Dukungan Dana Otsus dan Kekacauan Oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM):Dilema Pemerintah Indonesia Terhadap Hasil Pembangunan

Jayapura, 29 Agustus 2024, Konflik yang melibatkan Organisasi Papua Merdeka (OPM) dan aparat pemerintah di Papua masih sering terjadi. PAGARAS mencatat bahwa upaya penyelesaian konflik di wilayah ini, yang telah berlangsung sejak era Orde Lama hingga Reformasi selama lebih dari lima dekade, belum menunjukkan kemajuan yang berarti. Oleh karena itu, PAGARAS mendorong pemerintah untuk mengadopsi pendekatan baru dalam menyelesaikan konflik di Papua, yang dapat mengakomodasi berbagai aspirasi dari berbagai pihak dengan harapan dapat menciptakan perdamaian, keadilan, dan kesetaraan.

PAGARAS mengingatkan pemerintah Indonesia untuk menyelesaikan konflik yang berkepanjangan dengan cara yang menghargai nilai-nilai demokrasi, bukan dengan tindakan koersif atau represif. Mereka mendukung dialog antara pemerintah Indonesia dan pihak-pihak di Papua, yang diharapkan dapat menghasilkan penyelesaian berupa pengakuan politik bagi masyarakat asli Papua, pembangunan ekonomi yang berkelanjutan, pengembangan pendekatan militer yang sensitif terhadap aspek teritorial, serta penegakan hukum dan hak asasi manusia, sehingga tercipta konsensus yang membawa perdamaian di Papua.

PAGARAS akan mencoba menjabarkan berbagai upaya pemerintah Indonesia untuk meredakan ketegangan di Papua, salah satunya melalui mekanisme afirmasi dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) Papua. Dalam undang-undang ini, dana Otsus berlaku hingga tahun 2021, yang berarti pemerintah harus memutuskan apakah akan memperpanjang Otsus atau mengakhiri program tersebut pada tahun tersebut.

Menurut catatan PAGARAS, pemerintah telah menetapkan anggaran dana Otsus untuk Provinsi Papua dan Papua Barat dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2021 sebesar Rp7,8 triliun, meningkat dari Rp7,6 triliun pada APBN Perubahan 2020. Sesuai dengan ketentuan undang-undang, alokasi dana Otsus untuk kedua provinsi ini setara dengan dua persen dari total pagu dana alokasi umum (DAU) nasional dan berlaku selama 20 tahun. Secara keseluruhan, dana Otsus dan Dana Tambahan Infrastruktur (DTI) untuk Papua dan Papua Barat meningkat dari Rp12 triliun pada tahun 2020 menjadi Rp12,2 triliun pada tahun 2021. Peningkatan ini sejalan dengan kenaikan pagu DAU nasional setiap tahunnya. Dengan adanya DTI, diharapkan dalam waktu 25 tahun sejak 2008, seluruh kabupaten/kota, distrik, atau pusat-pusat penduduk di Papua dapat terhubung dengan transportasi darat, laut, dan udara yang berkualitas.

Pada tahun berikutnya, pemerintah kembali mengalokasikan anggaran untuk Otsus Papua dan Papua Barat sebesar Rp8,5 triliun dalam RAPBN 2022, yang lebih besar 12,6% dibandingkan dengan outlook APBN 2021. PAGARAS mencatat bahwa ada kenaikan alokasi dana Otsus Papua pada tahun anggaran 2024, yang mencapai Rp160 miliar, meningkat dari Rp150 miliar pada tahun 2023. Dalam tiga tahun terakhir, dana Otsus Papua mengalami kenaikan dari Rp125 miliar pada 2022, Rp150 miliar pada 2023, hingga Rp160 miliar pada 2024.

Selain menambah alokasi dana Otsus, pemerintah juga melakukan berbagai langkah strategis untuk mendukung percepatan program ini, seperti dengan Rencana Induk Percepatan Pembangunan Papua (RIPPP) dan Sistem Informasi Percepatan Pembangunan Papua (SIPPP). RIPPP merupakan perencanaan terpadu antar sektor dan daerah yang menekankan prinsip pengelolaan keuangan yang baik, dan disusun secara kolaboratif dengan Kementerian/Lembaga, Pemerintah Daerah, serta tokoh masyarakat Papua. Sementara itu, SIPPP berfungsi sebagai platform sistem informasi terintegrasi dalam kerangka RIPPP. Penyusunan RIPPP untuk tahun 2022-2041, yang dikoordinasikan oleh Kementerian PPN/Bappenas, merupakan mandat dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 mengenai Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.

Namun demikian, PAGARAS miris melihat fenomena Papua sekarang diwarnai oleh kondisi keamanan yang tingkat gangguannya meningkat. Hal ini tentunya menjadi sebuah bentuk dilemma keamanan bagi Pemerintah Indonesia, dimana pada satu sisi, pemerintah memberikan otonomi khusus pada Papua dengan harapan dapat memberikan kesejahteraan pada masyarakat nya guna meredam konflik yang berlatar ekonomi-politik. Namun, di sisi lainnya, pemerintah juga menemukan fakta lainnya bahwa otsus belum memberikan hasil yang maksimal akibat masalah-masalah keamanan dari kelompok separatis yang merongrong jalan nya percepatan pembangunan di tanah Papua.

OPM Mencari Momentum Untuk Memutarbalikan Fakta Sejarah
Kondisi di Papua akhir-akhir ini semakin memanas. OPM mengangkat isu-isu rasial yang menyudutkan pendatang sebagai mata-mata aparat keamanan dan dianggap menyaingi kesejahteraan masyarakat asli Papua. OPM sering muncul dalam bentuk kelompok bersenjata yang tidak ragu menghancurkan properti dan mengakibatkan kematian sejumlah orang yang tidak bersalah. Mereka terus menyerukan referendum dan slogan-slogan pro-kemerdekaan, berupaya mencari kesempatan untuk memperkuat suara mereka melalui aksi-aksi perlawanan yang terkesan sebagai perlawanan terhadap penindasan oleh Indonesia.

PAGARAS mengajak kita untuk menelusuri kembali catatan sejarah. Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, negara ini berkeinginan untuk mengintegrasikan semua bekas wilayah jajahan Belanda, termasuk Papua yang pada waktu itu dikenal dengan nama Netherlands New Guinea. Namun, Belanda enggan menyerahkan wilayah tersebut karena perbedaan ras dan etnis antara orang Papua asli dan mayoritas penduduk Indonesia. Perselisihan ini berlanjut sejak Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 27 Desember 1949 hingga bertahun-tahun setelahnya.

Melalui mediasi Amerika Serikat, tercapai kesepakatan Indonesia dan Belanda mengenai Papua yang dikenal dengan “Perjanjian New York” pada 15 Agustus 1962. Kesepakatan ini menetapkan bahwa Belanda menyerahkan Papua kepada Otoritas Eksekutif Sementara PBB (UNTEA) pada 1 Oktober 1962, sebelum akhirnya menyerahkan Papua bagian barat kepada Indonesia paling lambat pada 1 Mei 1963.

Dari tanggal 14 Juli hingga 2 Agustus 1969, Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) atau Act of Free Choice dilaksanakan sebagai referendum untuk menentukan apakah penduduk Papua ingin tetap bergabung dengan Indonesia. Proses referendum ini melibatkan 1.026 anggota Dewan Musyawarah Pepera (DMP) yang mewakili 815.904 penduduk Papua, terdiri dari 400 kepala suku dan adat, 360 perwakilan daerah, serta 266 perwakilan organisasi masyarakat. Hasilnya, DMP memilih untuk menjadikan Papua bagian dari Republik Indonesia.

PAGARAS menilai bahwa jajak pendapat tersebut dilakukan berdasarkan kesepakatan antara Indonesia, Belanda, dan PBB, dengan mekanisme serta aturan yang telah disepakati, termasuk sistem perwakilan. Menurut PAGARAS, sistem perwakilan tersebut masih relevan hingga kini, mengingat masyarakat Papua masih mengenal sistem “noken” yang memungkinkan perwakilan dalam pencoblosan, baik dalam Pemilu maupun Pilkada. Pepera dianggap sebagai kesepakatan politik antara Indonesia dan Belanda setelah Indonesia mewarisi bekas tanah jajahan Hindia Belanda dari Sabang hingga Merauke.

Setelah perjanjian KMB, Papua seharusnya diserahkan kepada Indonesia, tetapi Belanda tidak melaksanakannya, yang kemudian menimbulkan proses politik. Sebagai catatan, dalam prinsip hukum internasional, Papua sudah seharusnya menjadi bagian dari Indonesia sejak awal, karena merupakan wilayah jajahan Hindia Belanda yang harus diserahkan dengan berdirinya negara baru.

Manuver OPM Harus Segera Dihentikan
PAGARAS mengamati keputusan pemerintah yang menempatkan kembali Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) sebagai Organisasi Papua Merdeka (OPM) dalam kategori teroris, yang menimbulkan pro dan kontra terkait isu keamanan nasional. PAGARAS berharap penetapan status teroris ini akan memberikan kesempatan lebih besar bagi pemerintah untuk menghentikan kekerasan yang dilakukan OPM terhadap masyarakat sipil serta anggota TNI-Polri. Dengan status ini, pemerintah diharapkan dapat membatasi ruang gerak dan pendanaan kelompok bersenjata di Papua, mengingat UU Nomor 5 Tahun 2018 memberikan hak kepada pemerintah untuk mencegah aksi kekerasan.

Lebih lanjut, isu internasionalisasi kasus Papua juga menjadi ancaman bagi Indonesia dan citranya di kancah global. OPM dan Benny Wenda berupaya menciptakan kerusuhan serta menarik perhatian dunia untuk menunjukkan adanya kekuatan yang memperjuangkan kemerdekaan Papua dan Papua Barat. Konflik di Papua bukanlah persoalan baru, melainkan merupakan isu yang berkaitan dengan kekerasan dan gerakan-gerakan kesukuan. Dalam konteks ini, masalah seperti separatisme, pemekaran, dan otonomi khusus (Otsus) sangat dipengaruhi oleh dimensi politik. Selain itu, isu pelanggaran hak asasi manusia, diskriminasi, dan eksploitasi sumber daya alam juga turut mewarnai konflik di Papua.

Aktivis OPM di luar negeri melakukan lobi politik ke berbagai negara di Afrika, Karibia, Amerika Selatan, Eropa, serta negara-negara sosialis untuk mendapatkan pengakuan terhadap Pemerintahan Revolusioner Papua Barat yang diproklamirkan pada 1 Juli 1971. Aksi propaganda dan kampanye sepihak yang dilakukan oleh Benny Wenda melalui media sosial lebih berfokus pada upaya meraih simpati dunia internasional untuk kemerdekaan Papua Barat dari Indonesia.

Namun, ironisnya, tindakan propaganda dan kampanye fitnah yang dilakukan oleh Benny Wenda tidak mendapat dukungan dari OPM, karena ia merupakan warga negara asing yang dianggap berpihak kepada kapitalis asing. PAGARAS melihat tantangan bagi pemerintah Indonesia untuk mendapatkan simpati dunia internasional dengan menyajikan fakta-fakta nyata mengenai permasalahan di Papua Barat. Oleh karena itu, pemerintah harus bersiap menghadapi perang informasi (netwar) terkait disinformasi tentang Papua Barat dan menyiapkan berbagai strategi untuk melawan informasi keliru yang beredar mengenai wilayah tersebut.

Kesimpulan PAGARAS
Belajar dari pengalaman yang terjadi di Aceh, PAGARAS mengingatkan agar pemerintah lebih selektif dalam memilih metode dan cara penegakan hukum di Papua. Tindakan kekerasan yang dilakukan oleh OPM jelas merupakan upaya untuk memprovokasi Pemerintah Indonesia agar merespons dengan kekerasan yang lebih tinggi. Perubahan istilah dari KKB menjadi OPM merupakan strategi cerdas dari Pemerintah Indonesia untuk menghindari persepsi bahwa OPM adalah kelompok pemberontak yang terorganisir dan kuat.

Dengan memilih langkah-langkah yang bijak, terukur, dan berorientasi pada perdamaian, pemerintah dapat dengan mudah mendapatkan dukungan dari masyarakat Papua. Mereka tidak akan mendukung OPM dan akan bersama-sama mempertahankan keutuhan NKRI. Tindakan OPM jelas merupakan tindak pidana, terorisme, pelanggaran hak hidup, dan menimbulkan ketidakamanan serta mengancam integritas NKRI, sehingga tindakan tegas dari Pemerintah Indonesia sangat diperlukan.

Akhirnya, PAGARAS berkesimpulan, bahwa dengan mengambil pendekatan yang persuasif dengan memahami akar masalah konflik di Papua dan menghindari kekerasan menunjukkan kecerdasan bangsa dalam merumuskan strategi hukum perang serta belajar dari pengalaman masa lalu.

Shalom, Tuhan Jaga

Herdy Ezra Wayoi
Ketua LSM PAGARAS
Papua Garis Keras

Download the Press Release Here

English Version

Funding Support for Special Autonomy and Chaos by the Free Papua Organization (OPM):
Indonesia’s Dilemma Regarding Development Results
Jayapura, August 29, 2024

Conflicts involving the Free Papua Organization (OPM) and government authorities in Papua continue to occur frequently. PAGARAS notes that efforts to resolve conflicts in this region, which have been ongoing since the Old Order era through Reformasi for more than five decades, have yet to show significant progress. Therefore, PAGARAS urges the government to adopt a new approach to conflict resolution in Papua that can accommodate various aspirations from different parties, with the hope of creating peace, justice, and equality.

PAGARAS reminds the Indonesian government to resolve the prolonged conflict in a manner that respects democratic values, rather than through coercive or repressive actions. They support dialogue between the Indonesian government and parties in Papua, which is expected to lead to resolutions in the form of political recognition for the indigenous Papuan people, sustainable economic development, the development of a military approach sensitive to territorial aspects, as well as law enforcement and human rights, thereby creating a consensus that brings peace to Papua.

PAGARAS also explains various efforts by the Indonesian government to ease tensions in Papua, including through affirmative mechanisms with the enactment of Law Number 21 of 2001 on Special Autonomy (Otsus) for Papua. Under this law, the Otsus fund is effective until 2021, meaning the government must decide whether to extend or terminate the program in that year.

According to PAGARAS records, the government has allocated an Otsus budget for the provinces of Papua and West Papua in the 2021 State Budget (RAPBN) amounting to IDR 7.8 trillion, an increase from IDR 7.6 trillion in the 2020 Revised State Budget. In accordance with the provisions of the law, the allocation of Otsus funds for these two provinces is equivalent to two percent of the total national general allocation fund (DAU) ceiling and is effective for 20 years. Overall, Otsus funds and the Infrastructure Additional Fund (DTI) for Papua and West Papua increased from IDR 12 trillion in 2020 to IDR 12.2 trillion in 2021. This increase aligns with the annual rise in the national DAU ceiling. With the DTI, it is hoped that within 25 years from 2008, all districts/cities, sub-districts, or population centers in Papua can be connected by quality land, sea, and air transportation.

In the following year, the government again allocated a budget for Otsus for Papua and West Papua amounting to IDR 8.5 trillion in the 2022 RAPBN, which is 12.6% larger than the outlook for the 2021 State Budget. PAGARAS notes an increase in the allocation of Otsus funds for Papua in the 2024 budget year, reaching IDR 160 billion, up from IDR 150 billion in 2023. Over the past three years, Otsus funds for Papua have increased from IDR 125 billion in 2022, IDR 150 billion in 2023, to IDR 160 billion in 2024.

In addition to increasing the Otsus fund allocation, the government is also taking various strategic steps to support the acceleration of this program, such as through the Master Plan for the Acceleration of Papua Development (RIPPP) and the Papua Development Acceleration Information System (SIPPP). RIPPP is an integrated inter-sectoral and regional planning that emphasizes the principle of good financial management and is collaboratively prepared with ministries/agencies, local governments, and Papuan community leaders. Meanwhile, SIPPP serves as an integrated information system platform within the framework of RIPPP. The preparation of RIPPP for the years 2022-2041, coordinated by the Ministry of National Development Planning/National Development Planning Agency (PPN/Bappenas), is mandated by Law Number 2 of 2021 concerning the Second Amendment to Law Number 21 of 2001 on Special Autonomy for the Province of Papua.

Nevertheless, PAGARAS expresses concern over the current situation in Papua, which is marked by an increasing level of security disturbances. This certainly poses a security dilemma for the Indonesian government, where on one hand, the government grants special autonomy to Papua with the hope of providing welfare to its people in order to mitigate the conflicts rooted in economic and political issues. However, on the other hand, the government also faces the fact that Otsus has not yielded optimal results due to security issues caused by separatist groups that undermine the acceleration of development in Papua.

OPM Seeks Momentum to Distort Historical Facts
The situation in Papua has recently become more heated. OPM raises racial issues that portray immigrants as security apparatus spies and as competitors to the welfare of the indigenous Papuan people. OPM often manifests as armed groups that do not hesitate to destroy property and cause the deaths of innocent people. They continue to call for a referendum and pro-independence slogans, seeking opportunities to amplify their voices through resistance actions that appear to be a rebellion against oppression by Indonesia.

PAGARAS invites us to revisit the historical records. After Indonesia gained independence in 1945, the country sought to integrate all former Dutch colonial territories, including Papua, which at that time was known as Netherlands New Guinea. However, the Netherlands was reluctant to relinquish the territory due to the racial and ethnic differences between the indigenous Papuans and the majority population of Indonesia. This dispute continued from the Round Table Conference (KMB) on December 27, 1949, and for many years thereafter.

Through American mediation, an agreement was reached between Indonesia and the Netherlands regarding Papua, known as the “New York Agreement,” on August 15, 1962. This agreement stipulated that the Netherlands would transfer Papua to the United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA) on October 1, 1962, before ultimately transferring Western Papua to Indonesia by May 1, 1963, at the latest.

From July 14 to August 2, 1969, the Act of Free Choice (Pepera) was held as a referendum to determine whether the people of Papua wanted to remain part of Indonesia. This referendum process involved 1,026 members of the Pepera Consultative Council (DMP) representing 815,904 Papuan residents, consisting of 400 tribal and customary leaders, 360 regional representatives, and 266 representatives from community organizations. The result was that the DMP chose to make Papua part of the Republic of Indonesia.

PAGARAS assesses that the referendum was conducted based on an agreement between Indonesia, the Netherlands, and the UN, with mechanisms and rules that had been mutually agreed upon, including a representative system. According to PAGARAS, this representative system remains relevant today, considering that the Papuan community still recognizes the “noken” system, which allows for representation in voting, both in general elections and local elections. Pepera is considered a political agreement between Indonesia and the Netherlands after Indonesia inherited the former Dutch East Indies territories from Sabang to Merauke.

After the KMB agreement, Papua was supposed to be handed over to Indonesia, but the Netherlands did not carry it out, which then led to a political process. As a note, under international law principles, Papua should have been part of Indonesia from the beginning, as it was a former Dutch colony that needed to be transferred with the establishment of the new state.

OPM Maneuvers Must Be Stopped Immediately
PAGARAS observes the government’s decision to reclassify the Armed Criminal Groups (KKB) as the Free Papua Organization (OPM) in the terrorist category, which has sparked both support and opposition regarding national security issues. PAGARAS hopes this designation will provide greater opportunities for the government to stop the violence perpetrated by OPM against civilians and members of the military and police. With this status, the government is expected to limit the movements and funding of armed groups in Papua, given that Law Number 5 of 2018 grants the government the right to prevent acts of violence.

Furthermore, the internationalization of the Papua issue also poses a threat to Indonesia and its image on the global stage. OPM and Benny Wenda seek to create turmoil and attract global attention to demonstrate the existence of a force advocating for the independence of Papua and West Papua. The conflict in Papua is not a new issue but is related to violence and tribal movements. In this context, issues such as separatism, regional expansion, and special autonomy (Otsus) are heavily influenced by political dimensions. Additionally, issues of human rights violations, discrimination, and the exploitation of natural resources also color the conflict in Papua.

OPM activists abroad lobby for political support from various countries in Africa, the Caribbean, South America, Europe, and socialist countries to gain recognition for the Revolutionary Government of West Papua proclaimed on July 1, 1971. Propaganda actions and unilateral campaigns by Benny Wenda through social media focus more on efforts to garner international sympathy for the independence of West Papua from Indonesia.

However, ironically, the propaganda actions and slander campaigns conducted by Benny Wenda do not receive support from OPM, as he is considered a foreign national who sides with foreign capitalists. PAGARAS sees a challenge for the Indonesian government to gain international sympathy by presenting real facts about the issues in West Papua. Therefore, the government must be prepared to face an information war (netwar) regarding the misinformation surrounding West Papua and prepare various strategies to counter the misleading information circulating about the region.

PAGARAS Conclusion
Learning from the experiences that occurred in Aceh, PAGARAS reminds the government to be more selective in choosing methods and ways of law enforcement in Papua. The violent actions committed by OPM are clearly attempts to provoke the Indonesian government to respond with higher levels of violence. The change in terminology from KKB to OPM is a smart strategy by the Indonesian government to avoid perceptions that OPM is an organized and strong rebel group.

By choosing wise, measured, and peace-oriented steps, the government can easily gain support from the people of Papua. They will not support OPM and will unite to defend the integrity of the Unitary State of the Republic of Indonesia (NKRI). The actions of OPM are clearly criminal acts, terrorism, violations of the right to life, and pose a threat to security and the integrity of NKRI, making decisive action from the Indonesian government essential.

Finally, PAGARAS concludes that by taking a persuasive approach, understanding the root causes of the conflict in Papua, and avoiding violence, demonstrates the nation’s intelligence in formulating legal strategies for warfare while learning from past experiences.

Shalom, Godbless!

Herdy Ezra Wayoi
Head of PAGARAS NGO
Papuan Hardline

Check Also

Himbauan PAGARAS Untuk Mengantisipasi Gangguan Keamanan Pada Pilkada 2024 di Tanah Papua

Jayawijaya, 28 Nopember 2024. PAGARAS mengamati berbagai analisis dari pengamat politik dan keamanan yang meramalkan …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *