Intan Jaya, 29 Juni 2024,
Konflik yang berkepanjangan di Papua telah memberikan dampak yang sangat besar pada berbagai aspek kehidupan, termasuk pendidikan. Di tengah semangat kurikulum Merdeka Belajar yang sedang digalakkan di seluruh Indonesia, sayangnya hal ini sulit terwujud di Papua. Anak-anak di daerah konflik di Papua tidak memiliki kebebasan untuk belajar dengan tenang seperti anak-anak di daerah lain di Indonesia.
Kehadiran Organisasi Papua Merdeka (OPM) selama puluhan tahun telah menciptakan teror, ancaman, dan kekerasan yang menghambat proses pendidikan di Papua. Aksi pembakaran sekolah oleh OPM menjadi contoh nyata dari betapa sulitnya situasi pendidikan di Papua. Pagaras sangat prihatin dengan tindakan tersebut, karena korban utamanya adalah anak-anak yang seharusnya mendapatkan hak mereka untuk belajar tanpa takut.
Pembakaran sekolah bukan hanya merugikan fasilitas fisik, tetapi juga merugikan masa depan anak-anak Papua. Dalam kurun waktu 2021-2024 saja, sudah ada 18 fasilitas sekolah yang dibakar oleh OPM di berbagai daerah di Papua. Hal ini tentu membuat kondisi kekurangan tenaga pengajar semakin parah, karena banyak guru yang meninggalkan daerah konflik untuk mencari keamanan.
Pagaras mengutuk keras aksi kekerasan yang dilakukan oleh OPM, karena hal tersebut hanya akan merugikan generasi muda Papua yang seharusnya menjadi harapan bangsa. Dengan adanya konflik yang terus berlanjut, anak-anak Papua semakin kehilangan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Pemerintah harus segera menemukan solusi untuk mengakhiri konflik di Papua agar generasi muda Papua dapat tumbuh dan berkembang dengan baik.
Dalam menyikapi kondisi ini, Pagaras berharap agar semua pihak dapat bekerja sama untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang aman dan kondusif bagi anak-anak di Papua. Anak-anak adalah aset berharga bagi bangsa ini, dan mereka memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas tanpa harus merasa takut atau terancam. Semoga kedepannya, Papua dapat menjadi tempat yang damai dan sejahtera bagi seluruh rakyatnya, terutama bagi generasi muda yang merupakan harapan masa depan bangsa.
Bukan sebuah kejutan, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Papua jauh tertinggal. Sebagai contoh, tahun 2022, IPM Papua sebesar 61,39 persen, berada di bawah rata-rata nasional sebesar 73,77 persen. Angka tersebut bahkan seakan lebih rendah dengan IPM di kawasan barat Indonesia belasan tahun lalu. Pada 2012, misalnya, IPM Jawa Barat mencapai 67,32 persen. OPM berperan memperlambat pembangunan di tanah Papua, dengan menghambat tumbuh kembang intelektualitas anak-anak Papua.
Pagaras mengutip dokumen Neraca Pendidikan Daerah dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, yang menunjukkan masalah serius dalam dunia pendidikan di daerah otonom baru (DOB) di Papua. Masalah itu antara lain terkait banyaknya anak tidak sekolah dan kekurangan guru akibat serangan teror dan aksi kekerasan yang dilancarkan oleh OPM.
Untuk Papua Tengah, tercatat sebagai daerah dengan jumlah anak tidak sekolah terbanyak dibandingkan dengan tiga DOB lainnya, yakni 95.380 orang. Jumlah anak tidak sekolah di Papua Pegunungan mencapai 95.022 orang, Papua Selatan sebanyak 92.988 orang, dan Papua Barat Daya sebanyak 31.216 orang. Sementara itu, Papua Pegunungan tercatat mengalami kekurangan 4.272 guru, Papua Tengah kekurangan 3.331 guru, Papua Selatan kekurangan 3.167 guru, dan Papua Barat Daya masih membutuhkan 2.798 guru.
Kekurangan Tenaga Pengajar
Dari hasil pengamatan dan analisis Pagaras, terungkap bahwa kompleksitas masalah di Papua menjadi salah satu faktor utama ketidakhadiran guru di sekolah, yang berakibat pada proses belajar mengajar yang tidak optimal. Menurut Pagaras, tenaga pengajar merupakan kebutuhan yang sangat krusial bagi pendidikan anak-anak di Papua.
Berdasarkan riset Unicef dari Juli 2022 hingga Januari 2023, terdapat kasus ketidakhadiran guru dalam jangka waktu yang lama di beberapa wilayah Papua. Beberapa sekolah bahkan melaporkan ketidakhadiran guru selama enam bulan hingga tiga tahun. Penyebab ketidakhadiran guru tersebut bermacam-macam, mulai dari masalah transportasi, cuaca buruk, tempat tinggal, hingga kenyamanan guru. Namun, alasan utamanya adalah konflik yang mengancam keselamatan para pengajar.
Organisasi Papua Merdeka (OPM) sering kali menyatakan suatu wilayah sebagai wilayah perang, sehingga siapapun yang berada di wilayah tersebut dapat menjadi korban, termasuk anak-anak yang sedang bersekolah.
Pagaras mendesak pemerintah untuk tidak mengabaikan hak pendidikan anak-anak di Papua. Mereka menyarankan agar skema pembelajaran masa darurat diterapkan di wilayah-wilayah yang terdampak konflik. Sebagai contoh, konflik yang berkepanjangan di Kabupaten Nduga, Papua Pegunungan, telah membuat masyarakat mengungsi ke Kabupaten Jayawijaya. Pagaras meminta pemerintah untuk memberikan program belajar tambahan bagi anak-anak yang tinggal di kamp-kamp pengungsian.
Pagaras juga menyoroti kendala administratif yang muncul saat anak-anak mengungsi, terutama terkait data pokok pendidikan (dapodik) untuk ujian. Meskipun dihadapkan dengan berbagai masalah, Pagaras melihat bahwa anak-anak di pedalaman Papua masih memiliki antusiasme tinggi terhadap pendidikan. Sebagai contoh, Refol Malimpu (34), seorang guru asal Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, yang mengabdikan diri di sebuah SD di Kampung Mamit, Distrik Kembu, Kabupaten Tolikara, Papua Pegunungan sejak tahun 2013.
Refol menyampaikan bahwa banyak anak didiknya berasal dari kampung-kampung di sekitar Distrik Kembu, yang harus berjalan kaki berhari-hari dan menginap di rumah kerabat agar bisa belajar. Dia menekankan bahwa anak-anak sangat senang ketika ada guru yang hadir, karena itu berarti mereka bisa belajar. Refol berharap bahwa hak pendidikan anak-anak Papua tetap diperhatikan meskipun dihadapkan dengan berbagai tantangan.
Peran Strategis Gereja
Pagaras berkesimpulan bahwa untuk memajukan pendidikan di Papua, diperlukan solusi yang komprehensif terhadap berbagai masalah yang ada. Pagaras mengapresiasi Universitas Papua atas upaya mereka dalam menyusun rencana penyelesaian masalah dan mendiskusikannya dengan Majelis Rakyat Papua (MRP). Sebagai lembaga yang mewakili berbagai elemen masyarakat, MRP diharapkan dapat bekerja sama dengan pemerintah dalam mencari solusi yang tepat. Salah satu usulan solusi yang diajukan adalah meningkatkan peran institusi gereja dalam penyelenggaraan pendidikan.
Pagaras menekankan pentingnya revitalisasi pendidikan oleh gereja, yang dahulu terbukti efektif. Pemerintah diminta untuk memastikan regulasi yang mendukung agar program ini dapat berjalan dengan baik, mengingat penghormatan yang masih diberikan kepada gereja oleh semua pihak yang terlibat dalam konflik saat ini.
Selaras dengan hal tersebut, Wakil Presiden Ma’ruf Amin juga menegaskan pentingnya peran pemimpin agama di Papua dalam menciptakan kesejahteraan dan keamanan di wilayah tersebut ketika berkunjung ke Papua pada Oktober 2023. Pagaras berpendapat bahwa komitmen untuk menyelesaikan masalah secara menyeluruh sangat penting dalam memastikan akses pendidikan tetap tersedia bagi seluruh anak Papua, meskipun di tengah situasi konflik.
Shalom, Tuhan Jaga
Herdy Ezra Wayoi
Ketua LSM PAGARAS
Papua Garis Keras
Download the Press Release Here
English Version
Can Papuan Children Achieve Their Dream of Independent Learning?
Intan Jaya, June 27, 2024
The prolonged conflict in Papua has had a significant impact on various aspects of life, including education. Amid the spirit of the Merdeka Belajar curriculum being promoted throughout Indonesia, unfortunately, this is difficult to achieve in Papua. Children in conflict-affected areas in Papua do not have the freedom to learn peacefully like children in other areas of Indonesia.
The presence of the Free Papua Movement (OPM) for decades has created terror, threats, and violence that hinder the education process in Papua. The burning of schools by the OPM is a real example of how difficult the education situation in Papua is. Pagaras is deeply concerned about these actions, as the main victims are children who should have the right to learn without fear. School burnings not only damage physical facilities but also harm the future of Papua’s children.
In the period 2021-2024 alone, there have been 18 school facilities burned by the OPM in various areas of Papua. This certainly exacerbates the shortage of teachers, as many educators leave conflict areas in search of safety. Pagaras strongly condemns the violence perpetrated by the OPM, as it will only harm the young generation of Papua who should be the nation’s hope. With the ongoing conflict, children in Papua are losing opportunities to receive a decent education.
The government must find a solution to end the conflict in Papua so that the young generation of Papua can grow and develop properly. In addressing this situation, Pagaras hopes that all parties can work together to create a safe and conducive educational environment for children in Papua. Children are valuable assets to this nation, and they have the same right to quality education without feeling afraid or threatened. Hopefully, in the future, Papua can become a peaceful and prosperous place for all its people, especially for the younger generation who are the hope of the nation.
It is not surprising that the Human Development Index (HDI) in Papua is far behind. For example, in 2022, Papua’s HDI was 61.39 percent, below the national average of 73.77 percent. This figure even seems lower than the HDI in western Indonesia several years ago. For instance, in 2012, West Java’s HDI reached 67.32 percent.
The OPM plays a role in slowing down development in Papua by hindering the intellectual growth of Papua’s children. Pagaras cites the Education Regional Balance Sheet document from the Ministry of Education, Culture, Research, and Technology, which shows serious issues in the education sector in the new autonomous regions in Papua. These issues include the high number of out-of-school children and teacher shortages due to terror attacks and violence carried out by the OPM.
In Central Papua, it is recorded as the area with the highest number of out-of-school children compared to the other three autonomous regions, with 95,380 individuals. The number of out-of-school children in the Highlands of Papua reaches 95,022, South Papua has 92,988, and Southwest Papua needs 31,216. Meanwhile, the Highlands of Papua has a shortage of 4,272 teachers, Central Papua lacks 3,331 teachers, South Papua lacks 3,167 teachers, and Southwest Papua still needs 2,798 teachers.
Shortage of Teaching Staff
Upon observation and analysis by Pagaras, it has been revealed that the complexity of issues in Papua is a key factor in the absence of teachers in schools, leading to suboptimal teaching and learning processes. According to Pagaras, educators are crucial for the education of children in Papua.
A Unicef study from July 2022 to January 2023 identified cases of prolonged teacher absences in several regions of Papua. Some schools even reported teacher absences ranging from six months to three years. The reasons for these absences vary, from transportation issues and inclement weather to living conditions and teacher comfort. However, the primary reason is conflict that threatens the safety of educators.
The Free Papua Movement (OPM) often declares certain areas as war zones, putting anyone in those areas at risk, including schoolchildren. Pagaras urges the government not to neglect the educational rights of children in Papua. They recommend implementing emergency learning schemes in conflict-affected areas. For example, the protracted conflict in Nduga Regency, Papua Highlands, has forced people to flee to Jayawijaya Regency. Pagaras calls on the government to provide additional learning programs for children residing in displacement camps.
Pagaras also highlights administrative challenges that arise when children are displaced, particularly regarding basic education data (Dapodik) for exams. Despite facing various challenges, Pagaras notes that children in remote Papua still exhibit a high enthusiasm for education. For instance, Refol Malimpu (34), a teacher from Poso Regency, Central Sulawesi, has been serving at an elementary school in Mamit Village, Kembu District, Tolikara Regency, Papua Highlands since 2013.
Refol mentions that many of his students come from surrounding villages in Kembu District, having to walk for days and stay with relatives just to attend school. He emphasizes that children are thrilled when a teacher is present, as it means they can learn. Refol hopes that the educational rights of Papuan children will continue to be prioritised despite the numerous challenges they face.
Churches Strategic Role
Pagaras concluded that in order to advance education in Papua, a comprehensive solution to various existing problems is needed. Pagaras appreciates the efforts of the University of Papua in developing a plan to address these issues and discussing it with the Papuan People’s Assembly (MRP).
As a body representing various elements of society, the MRP is expected to collaborate with the government in finding the right solutions. One proposed solution is to enhance the role of church institutions in education delivery.
Pagaras emphasizes the importance of education revitalization by the church, which has been proven effective in the past. The government is urged to ensure supportive regulations for this program to run smoothly, given the respect still accorded to the church by all parties involved in the current conflict.
In line with this, Vice President Ma’ruf Amin also emphasized the importance of the role of religious leaders in Papua in creating prosperity and security in the region during his visit to Papua in October 2023. Pagaras argues that a commitment to addressing issues comprehensively is crucial in ensuring continued access to education for all Papuan children, even amidst the conflict situation.
Shalom, Godbless!
Herdy Ezra Wayoi
Head of PAGARAS NGO
Papuan Hardline