Jayapura, 16 Juli 2024,
Papua memerlukan model pembangunan yang unik dan tidak boleh hanya meniru pola pembangunan di wilayah lain. Kekayaan hayati dan budaya Papua harus dilestarikan dan menjadi fondasi utama pembangunan. Pagaras menekankan bahwa pendekatan pembangunan di Papua harus kontekstual, sebuah pemahaman yang belum sepenuhnya diimplementasikan oleh para pembuat kebijakan.
Pagaras menyoroti pentingnya mengakui dan menghargai peran tokoh adat laki-laki dan perempuan dari setiap suku dalam bidang pendidikan dan pengajaran. Mereka adalah penjaga kearifan lokal dan ahli dalam pengetahuan dan teknologi tradisional. Dalam sistem pendidikan kontekstual, baik di sanggar maupun di sekolah formal, elemen-elemen budaya seperti nyanyian, mantra, cerita, ukiran, dan gerak badan harus diintegrasikan.
Transfer pengetahuan, teknologi tradisional, dan kearifan lokal kepada generasi muda harus dilakukan dengan menggunakan bahasa mereka sendiri. Kearifan lokal dan identitas budaya menjadi inti bagi pengembangan diri generasi muda Papua agar dapat berpartisipasi aktif dalam masyarakat dan membangun daerahnya.
Pagaras mengamati bahwa interaksi dalam ruang-ruang budaya seperti ini dapat meningkatkan kreativitas, kemampuan pemecahan masalah, dan berpikir kritis. Namun, keterbatasan data budaya Papua, bahkan beberapa yang ditulis dalam bahasa Belanda, menyulitkan pemahaman tentang tradisi masa lampau. Jurnal-jurnal akademis yang dihasilkan oleh akademisi Papua juga masih relatif sedikit.
Oleh karena itu, tokoh adat, pelaku budaya, dan seniman tradisi menjadi sumber daya krusial yang perlu dijaga dan ditingkatkan jumlahnya. Pagaras juga menekankan peran sekolah adat, sekolah alam, sanggar komunitas lingkungan, dan seni dalam mengajarkan kembali sistem pembagian kerja pertanian, mulai dari penanaman, pemeliharaan, pemanenan, hingga perburuan. Hal ini penting untuk melestarikan pangan lokal dan mengurangi ketergantungan pada impor.
Papua perlu membangun sumber daya manusia lokal yang mampu menjaga keseimbangan antara pembangunan dan kehidupan berdampingan dengan alam, demi kesejahteraan dan peradaban generasi mendatang sesuai dengan nilai-nilai budaya Papua yang sudah mapan.
Pembangunan Karakter Melalui Pembelajaran Partisipatif
Pembangunan karakter memegang peranan vital dalam proses pendidikan, dan praktiknya telah tertanam kuat dalam tradisi leluhur melalui berbagai media seperti cerita rakyat, pantun, dan nasihat lisan. Pagaras menekankan pentingnya penyesuaian kurikulum, metode pengajaran, dan bahasa komunikasi di sekolah, mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi, dengan memperhatikan konteks daerah masing-masing. Hal ini menuntut adanya keragaman model, metode, dan kurikulum yang mampu mengakomodasi setiap suku dan budaya yang ada.
Pagaras berpendapat bahwa inti dari metode pembelajaran ini adalah partisipasi aktif, di mana setiap individu memiliki peran dan kesempatan untuk berkontribusi sebagai narasumber. Sebagai contoh, metode ini dapat memanfaatkan bahasa Papua Melayu sebagai bahasa komunikasi utama, dipadukan dengan elemen musik, teater/drama, seni menggambar, mengukir, merajut, dan aktivitas lainnya yang mencerminkan kebiasaan sehari-hari masyarakat Papua.
Pagaras sendiri telah menyaksikan langsung penerapan metode ini dalam pelatihan, di mana penggunaan bahasa ibu sebagai media komunikasi mempermudah pemahaman, bahkan pada tahap dasar seperti pengenalan huruf. Sebagai ilustrasi, komunitas Orpa (Organisasi Perempuan Adat) suku Namblong di Genyem, Jayapura, telah mendirikan Sekolah Bahasa Namblong. Pada tahun 2015, Orpa juga terlibat dalam tim penerjemahan Namblong Nmbuo dan menghasilkan Kamus Bergambar Namblong-Indonesia-English, yang merupakan adaptasi dari karya Summer Institute of Linguistics (SIL) International Sentani.
Mempersiapkan Muda Mudi Papua
Pagaras menegaskan bahwa pendidikan di Papua harus fokus pada pengembangan potensi pemuda agar mampu bersaing di dunia kerja, bahkan menciptakan lapangan pekerjaan sendiri. Ia menekankan pentingnya melampaui ekspektasi menjadi pegawai negeri atau penonton pasif dalam industri ekstraksi sumber daya alam, seperti tambang, kehutanan, atau perkebunan sawit.
Setiap masyarakat adat di Papua memiliki tradisi mendidik anak-anak yang menanamkan keterampilan dasar (life skills) untuk kelangsungan hidup. Pagaras mencontohkan kebudayaan Sentani, yang memiliki rumah adat khombobulu. Rumah ini berfungsi sebagai tempat inisiasi, menanamkan keterampilan dasar pada remaja, seperti berburu, mencari ikan, dan menokok sagu. Di balik setiap kegiatan, tersimpan filosofi, nilai, dan nasihat yang mendalam, membentuk karakter dan pengetahuan anak. Setelah dianggap siap, mereka menikah dan membangun keluarga berdasarkan nilai-nilai yang telah diinternalisasikan di khombobulu.
Rumah inisiasi serupa dengan sebutan berbeda ada di setiap suku di Papua. Namun, sejak kehadiran sekolah-sekolah oleh gereja dan pemerintah, banyak rumah inisiasi ini yang terbengkalai. Pagaras menyoroti peran penting khombobulu dan rumah inisiasi lainnya sebagai fondasi bagi generasi muda Papua untuk mengembangkan keterampilan dasar, sehingga mampu maju dan berkembang di era globalisasi.
Mendorong Papua Berperan Global
Dalam jenjang pendidikan menengah dan tinggi, penguasaan bahasa Inggris sebagai bahasa internasional menjadi krusial. Generasi muda Papua perlu menyadari kemampuan dan peran bahasa Inggris dalam perkembangan zaman. Melalui self-realization dan self-worth, mereka dapat mengeksplorasi potensi dan berkontribusi bagi Indonesia bahkan dunia.
Pagaras menekankan pentingnya konsumsi produk lokal, baik untuk kebutuhan pangan maupun prasarana perkantoran, sekolah, dan fasilitas umum. Penggunaan barang lokal tidak hanya mendukung ekonomi lokal, tetapi juga mengurangi dampak pemanasan global. Transportasi barang-barang luar negeri menggunakan kapal, pesawat, dan truk menghasilkan emisi karbon dioksida yang berkontribusi pada perubahan iklim.
Pagaras menolak standar negara maju sebagai acuan penilaian kualitas pembangunan. Pembangunan yang kontekstual, berlandaskan kebutuhan dan aspirasi Papua, menjadi kunci keberhasilan. Mengadopsi standar luar dapat berakibat fatal dan mengabaikan potensi unik Papua. Fokus utama haruslah pada upaya generasi Papua dalam menciptakan kesejahteraan bagi diri sendiri.
Masalah yang dihadapi Papua saat ini adalah kerancuan dan mudah terprovokasi oleh rayuan, iklan, dan godaan sistemik yang menguntungkan elite. Penting untuk kembali pada nilai-nilai adat yang relevan sebagai dasar membangun Papua. Dengan demikian, basis ekonomi komunal dapat terbangun kembali, sejalan dengan budaya OAP yang hidup berkelompok dan berkembang bersama.
Shalom, Tuhan Jaga
Herdy Ezra Wayoi
Ketua LSM PAGARAS
Papua Garis Keras
Download Press Release Here
English Version
Papua’s Development Plan Should Integrate Contextual Education
Jayapura, July 6, 2024
Papua requires a unique development model that shouldn’t simply emulate patterns from other regions. The preservation of Papua’s biodiversity and culture should be paramount, serving as the foundation for its development. Pagaras emphasizes that the development approach in Papua must be contextualized, a concept that hasn’t been fully implemented by policymakers.
Pagaras highlights the significance of recognizing and valuing the roles of traditional male and female leaders from each tribe in education and teaching. They are the guardians of local wisdom and experts in traditional knowledge and technology. In a contextualized education system, both in traditional learning spaces and formal schools, cultural elements like songs, chants, stories, carvings, and body movements should be integrated.
The transfer of traditional knowledge, technology, and local wisdom to the younger generation must be conducted using their native languages. Local wisdom and cultural identity are crucial for the development of Papua’s youth, enabling them to actively participate in society and contribute to their region’s growth.
Pagaras observes that interaction within cultural spaces can foster creativity, problem-solving skills, and critical thinking. However, the limited availability of cultural data, including some written in Dutch, hinders our understanding of past traditions. Academic journals produced by Papuan academics are also relatively scarce.
Therefore, traditional leaders, cultural practitioners, and traditional artists are vital resources that need to be preserved and their numbers increased. Pagaras also underscores the role of traditional schools, nature schools, community environmental workshops, and arts programs in reviving the traditional agricultural work division, encompassing planting, maintenance, harvesting, and hunting. This is essential for preserving local food sources and reducing reliance on imports.
Papua needs to cultivate a local human resource base capable of maintaining a balance between development and harmonious coexistence with nature, ensuring the well-being and civilization of future generations in accordance with established Papuan cultural values.
Character Development Through Participatory Learning
Character building plays a crucial role in the educational process, deeply rooted in ancestral traditions through mediums like folklore, proverbs, and oral teachings. Pagaras emphasizes the significance of tailoring curricula, teaching methods, and communication styles in schools, from elementary to higher education, considering the unique context of each region. This necessitates a diversity of models, methods, and curricula capable of accommodating the various ethnicities and cultures present.
Pagaras posits that active participation is central to this pedagogical approach, empowering each individual to contribute as a knowledge source. For instance, this method can leverage Papuan Malay as the primary language of instruction, integrated with elements of music, theater/drama, drawing, carving, weaving, and other activities that reflect the daily practices of Papuan communities.
Pagaras has personally witnessed the effectiveness of this approach in training programs, where the use of the mother tongue as a communication tool facilitates comprehension, even in fundamental stages like letter recognition. As an illustration, the Orpa (Indigenous Women’s Organization) of the Namblong tribe in Genyem, Jayapura, established the Sekolah Bahasa Namblong (Namblong Language School). In 2015, Orpa also participated in the Namblong Nmbuo translation team, resulting in the creation of the Namblong-Indonesia-English Picture Dictionary, an adaptation of the Summer Institute of Linguistics (SIL) International Sentani’s work.
Preparing Papua’s Youth
Pagaras emphasizes the need for education in Papua to prioritize the development of youth potential, empowering them to compete in the global workforce and even create their own employment opportunities. He stresses the importance of transcending the expectation of becoming government employees or passive observers in the extractive industries, such as mining, forestry, or palm oil plantations.
Every indigenous community in Papua possesses unique traditions of educating children, instilling essential life skills for survival. Pagaras cites the Sentani culture, which features the traditional house “khombobulu.” This structure serves as a place of initiation, where adolescents acquire fundamental skills like hunting, fishing, and sago processing. Each activity is imbued with profound philosophy, values, and wisdom, shaping the character and knowledge of the young. Upon deemed ready, they enter into marriage and establish families based on the values internalized within the khombobulu.
Similar initiation houses exist across various Papuan tribes, each with distinct names. However, with the establishment of schools by churches and the government, many of these initiation houses have fallen into disuse. Pagaras highlights the crucial role of khombobulu and other initiation houses as a foundation for Papua’s youth to develop essential skills, enabling them to thrive in the era of globalization.
Pushing Papua Youth Contributed Globally
Mastery of English, a global language, is crucial in secondary and higher education. Papua’s youth must recognize the capabilities and significance of English in today’s evolving world. Through self-discovery and self-worth, they can explore their potential and contribute to Indonesia and even the global community.
Pagaras emphasizes the importance of consuming local products, encompassing both food and office supplies, school materials, and public facilities. Utilizing local goods not only supports the local economy but also mitigates the impact of global warming. Transporting foreign goods via ships, airplanes, and trucks generates carbon dioxide emissions, contributing to climate change.
Pagaras rejects the standards of developed nations as benchmarks for measuring development quality. Contextual development, rooted in Papua’s needs and aspirations, is the key to success. Adopting external standards can be detrimental and disregard Papua’s unique potential. The primary focus should be on Papua’s generation’s efforts to create well-being for themselves.
Papua currently faces the challenge of confusion and susceptibility to allurements, advertisements, and systemic temptations that benefit the elite. It is crucial to revert to relevant traditional values as a foundation for building Papua. This will allow for the revival of communal economic bases, aligning with the OAP’s culture of communal living and collective progress.
Shalom, Godbless!
Herdy Ezra Wayoi
Head of PAGARAS NGO
Papuan Hardline