Penguatan Wawasan dan Karakter Kebangsaan Bagi OAP Peserta Seleksi Penerimaan Anggota POLRI di Tanah Papua

Jayapura, 11 Agustus 2024,
Indonesia, sebagai negara yang kaya dengan keragaman suku dan ras, pernah mengalami konflik internal yang mengancam kesatuan bangsa. Namun, berkat semangat nasionalisme dan ketahanan dari seluruh elemen masyarakat, konflik tersebut berhasil diselesaikan melalui proses perundingan. Meskipun demikian, saat ini Indonesia masih menghadapi permasalahan konflik internal, khususnya di wilayah Papua.

Konflik yang dimaksud adalah munculnya gerakan yang ingin memisahkan Papua dan menjadikannya sebagai negara merdeka. Fenomena ini mengingatkan kita pada peristiwa pemisahan Timor Timur, yang resmi menjadi negara Timor Leste pada tanggal 20 Mei 2002. PAGARAS menyesali lepasnya Timor Timur dan menyakini bahwa peristiwa tersebut menjadi pelajaran berharga bagi bangsa Indonesia untuk mencegah terulangnya insiden serupa di wilayah lain.

Di Papua, konflik ini telah bertransformasi menjadi gerakan separatisme, yang berupaya untuk memperoleh kedaulatan dan memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bentuk perlawanan yang dilakukan mencakup aksi bersenjata, intimidasi, kekerasan, pembunuhan, pembakaran fasilitas umum, perampokan, hingga kampanye yang menyesatkan baik di dalam maupun luar negeri.

Pemerintah Indonesia menghadapi tantangan besar dalam menangani gerakan separatisme ini, terutama karena dukungan keuangan dan politik dari pihak asing. PAGARAS mencatat bagaimana dukungan asing ini, misalnya dari Negara Vanuatu yang pernah meminta diadakannya referendum di Papua, berimplikasi pada gerakan separatis yang ingin mendirikan negara baru.

Gerakan separatis di Papua tidak dapat disamakan hanya dengan satu istilah, yaitu Organisasi Papua Merdeka (OPM), meskipun ini yang paling dikenal. Ada berbagai kelompok di bawah nama yang berbeda, seperti Komite Nasional Papua Barat (KNPB) dan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP). Secara umum, kelompok-kelompok ini dikelompokkan menjadi Kelompok Separatis Papua (KSP), yang meskipun jumlah pendukungnya sedikit, tetap menjadi ancaman bagi stabilitas keamanan di Papua.

ULMWP, yang difasilitasi oleh Vanuatu, memiliki tugas utama untuk mengkampanyekan kemerdekaan Papua dan menjalin lobi politik untuk mendapatkan dukungan internasional, terutama dari negara-negara di kawasan Pasifik Selatan. Oleh karena itu, ULMWP memiliki perwakilan di sejumlah negara, termasuk Papua Nugini, Australia, Belanda, Inggris, dan Vanuatu yang menjadi markas mereka.

PAGARAS mengamati bahwa ULMWP memanfaatkan organisasi sub-regional di Pasifik, seperti Melanesian Spearhead Group (MSG), untuk menginternalisasi isu-isu yang berkaitan dengan Papua. Vanuatu, sebagai penggagas MSG, turut memberikan dukungan bagi gerakan ULMWP. Dalam konteks ini, beberapa negara di Pasifik terlihat berpihak pada upaya kemerdekaan Papua. Namun, PAGARAS merasa ada kejanggalan dalam pernyataan kelompok separatis yang berada di luar negeri, yang umumnya terdiri dari individu yang belum pernah berkunjung ke Papua, namun merasa layak memberikan pendapat tentang situasi yang terjadi di sana.

Keterlibatan OAP Dalam Mengeliminasi Permasalahan Separatis di Papua
PAGARAS mengamati langkah-langkah kebijakan yang diambil oleh Pemerintah Indonesia dalam upaya mengatasi masalah separatisme di Papua. Pemerintah terus berusaha mengecilkan permasalahan tersebut, baik melalui lobi di tingkat internasional maupun dengan pendekatan kepada semua pemangku kepentingan di kawasan tersebut. Salah satu langkah kebijakan yang diambil adalah memberikan otonomi khusus kepada Provinsi Irian Jaya, yang kemudian diubah namanya menjadi Papua. Dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2001, otonomi khusus (Otsus) di Papua didefinisikan sebagai kewenangan khusus yang diberikan kepada provinsi tersebut untuk mengatur dan mengelola kepentingan masyarakat setempat berdasarkan aspirasi dan hak-hak dasar masyarakat Papua.

PAGARAS memberikan apresiasi terhadap pelaksanaan kebijakan Otsus yang telah menunjukkan dampak positif dalam penanganan isu separatisme di Papua. Salah satu contoh yang menonjol adalah program afirmasi dalam pendidikan bagi masyarakat asli Papua (OAP), termasuk penerapan kuota dalam seleksi calon anggota kepolisian. Hal ini sejalan dengan ketentuan yang tercantum dalam UU Otsus Papua, khususnya Pasal 49 ayat (1), yang menyatakan bahwa proses seleksi untuk menjadi perwira, bintara, dan tamtama Polri di Provinsi Papua dilakukan oleh Kepolisian Daerah Papua dengan mempertimbangkan aspek hukum, budaya, adat istiadat, serta kebijakan Gubernur Papua.

Dalam konteks ini, PAGARAS mengingatkan bahwa implementasi kebijakan ini menjadi tantangan tersendiri bagi Polri, terutama dalam proses rekrutmen anggota. Hal ini berkaitan dengan adanya pemahaman eksklusif yang masih terpendam dalam masyarakat asli Papua. Dalam sosiologi, eksklusivitas merujuk pada sikap masyarakat yang merasa terancam oleh budaya lain yang dianggap dapat merusak nilai-nilai budaya mereka. Selain itu, ada pandangan yang menyatakan bahwa proses perekrutan anggota TNI/Polri hanya menjadi hak segelintir kelompok yang memiliki kedekatan dengan aparat sipil atau militer. Meski demikian, berbagai program afirmasi yang diterapkan pemerintah bertujuan untuk menjamin keadilan serta memberikan pelayanan dan akses yang setara bagi seluruh masyarakat Papua.

Antusiasme Rekrutmen Polri di Papua
Berdasarkan catatan dari PAGARAS, pada tahun 2023, sebanyak 13.949 pemuda dan pemudi di Papua mendaftar untuk mengikuti rekrutmen anggota Polri, yang mencakup jalur Tamtama, Bintara, hingga Akademi Kepolisian (Akpol). Menurut data dari Biro SDM Polda Papua, jumlah pendaftar yang telah terverifikasi mencapai 9.411 orang. Selama tiga tahun terakhir, Polda Papua berhasil merekrut 3.939 anggota Polri, dengan rincian 2.167 personel pada tahun 2021, 794 personel pada tahun 2022, dan 978 personel pada tahun 2023.

PAGARAS juga memberikan apresiasi terhadap program Korps Bhayangkara yang berencana merekrut 10.000 orang untuk ditempatkan di jajaran Polda Papua, yang akan tersebar di empat provinsi. Proses perekrutan ini dijadwalkan berlangsung dari tahun 2024 hingga 2028.

Untuk tahun 2024, penerimaan personel direncanakan dimulai pada bulan April, dengan target merekrut 2.000 orang yang akan menjalani pendidikan di Sekolah Polisi Negara (SPN) di Pulau Jawa. Dari jumlah tersebut, sebanyak 150 orang akan menjadi paramedis, khususnya dokter, dengan bekerja sama dengan Universitas Cenderawasih (Uncen).

Kebijakan perekrutan ini mendapat sambutan positif dari berbagai tokoh di Papua. Ondoafi atau Kepala Suku Sosiri, Boas Asa Henock, menyampaikan dukungan dan penghargaan atas program penerimaan 2.000 Bintara Polri di Polda Papua. PAGARAS melihat langkah ini sebagai kebijakan yang strategis, karena juga memberikan kuota khusus bagi anak-anak kepala suku atau ondoafi, serta memprioritaskan penerimaan untuk Orang Asli Papua (OAP).

Namun, PAGARAS juga menyoroti bahwa meskipun jumlah anggota Polri di Polda Papua sudah memadai secara rasio, luasnya wilayah yang harus dijangkau membuat jumlah personel yang ada masih tergolong kurang. Hal ini berakibat pada terbatasnya jumlah polsek, dengan beberapa Polres, seperti Polres Nduga dan Polres Puncak, hanya memiliki satu atau dua polsek. Wilayah hukum Polda Papua mencakup Provinsi Papua, Papua Pegunungan, Papua Tengah, dan Papua Selatan.

OAP Terdidik Merupakan Agen Perubahan Dalam Masyarakat Papua
PAGARAS mengusulkan perlunya adanya langkah-langkah pembentukan profil personil Polri yang berasal dari Orang Asli Papua (OAP). Hal ini bertujuan untuk menjadikan mereka agen perubahan dalam meningkatkan pemahaman masyarakat Papua, sehingga mengurangi pola pikir eksklusif yang ada. PAGARAS meyakini bahwa keberhasilan dalam mengubah pola pikir ini akan berkontribusi dalam meredam aksi separatisme yang menjadi tantangan bagi Polri di Papua.

Sebagai alat negara, Polri memiliki peran penting dalam menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam konteks keamanan nasional. Dalam menghadapi tantangan separatisme di Papua, Polri berfungsi sebagai garda terdepan dalam penegakan hukum dan pengamanan.

Untuk melaksanakan tugas yang berat ini, diperlukan anggota Polri yang profesional dan modern. Oleh karena itu, penting untuk memiliki sumber daya manusia (SDM) yang unggul dan berkualitas. Untuk mencapai hal tersebut, organisasi Polri perlu merumuskan perencanaan SDM yang matang, agar dapat memenuhi kebutuhan personil baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Dengan demikian, Polri akan lebih siap dalam menghadapi permasalahan separatisme di Papua.

PAGARAS juga mengamati langkah perencanaan SDM di Polda Papua, yang telah mengambil langkah-langkah untuk menerapkan kebijakan afirmasi dalam proses rekrutmen anggota Polri di wilayah ini. Dalam konteks meredam aksi separatism, PAGARAS menilai kebijakan afirmasi ini penting untuk menciptakan sistem rekrutmen yang mengedepankan wawasan kebangsaan, sehingga paham eksklusivitas yang ada di masyarakat Papua tidak semakin berkembang, terutama terkait proses perekrutmen PNS, TNI/Polri.

PAGARAS juga menyoroti pentingnya pemahaman wawasan kebangsaan bagi SDM OAP yang mengikuti seleksi rekrutmen TNI/Polri. Mereka diharapkan bisa mengenali dan memahami batas-batas wilayah laut, darat, dan udara Indonesia. Dengan pemahaman yang mendalam mengenai batas-batas teritorial ini, diharapkan masyarakat dapat melindungi Indonesia dari pengaruh asing yang ingin mengambil alih. Pendidikan wawasan kebangsaan diharapkan bisa membentuk rasa nasionalisme yang kuat dan menciptakan pemikiran yang bersifat kebangsaan.

Selain wawasan kebangsaan, PAGARAS juga menekankan pentingnya pendidikan karakter bangsa bagi para peserta didik. Hal ini bertujuan agar mereka mengembangkan nilai-nilai dan karakter yang baik, menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari, serta menjadi anggota masyarakat yang religius, nasionalis, produktif, dan kreatif.

PAGARAS menegaskan bahwa penyusunan silabus pengajaran wawasan kebangsaan dan pendidikan karakter untuk peserta didik OAP harus diformulasikan dengan menekankan nilai-nilai seperti kebijaksanaan, penghormatan terhadap orang lain, tanggung jawab pribadi, serta pemecahan konflik secara damai. PAGARAS berpendapat bahwa arah dan pola pendidikan mengenai wawasan kebangsaan dan karakter tidak hanya harus ditekankan kepada peserta didik, namun juga harus dimasukkan sebagai materi ajar yang diajarkan secara berjenjang di semua jenjang pendidikan di Papua.

Kesimpulan PAGARAS
PAGARAS mengamati bahwa perencanaan Sumber Daya Manusia merupakan sebuah proses yang penting untuk merumuskan strategi dalam memperoleh, memanfaatkan, mengembangkan, dan mempertahankan tenaga kerja sesuai dengan kebutuhan perusahaan saat ini dan perencanaan di masa depan. Dalam konteks ini, PAGARAS menekankan bahwa isu-isu yang terjadi di wilayah Papua seharusnya menjadi perhatian khusus bagi Mabes Polri. Mengingat tantangan yang dihadapi di kawasan Papua yang cukup kompleks, diperlukan anggota Polri yang memiliki kualifikasi khusus. Oleh karena itu, SSDM Mabes Polri berusaha untuk membentuk karakter putra-putri Papua agar menjadi anggota Polri yang berprestasi, serta memiliki identitas sebagai bangsa Indonesia yang mencintai NKRI. Ini dilakukan melalui pendekatan pendidikan karakter yang menekankan pada penguatan wawasan kebangsaan Indonesia Raya.

PAGARAS juga mengingatkan bahwa materi yang telah disebutkan di atas perlu mendapatkan perhatian serius dan alokasi waktu yang cukup dalam program Pembinaan dan Pelatihan (Binlat) Pra Bintara Noken Polri. Ini penting sebagai bagian dari pembekalan Pendidikan Karakter Kebangsaan untuk orang asli Papua (OAP) yang akan mengikuti seleksi sebagai calon bintara Polri.

Shalom, Tuhan Jaga

Herdy Ezra Wayoi
Ketua LSM PAGARAS
Papua Garis Keras

Download this Press Release Here

English Translation

Strengthening National Awareness and Character for Indigenous Papuans Participating in the
Selection of Police Members in Papua
Jayapura, August 11, 2024

Indonesia, as a nation rich in ethnic and racial diversity, has faced internal conflicts that threatened national unity. However, due to the spirit of nationalism and resilience from all elements of society, these conflicts were successfully resolved through negotiation processes. Nevertheless, Indonesia still confronts internal conflict issues, particularly in Papua.

The conflict in question refers to the emergence of movements seeking to separate Papua and establish it as an independent nation. This phenomenon reminds us of the separation of East Timor, which officially became the country of Timor-Leste on May 20, 2002. PAGARAS regrets the loss of East Timor and believes that this incident serves as a valuable lesson for Indonesia to prevent similar events from occurring in other regions.

In Papua, this conflict has transformed into a separatist movement that aims to gain sovereignty and detach from the Unitary State of the Republic of Indonesia (NKRI). The forms of resistance include armed actions, intimidation, violence, murder, the burning of public facilities, robbery, and misleading campaigns both domestically and internationally.

The Indonesian government faces significant challenges in addressing this separatist movement, particularly due to foreign financial and political support. PAGARAS notes how such foreign support, for instance from Vanuatu which previously called for a referendum in Papua, impacts the separatist movement seeking to establish a new state.

The separatist movement in Papua cannot be solely equated with one term, namely the Free Papua Organization (OPM), even though it is the most well-known. There are various groups under different names, such as the West Papua National Committee (KNPB) and the United Liberation Movement for West Papua (ULMWP). Generally, these groups are classified as Papua Separatist Groups (KSP), which, despite having few supporters, still pose a threat to security stability in Papua.

ULMWP, facilitated by Vanuatu, has the primary task of campaigning for Papua’s independence and conducting political lobbying to gain international support, especially from countries in the South Pacific region. Therefore, ULMWP has representatives in several countries, including Papua New Guinea, Australia, the Netherlands, the United Kingdom, and Vanuatu, which serves as their base.

PAGARAS observes that ULMWP utilizes sub-regional organizations in the Pacific, such as the Melanesian Spearhead Group (MSG), to internalize issues related to Papua. Vanuatu, as the initiator of MSG, also provides support for the ULMWP movement. In this context, some countries in the Pacific appear to support Papua’s independence efforts. However, PAGARAS feels there is an inconsistency in the statements from separatist groups abroad, which generally consist of individuals who have never visited Papua yet feel entitled to give opinions about the situation there.

The Involvement of Indigenous Papuans in Eliminating Separatist Issues in Papua
PAGARAS observes the policy measures taken by the Indonesian government in efforts to address the separatism issue in Papua. The government continues to strive to minimize the problem, both through international lobbying and by engaging all stakeholders in the region. One of the policy measures taken is granting special autonomy to the Province of Irian Jaya, which was later renamed Papua. In Law No. 21 of 2001, special autonomy (Otsus) in Papua is defined as specific authority granted to the province to manage and regulate the interests of the local community based on the aspirations and fundamental rights of the Papuan people.

PAGARAS appreciates the implementation of the Otsus policy, which has shown positive impacts in addressing separatism issues in Papua. One notable example is the affirmative action program in education for Indigenous Papuans (OAP), including the implementation of quotas in the selection of police candidates. This aligns with the provisions outlined in the Papua Otsus Law, particularly Article 49 paragraph (1), which states that the selection process for becoming officers, non-commissioned officers, and enlisted personnel of the Indonesian National Police in Papua Province is conducted by the Papua Regional Police, considering legal, cultural, customary aspects, and policies of the Papua Governor.

In this context, PAGARAS reminds that the implementation of this policy poses its own challenges for the police, particularly in the recruitment process. This relates to the exclusive understanding that still lingers within the Indigenous Papuan community. In sociology, exclusivity refers to the attitude of a community that feels threatened by other cultures that are perceived to disrupt their cultural values. Additionally, there is a viewpoint that suggests the recruitment process for TNI/Polri members is merely a privilege of a select few groups who have close ties to civil or military officials. Nevertheless, the various affirmative action programs implemented by the government aim to ensure fairness and provide equal service and access for all people of Papua.

Recruitment Enthusiasm of the Indonesian National Police in Papua
According to records from PAGARAS, in 2023, a total of 13,949 young men and women in Papua registered to participate in the recruitment of Indonesian National Police (Polri) members, covering the ranks of Tamtama, Bintara, and the Police Academy (Akpol). According to data from the Human Resources Bureau of the Papua Regional Police, the number of verified applicants reached 9,411 individuals. Over the past three years, the Papua Regional Police successfully recruited 3,939 Polri members, with a breakdown of 2,167 personnel in 2021, 794 personnel in 2022, and 978 personnel in 2023.

PAGARAS also appreciates the Indonesian Police program that plans to recruit 10,000 individuals to be placed in the Papua Regional Police, which will be distributed across four provinces. This recruitment process is scheduled to take place from 2024 to 2028.

For 2024, the acceptance of personnel is planned to begin in April, with a target of recruiting 2,000 individuals who will undergo training at the State Police School (SPN) on Java Island. Out of this number, 150 individuals will become paramedics, specifically doctors, in collaboration with Cenderawasih University (Uncen).

This recruitment policy has received positive responses from various figures in Papua. Ondoafi or Chief of the Sosiri Tribe, Boas Asa Henock, expressed support and appreciation for the program to recruit 2,000 Bintara Polri in the Papua Regional Police. PAGARAS views this initiative as a strategic policy, as it also provides special quotas for the children of tribal leaders or ondoafi, and prioritizes the acceptance of Indigenous Papuans (OAP).

However, PAGARAS also highlights that although the number of Polri members in the Papua Regional Police is adequate in ratio, the vast area that needs to be covered makes the current number of personnel still relatively lacking. This results in a limited number of police precincts, with some police departments, such as the Nduga and Puncak Police Departments, having only one or two precincts. The jurisdiction of the Papua Regional Police encompasses Papua Province, the Mountain Papua Province, Central Papua, and South Papua.

Educated OAP as Change Agents in Papuan Society
PAGARAS proposes the need for steps to establish a personnel profile of Polri members originating from Indigenous Papuans (OAP). This aims to make them change agents in enhancing the understanding of Papuan society, thereby reducing the existing exclusive mindset. PAGARAS believes that success in shifting this mindset will contribute to mitigating separatist actions, which pose a challenge for Polri in Papua.

As a state apparatus, Polri plays a crucial role in maintaining security and public order, enforcing the law, and providing protection, guidance, and services to the community in the context of national security. In facing separatist challenges in Papua, Polri functions as the frontline in law enforcement and security.

To carry out this demanding task, professional and modern Polri members are required. Thus, it is essential to have superior and quality human resources (HR). To achieve this, the Polri organization needs to formulate a well-thought-out HR planning strategy to meet personnel needs both in the short and long term. Consequently, Polri will be better prepared to face issues of separatism in Papua.

PAGARAS also observes the HR planning steps taken by the Papua Regional Police, which have implemented affirmative policy measures in the recruitment process of Polri members in this area. In the context of curbing separatist actions, PAGARAS assesses that this affirmative policy is crucial for creating a recruitment system that emphasizes national insight, so the exclusivity mindset prevalent in Papuan society does not further develop, particularly concerning the recruitment processes for civil servant, TNI/Polri.

PAGARAS also emphasizes the importance of national insight understanding for OAP HR participating in TNI/Polri recruitment selection. They are expected to recognize and understand the boundaries of Indonesia’s maritime, land, and air territories. With a deep understanding of these territorial boundaries, it is hoped that the community can protect Indonesia from foreign influences seeking to take over. National insight education is expected to instill a strong sense of nationalism and foster a nationalistic mindset.

In addition to national insight, PAGARAS emphasizes the importance of character education for students. This aims for them to develop good values and character, apply them in daily life, and become religious, nationalistic, productive, and creative members of society.

PAGARAS underscores that the development of the curriculum for teaching national insight and character education for OAP students must be formulated with an emphasis on values such as wisdom, respect for others, personal responsibility, and peaceful conflict resolution. PAGARAS argues that the direction and pattern of education concerning national insight and character should not only be emphasized for students but also incorporated as teaching materials that are progressively taught at all educational levels in Papua.

Conclusion from PAGARAS
PAGARAS observes that human resource planning is an essential process in formulating strategies for acquiring, utilizing, developing, and retaining the workforce according to the current needs of the organization and future planning. In this context, PAGARAS stresses that issues occurring in the Papua region should receive special attention from the National Police Headquarters (Mabes Polri). Given the complex challenges faced in Papua, qualified Polri members are necessary. Therefore, the Human Resources Development Division of Mabes Polri strives to shape the character of the sons and daughters of Papua to become outstanding Polri members, as well as to have an identity as Indonesians who love the Unitary State of the Republic of Indonesia (NKRI). This is done through a character education approach that emphasizes the strengthening of the national insight of Indonesia.

PAGARAS also reminds that the aforementioned materials need serious attention and sufficient time allocation in the Pre-Bintara Noken Polri Training and Development Program. This is important as part of the character education preparation for Indigenous Papuans (OAP) who will participate in the selection as Polri candidates.

Shalom, Godbless!

Herdy Ezra Wayoi
Head of PAGARAS NGO
Papuan Hardline

Check Also

Himbauan PAGARAS Untuk Mengantisipasi Gangguan Keamanan Pada Pilkada 2024 di Tanah Papua

Jayawijaya, 28 Nopember 2024. PAGARAS mengamati berbagai analisis dari pengamat politik dan keamanan yang meramalkan …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *