians as well as TNI and Polri in the Papua region. The goal of the Papua KKB is to separate from the Unitary State of the Republic of Indonesia (NKRI).

Recently, the TNI Commander General Agus Subiyanto instructed his staff to replace the terms Separatist Terrorist Group (KST) and Armed Criminal Group (KKB) with Free Papua Organization (OPM) once again. Furthermore, based on the order dated April 5, 2024, the TNI Commander ordered the XVII/Cendrawasih Military Regional Command and the XVIII/Kasuari Military Regional Command to use the term OPM in that context.

However, Pagaras invites all grassroots communities in Papua to revisit the dark journey of separatist groups in Indonesia. History has shown that NKRI has faced challenges from various separatist groups in the past. Pagaras cites examples such as the RMS incident led by Johan Manusama exploding in Ambon around 1950, the PRRI movement led by Lieutenant Colonel Ahmad Husein with support from the United States, several politicians from the Masyumi Party and the Indonesian Socialist Party (PSI) in Padang, West Sumatra, in 1958, the rebellion of Lieutenant Colonel Ventje Sumual with his supporters in Manado, Sulawesi, and the rebellion of Kahar Muzakar in South Sulawesi also proclaiming Permesta, with firm government action at that time all separatist movements could be extinguished. Surely at that time, we were not too “disturbed” by human rights issues.

Pagaras sees the need to formulate a firm and comprehensive approach that is not only about maintaining stability in Papua. Programs that design participatory community activities are crucial in resolving this conflict. The community must be made to see the reality that the responsibility for maintaining security and order is a shared responsibility, by maintaining unity and fostering nationalism, and taking meaningful roles.

Separatist Groups in Papua
The issue of the Free Papua Movement, known as the OPM, has been a concern since Indonesia fought for the liberation of West Irian in the 1950s. The OPM itself originated from the Dutch initiative to maintain colonization over West Irian. The name West Irian was later changed to Papua after President Abdurrahman Wahid (Gus Dur) visited on December 31, 1999.

The mass media reported that Gus Dur received demands from separatists who wanted to change the name from Irian to Papua on the grounds that Irian stood for “Ikut Republik Indonesia Anti Nederland.” However, this argument was considered strange and weak in the context of state policy.

It is worth noting that the name Irian itself was proposed by the freedom fighter of West Irian, Frans Kaisiepo, to Bung Karno. According to Frans, Irian comes from the language of the tribes in Papua, meaning ‘Sunlight that dispels the fog.’ Gus Dur stated firmly during the 2000 MPR Annual Session that any attempts at separation would be dealt with decisively.

This decisive action aligns with the spirit of Bung Karno’s State Address on August 17, 1950, which emphasized that West Irian was a matter of colonization or independence. Pagaras quoted Bung Karno’s statement, “We desire our entire Homeland to be independent, all of our blood spilled, from Sabang to Merauke without exception.” Considering the above, Pagaras sees it as crucial for all parties to understand the history and context of the conflict in Papua and to maintain the unity of the Indonesian nation.

Special Autonomy and Welfare Policy
From the example provided, Pagaras concludes that separatist movements in the Republic of Indonesia should be dealt with firmly, even with armed force if necessary, and not just through persuasive diplomacy or dialogue. Especially if peaceful approaches fail. Regarding human rights issues, Pagaras references a historical event when Indonesia’s Foreign Minister at the time, Dr. Subandrio, explained to a Dutch delegation led by Van Royen during negotiations on July 25, 1962.

In relation to the implementation of human rights in West Irian, this can be learned from the US diplomat Ellsworth Bunker’s plan, who mediated in the negotiations between Indonesia and the Netherlands to resolve the West Irian issue, known as the “Bunker Plan”. In the Bunker Plan, the rights of the people of West Irian were recognized by the Indonesian Government to determine their own choice of whether to remain part of Indonesia or the Netherlands. Ultimately, through the Act of Free Choice (Pepera), the people of West Irian chose to remain part of the Republic of Indonesia.

Since 2001, the Government has provided special autonomy (otsus) for the people of Papua with a large budget from the national budget to improve their welfare, health, and education. Although there are allegations of corruption in the implementation of otsus in Papua, as well as allegations of human rights violations by security forces, these must be addressed firmly and rectified by the central government, local authorities, the military, and the people of Papua themselves.

Regardless of any form of disturbance or attempts at separation from the Republic of Indonesia by groups in Papua, Pagaras supports the government in taking decisive and uncompromising action. The Indonesian National Armed Forces, as the guardians of the Republic of Indonesia, must remain at the forefront throughout Papua. Pagaras’ support is solely aimed at improving the lives of the people in Papua, in order to catch up in all aspects and prosper alongside other provinces in Indonesia.

Shalom, Godbless!

Herdy Ezra Wayoi
Head of PAGARAS NGO
Papuan Hardline

Check Also

Himbauan PAGARAS Untuk Mengantisipasi Gangguan Keamanan Pada Pilkada 2024 di Tanah Papua

Jayawijaya, 28 Nopember 2024. PAGARAS mengamati berbagai analisis dari pengamat politik dan keamanan yang meramalkan …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *