Memandang Etnis Melanesia di Indonesia Dengan Sudut Pandang Pasifik

Jayapura, 18 Juli 2024,
PAGARAS melihat penegasan kebijakan luar negeri Indonesia di wilayah Pasifik Selatan telah bertransformasi pada hal yang bersifat fundamental, khususnya dengan meningkatnya perhatian ke arah etnis Melanesia dalam kancah diplomasi negara kita. Pasifik Selatan, dengan posisinya yang strategis dan relevansi global geopolitik serta ekonomi, telah menjadi sorotan bagi Indonesia, yang kini mengambil pendekatan yang lebih fokus terhadap wilayah ini, terutama dalam interaksinya dengan negara-negara Melanesia.

Pertimbangan etnis Melanesia menjadi faktor krusial dalam merumuskan kebijakan luar negeri Indonesia untuk wilayah ini. Kebijakan yang diadopsi oleh Indonesia di Pasifik Selatan menunjukkan usaha yang gigih untuk menguatkan kerjasama politik, ekonomi, dan sosial dengan negara-negara Melanesia.

PAGARAS juga melihat ketegasan komitmen Indonesia dalam mendukung pembangunan yang berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat Melanesia. Bukti nyata dari hal ini dapat ditemui dalam berbagai inisiatif dan proyek kerja sama bilateral dan regional yang telah digerakkan oleh Indonesia di wilayah ini. Pemerintah terus menerus mengawasi dan berusaha memacu wilayah-wilayah tersebut agar terus berkembang dan maju, beriringan dengan perkembangan negara-negara tetangga regional lainnya.

Persebaran Etnis Melanesia
Menurut referensi dari laman Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbud Ristek) yang dapat ditemui di kebudayaan.kemdikbud.go.id, Arkeolog berpengalaman, Profesor Harry Truman Simanjuntak dari Pusat Penelitian Arkeologi, memberikan gambaran tentang sejarah dan kenyataan mengenai ras Melanesia.

Profesor Simanjuntak mengungkap bahwa sekitar 80% populasi ras Melanesia global berdiam di wilayah Indonesia. Buku berjudul “Diaspora Melanesia di Nusantara” menjelaskan bahwa ras Melanesia dibagi ke dalam tiga wilayah utama, yakni pusat Melanesia yang berkembang di Nusantara, Melanesia Barat, serta wilayah Australia.

Melanesia Barat meluas di Papua dan Papua Nugini. Berbagai bukti dan sisa-sisa arkeologi menunjukkan bahwa interaksi antar mereka telah berlangsung sejak epoch ribuan tahun yang lalu. Selama era kemerdekaan, kedua ras di Indonesia berintegrasi, menghasilkan konvergensi biologis dan kultural. Kehadiran ras Melanesia di Indonesia dapat dilacak dari penemuan-penemuan yang menunjukkan kemesraan kultural. Contoh konstelasi budaya khas Indonesia, seperti ritual nginang.

Indonesia menjadi rumah bagi 13 juta penduduk ras Melanesia, tersebar di Papua, Kepulauan Maluku, dan Nusa Tenggara. Sementara itu, jumlah Melanesia di luar negeri yaitu 9 juta orang, terdapat di Papua Nugini, Timor Leste, Vanuatu, New Kaledonia, Kepulauan Solomon, dan Fiji. PAGARAS mengalami kesulitan menerima logika jika terdapat individu, kelompok, institusi, atau bahkan negara yang berani mendeklarasikan diri menjadi pemimpin Melanesia di Kawasan (pasifik).

Kualitas SDM Melanesia di Indonesia
PAGARAS sering mempertanyakan tentang perkembangan Papua yang tampaknya bergerak lambat ketimbang wilayah lain di Nusantara. PAGARAS membaca data Indeks Pembangunan Manusia (IPM), sebuah indikator kunci yang ditampilkan oleh BPS, menunjukkan posisi Papua yang sama sekali tidak menggembirakan.

Tahun 2021, rata-rata IPM Indonesia mencapai 72,29, tetapi Papua berada di bawah rata-rata ini – IPM Papua Barat 65,26 dan IPM Papua 60,62. IPM di kedua wilayah ini lebih rendah dibandingkan wilayah Kepulauan Nusa Tenggara yang IPM-nya juga lebih rendah daripada rata-rata nasional, meski demikian, yaitu NTB 68,65 dan NTT 65,28.

Namun di tahun 2023, IPM Indonesia mencapai 74,39, menunjukkan peningkatan 0,84 persen dari tahun 2022. IPM Provinsi Papua 2023 dinyatakan mencapai 63,01, naik sebesar 0,85 poin (1,37 persen) dari tahun sebelumnya (62,16). Rata-rata, dari tahun 2020 sampai 2023, IPM Provinsi Papua mengalami peningkatan sebesar 0,97 persen setahun.

PAGARAS agak miris melihat kenyataan ini. IPM adalah ukuran penting yang mencerminkan sejauh mana suatu wilayah berhasil dalam pembangunan kualitas kehidupan rakyatnya. HPD menggambarkan sejauh mana penduduk dapat menikmati hasil pembangunan melalui pengaksesan pendidikan, kesehatan, pendapatan, dan lebih banyak hal lagi yang dapat meningkatkan kualitas hidup mereka.

PAGARAS menilai kondisi diatas merupakan dilema yang membebani masyarakat Papua. Mereka berkeinginan untuk berprogres, akan tetapi keterampilan dan kapabilitas mereka kurang memadai sesuai standar pemberi kerja. Selain itu, peluang pekerjaan juga terbatas. Walaupun ada, imbalan yang diberikan tidak terlalu menjanjikan. Hasilnya, sejumlah warga di wilayah ini berisiko besar untuk masuk dalam kelompok penduduk miskin.

Perspektif Melanesia di Pasifik Melihat Papua
Berbicara tentang Papua, pandangan kita mungkin akan berubah jika kita merubah sudut pandang kita; terutama bila dilihat dari arah timur, dari wilayah Pasifik. PAGARAS mencermati bahwa ada pemandangan yang lebih menggembirakan saat kita mulai memandang dari sisi ini. Di sini, terdapat sekitar 20.000 sampai 30.000 pulau yang berkelompok dalam tiga segmen kepulauan, yakni Melanesia, Mikronesia, dan Polinesia, yang berada di wilayah timur Papua.

Dari pengamatan PAGARAS , setidaknya ada tiga segmen kepulauan yang dikelola oleh sejumlah negara yang merupakan bagian dari Forum Kepulauan Pasifik, yang saat ini terdiri dari minimal 18 negara dengan latar belakang sosial ekonomi yang beragam. Diantara mereka ada negara maju seperti Australia, Selandia Baru, Kaledonia Baru, Polinesia Perancis, dan Palau. Semua negara ini memiliki pendapatan per kapita kira-kira lebih dari 14.000 dolar AS setahun.

Negara-negara lain seperti Samoa, Tuvalu, Kepulauan Marshall, dan Fiji memiliki pendapatan yang masuk dalam kategori berpendapatan menengah keatas, sedangkan Vanuatu, Kepulauan Solomon, Federasi Mikronesia, Papua Niugini (PNG), dan Kiribati berada dalam kelompok berpendapatan menengah kebawah.

Namun PAGARAS juga mengajak untuk melihat fakta lain. Dalam konteks ini, kondisi beberapa negara di Kepulauan Pasifik tidak tampak lebih cemerlang dibandingkan dengan wilayah Papua. PDB per kapita di Papua Barat diperkirakan mencapai 5.800 dolar AS setahun dan berada di kategori pendapatan menengah atas. Sementara PDB per kapita di Papua sendiri diperkirakan sekitar 3.300 dolar AS, yang berada dalam kategori menengah bawah.

Dalam hal pendidikan, Papua tetap berada dalam persaingan yang ketat. Sama seperti Vanuatu, Mikronesia, dan Kiribati, rata-rata lama sekolah di Papua adalah sekitar 6-7 tahun, yang menunjukkan bahwa Papua tidak jauh tertinggal. Kepulauan Solomon dan PNG, berada di posisi yang lebih rendah dengan rata-rata lama sekolah sekitar 4-5 tahun. Papua, dengan segala keterbatasannya, masih mampu mengalahkan dua negara tersebut. Bahkan, Papua jauh unggul dibandingkan dengan negara tetangganya, PNG.

Ini juga tercermin dalam Human Development Index (HDI) atau IPM. Data dari BPS menunjukkan bahwa IPM di wilayah Papua adalah 60-65, mirip dengan Vanuatu, Mikronesia, dan Kiribati yang IPM-nya berkisar sekitar 61-63. IPM wilayah Papua lebih baik dibandingkan dengan Kepulauan Solomon dan PNG, yang rata-rata di bawah 60. Hal ini mengindikasikan bahwa akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan lainnya yang digunakan untuk meningkatkan kualitas hidup di Papua lebih baik daripada di dua negara tersebut.

Meski dalam kondisi yang cukup kompleks, Papua mampu bersaing dan bahkan unggul dibandingkan dengan negara-negara di sekitarnya. Ini membuktikan bahwa Papua mendapat perhatian maksimal dari pemerintah dalam upaya peningkatan ketahanan dan kemajuan wilayah.

PAGARAS juga ingin mengedepankan revolusi pembangunan infrastruktur yang saat ini tengah terjadi di tanah Papua. Jalur darat yang menghubungkan Sorong di paling barat, Jayapura di paling utara, dan Merauke di paling selatan lewat Pegunungan Tengah, Papua tengah dalam proses pembangunan.

Dengan perkembangan ini, masyarakat kini akan memiliki akses yang lebih baik dalam memenuhi kebutuhan mereka. Perbatasan dan daerah pedalaman yang sulit dijangkau akan terhubung dengan pusat-pusat ekonomi, yang akan berpotensi meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Distribusi barang dan jasa akan berkembang, yang mungkin memunculkan aktivitas ekonomi baru dalam daerah-daerah pedalaman yang sebelumnya terisolasi. Dengan demikian, tidak diragukan lagi bahwa beberapa tahun mendatang, Papua akan memiliki pertumbuhan yang lebih baik dan menjadi daerah yang lebih maju dibandingkan dengan negara-negara lain di Kepulauan Pasifik.

Shalom, Tuhan Jaga

Herdy Ezra Wayoi
Ketua LSM PAGARAS
Papua Garis Keras

Download the Press Release Here

English Version

Reframing the Perspective of Melanesian Ethnicity in Indonesia
From the Pacific Point of View
Jayapura, July 18, 2024

PAGARAS has observed a pivotal transformation in Indonesia’s foreign policy in the South Pacific region, directing a pronounced focus towards Melanesian ethnicity within the realm of our national diplomacy. The South Pacific, owing to its strategic position and global geopolitical and economic significance, has surfaced as a key zone for Indonesia. This has led to a more concentrated approach towards this region, particularly in its interactions with Melanesian nations.

The consideration of Melanesian ethnicity plays a pivotal role in shaping Indonesia’s foreign policies for this area. The adopted strategies in the South Pacific by Indonesia reveal a persistent endeavor to reinforce political, economic, and social collaboration with Melanesian countries.

Pagaas also noted the firm commitment of Indonesia to aid sustainable development and the welfare of Melanesian communities. This is manifest through the numerous initiatives and cooperative projects Indonesia has driven in the South Pacific region bilaterally and regionally. The administration continues to diligently monitor these regions, aiming to incite their constant growth and progress, mirroring the advancement of other regional neighboring states.

The Spread of Melanesian People
Derived from the reliable webpage of the Ministry of Education, Culture, Research, and Technology (Kemdikbud Ristek) at kebudayaan.kemdikbud.go.id, the skilled archaeologist, Professor Harry Truman Simanjuntak, from the Archaeological Research Center, delineates the historical and factual narrative of the Melanesian ethnicity.

Simanjuntak discloses that a hefty 80% of the world’s Melanesian race population is domiciled in Indonesia. The enlightening book titled “The Archipelago’s Melanesian Diaspora” elaborates that the Melanesian race is segmented into three primary regions: the Melanesian core progressing in the Indonesian Archipelago, the western part of Melanesia, and Australia.

The westward Melanesia spans Papua and Papua New Guinea. Numerous archaeological proofs and vestiges suggest interactions among these regions have been in existence since eras thousands of years old. During the independence epoch, the confluence of these two races in Indonesia resulted in a fusion of their biological and cultural traits. The existence of the Melanesian ethnicity in Indonesia can be traced through discoveries pointing to cultural familiarity. An exquisite example of this is the unique Indonesian cultural constellation, the nginang ritual.

Indonesia harbors 13 million Melanesian race folk, dispersed across Papua, the Maluku Islands, and Nusa Tenggara. Conversely, 9 million Melanesians are found outside Indonesia, specifically in Papua New Guinea, East Timor, Vanuatu, New Caledonia, the Solomon Islands, and Fiji. It would defy logic for any individual, group, institute, or even a nation to assert their leadership over the Melanesians in the Pacific region.

Indonesia Melanesia Human Resources Quality
PAGARAS consistently ponders over the developmental pace of Papua, which appears to lag significantly behind other regions in the Indonesian archipelago. In an attempt to understand, he sifts through data on the Human Development Index (HDI), a primary metric unveiled by the Bureau of Statistics (BPS), unveiling a less than cheerful scenario for Papua.

In 2021, Indonesia’s mean HDI stood at 72.29. However, Papua’s figures fell significantly below this average, with West Papua at 65.26 and Papua at a mere 60.62. These numbers are lower than the East Nusa Tenggara’s figures, which, despite being below the national average, stood at an HDI of 68.65 for NTB and 65.28 for NTT.

Fast forward to 2023, Indonesia’s HDI reached 74.39, representing a 0.84% rise from the previous year. The HDI of Papua Province was reported at 63.01, a 0.85 points (1.37 percent) increase from the previous year (62.16). On average, from 2020 to 2023, the HDI of Papua saw an annual increase of 0.97 percent.

This reality is distressing for PAGARAS . HDI is a crucial tool that mirrors how successful a region has been in improving the quality of life for its people. This index demonstrates how well the populace can enjoy the fruits of development through access to education, health, income, and numerous other factors that can enhance their quality of life.

PAGARAS perceives the above scenario as a dilemma burdening Papuan society. They wish to advance, but are inadequately skilled and capable to meet the standards set by potential employers. Furthermore, job opportunities are limited, and when they do exist, the compensation is less than promising. Consequently, a significant number of residents in this region risk falling into the impoverished population group.

A Melanesian Outlook on the Pacific View of Papua
Reflecting on Papua, our perspectives could dramatically shift if we adjusted our viewpoint; especially when observed from the eastern direction, the Pacific region. PAGARAS , a keen observer, points out that from this angle, a more optimistic landscape emerges. Here, in the eastern reaches of Papua, lie clusters of about 20,000 to 30,000 islands grouped into three archipelagos – Melanesia, Micronesia, and Polynesia.

PAGARAS suggests that these three archipelagos are administered by a number of countries who are members of the Pacific Islands Forum, currently comprising at least 18 countries with varying socio-economic backgrounds. Among these are developed nations like Australia, New Zealand, New Caledonia, French Polynesia, and Palau. All of these countries sport a per capita income of approximately more than $14,000 annually.

Other nations, like Samoa, Tuvalu, the Marshall Islands, and Fiji, fall into the upper-middle income category. Meanwhile, Vanuatu, Solomon Islands, Federated States of Micronesia, Papua New Guinea (PNG), and Kiribati fall in the lower-middle income group.

However, PAGARAS invites us to consider another truth. In this context, the conditions of several Pacific Island countries don’t necessarily shine brighter than the province of Papua. The estimated GDP per capita in West Papua is about $5,800 annually, classifying it as an upper-middle income region. Meanwhile, the GDP per capita in Papua itself is about $3,300, a lower-middle income region.

In terms of education, Papua still holds its ground in a fierce competition. Similar to Vanuatu, Micronesia, and Kiribati, the average years of schooling in Papua is approximately 6-7 years, signifying that Papua is not far behind. Solomon Islands and PNG lag behind with average schooling years of about 4-5 years. Even with its limitations, Papua still outperforms these two countries. In fact, Papua is miles ahead of its neighbor, PNG.

This is also reflected in the Human Development Index (HDI). Data from the BPS indicates that the HDI in the Papuan region is 60-65, similar to Vanuatu, Micronesia, and Kiribati whose HDI ranges from 61-63. The HDI of the Papuan region is higher than that of Solomon Islands and PNG, which are generally below 60. This indicates that access to education, healthcare, and other services that improve quality of life is better in Papua compared to these two countries.

Despite complex circumstances, Papua has the capacity to compete and even outperform its neighboring countries. This underscores that Papua is receiving maximum attention from the government in the pursuit of regional stability and progress.

PAGARAS also emphasizes the ongoing infrastructure revolution in Papua. A land route connecting Sorong in the extreme west, Jayapura in the north and Merauke in the south through the Central Mountains, is currently under construction.

With these developments, communities will now have improved access to meet their needs. Difficult to reach border areas and rural communities will be connected to economic centers, potentially boosting the community’s prosperity.

The distribution of goods and services will likely bloom, probably spawning new economic activities in previously isolated hinterlands. Without a doubt, a few years from now, Papua is poised to experience better growth and become a more advanced region compared to other countries in the Pacific Islands.

Shalom, Godbless!

Herdy Ezra Wayoi
Head of PAGARAS NGO
Papuan Hardline

Check Also

Himbauan PAGARAS Untuk Mengantisipasi Gangguan Keamanan Pada Pilkada 2024 di Tanah Papua

Jayawijaya, 28 Nopember 2024. PAGARAS mengamati berbagai analisis dari pengamat politik dan keamanan yang meramalkan …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *