Jayapura, 25 September 2024, Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki + 17.504 pulau besar dan kecil dengan panjang garis pantai ± 81.290 Km dan berbatasan laut dengan sepuluh negara tetangga yang meliputi India, Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam, Philipina, Palau, PNG, Australia dan Timor Leste. Sementara itu, Indonesia juga berbatasan di darat dengan Malaysia, Timor Leste dan Papua Nugini. Dengan letak geografi tersebut mengandung potensi permasalahan bagi keamanan, kedaulatan dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
PAGARAS mencermati bahwa salah satu potensi persoalan yang paling mungkin adalah munculnya sengketa wilayah sebagai akibat klaim perbatasan antar negara sehingga hal ini memungkinkan menjadi pemicu konflik diwilayah perbatasan. Ditinjau dari sudut geografi, kondisi perbatasan tersebut mempunyai nilai strategis dan juga memiliki permasalahan yang kompleks sehingga kesemuanya itu perlu ditangani secara serius dan dikelola dengan baik oleh pemerintah.
Ditarik secara umum, Indonesia memiliki perbatasan dengan tiga negara yakni Papua Nugini disebelah timur dan selatan, Australia di sebelah selatan dan di sebelah utara dengan Republik Palau. Perbatasan darat antara RI-Papua Nugini telah dibahas dalam perjanjian bilateral tahun 1973 yang dituangkan dalam memorandum saling pengertian antara pemerintah Republik Indonesia dan pemerintah Australia/Papua Nugini mengenai pengaturan administratif perbatasan, dan pada saat itu didirikan 14 pilar MM. Titik-titik tersebut ada di 141° Bujur Timur, mulai dari pilar MM1 sampai dengan MM 10. Selanjutnya mulai dari pilar MM 11 sampai dengan pilar MM 14 berada pada meridian 141° 01’ 10″. Batas darat dengan Papua Nugini berjajar dari Utara ke Selatan sejauh kurang lebih 780 Km terletak dari garis batas/meridien monument (MM 1) di daerah Skouw dan Wutung, kota Jayapura sampai dengan MM 10 di daerah Anggamarut/Wairin kabupaten Boven Digoel dari MM 11 di daerah Domonggi kabupaten Merauke sampai dengan MM 14 di daerah muara sungai Bensbach atau sungai Torasi.
Selain ke 14 pilar MM, antara tahun 1983-1991, sesuai amanat Pasal 9 Perjanjian 1973 antara Indonesia dengan Papua Nugini, telah didirikan 38 Pilar MM. Sehingga sampai saat ini telah berdiri 52 pilar MM di sepanjang garis perbatasan. Penambahan 38 pilar MM baru tersebut saat ini masih tertuang dalam Deklarasi bersama (Joint declaration) yang ditandatangani oleh otoritas survey and mapping kedua pemerintahan. Jumlah pilar batas di kawasan perbatasan darat RI-Papua Nugini dirasa masih sangat terbatas dihadapkan dengan kondisi perbatasan darat yang sangat luas dengan pegunungan yang tinggi dan sering dijadikan sebagai tempat persembunyian dan penyeberangan secara ilegal oleh kelompok separatis Organisasi Papua Merdeka (OPM).
Perbatasan darat RI-Papua Nugini yang terletak di bagian timur Indonesia, memiliki panjang perbatasan + 780 Km yang membentang dari Utara ke Selatan mulai dari Jayapura, Kabupaten Keerom, kabupaten pegunungan Bintang, kabupaten Boven Digoel dan kabupaten Merauke. Dengan memiliki panjangnya wilayah perbatasan tersebut dapat dijadikan sebagai barometer, karena masing-masing wilayah tersebut memiliki permasalahan yang berbeda-beda mulai dari aspek fisik batas wilayah, aspek ekonomi, aspek sosial budaya serta aspek pertahanan dan keamanan.
Sebagai contoh, PAGARAS mengapresiasi satgas Pengaman Perbatasan (Pamtas) dari Batalyon Infanteri (Yonif) 725/WRG. Selain melaksanakan tugas tersebut diatas, para prajurit juga melaksanakan tugas membantu masyarakat setempat untuk meningkatkan kesejahteraannya dengan mengajar masyarakat tentang cara bercocok tanam, memberikan penyuluhan tentang kesehatan dan hidup sehat agar terhindari dari penyakit malaria yang merupakan endemi di wilayah perbatasan, dan turut serta berperan sebagai tenaga pendidik yaitu melaksanakan tugas guru dengan mengajar di wilayah Perbatasan. Selanjutnya, Pamtas Yonif 725/WRG juga membantu masyarakat membangun rumah warga, melaksanakan kegiatan pengobatan terhadap masyarakat, melaksanakan tugas guru, mengajar anak sekolah karena kekurangan tenaga pendidik di wilayah perbatasan.
Pandangan PAGARAS
PAGARAS mencatat bahwa TNI memiliki tugas di wilayah perbatasan sesuai amanat Undang-Undang Nomor 3 tahun 2002 dan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004, bahwa Tentara Nasional Indonesia sebagai alat pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia, bertugas melaksanakan kebijakan pertahanan negara untuk menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah, dan melindungi keselamatan bangsa.
Secara langsung menandakan bahwa penempatan atau gelar satuan tugas Pamtas sebagai satuan pelaksana tugas pengamanan di sepanjang wilayah perbatasan RI-Papua Nugini bertujuan untuk memberikan rasa aman kepada masyarakat dan mencegah terjadinya kegiatan ilegal yang berlawanan dengan hukum seperti ilegal logging, penyeludupan Narkoba, perdagangan liar, usaha pemindahan patok perbatasan, jalur penyelundupan barang dan senjata serta gangguan dari kelompok separatis OPM yang memanfaatkan perbatasan sebagai tempat persembunyian setelah melaksanakan serangan terhadap masyarakat maupun personel TNI/aparat keamanan yang melaksanakan tugas.
PAGARAS menyikapi perkembangan situasi yang akhir-akhir ini terjadi di wilayah perbatasan tentang maraknya penyeludupan Narkotika (ganja) yang dilakukan oleh oknum masyarakat dengan memanfaatkan jalan tikus atau areal yang belum sepenuhnya masuk dalam operasi pantau aparat satuan tugas, dan gangguan yang di lakukan oleh kelompok OPM, PAGARAS mendesak pemerintah untuk menambah satuan penjaga dan peralatan serta persenjataan di perbatasan. Selain penambahan satuan tugas, peralatan dan persenjataan bagi personil yang bertugas di perbatasan, PAGARAS juga meminta pemerintah menambah pembukaan pos-pos pengamanan perbatasan di sepanjang wilayah.
Selain melaksanakan tugas pokok sebagai satuan tugas pengamanan di wilayah perbatasan darat RI-Papua Nugini, PAGARAS juga menyarankan agar satgas Pamtas juga melakukan sosialisasi kebijakan-kebijakan pemerintah pusat dalam rangka memperbaiki kualitas hidup mereka. Namun PAGARAS juga mendesak pemerintah untuk melakukan percepatan pembangunan fisik di daerah perbatasan RI-PNG, infrastruktur serta sarana dan prasarana bagi masyarakat.
PAGARAS juga mengingatkan pemerintah adanya rencana pembangunan pangkalan Amerika dan Australia di Papua Nugini dengan alasan untuk mengimbangi kekuatan militer RRT di wilayah Pasifik. Fenomena ini dapat diindikasikan bahwa akan muncul sebuah centrum baru yang berpotensi menjadi sumber konflik. Posisi geografis RI yang berada di wilayah Asia Tenggara dipastikan akan terpengaruh oleh rencana pembangunan pangkalan militer tersebut.
PAGARAS menyimpulkan bahwa hadirnya prajurit TNI, memberikan efek tangkal dari niat pihak manapun, yang ingin merongrong tegaknya Negara Kesatuan Republik. PAGARAS sepenuhnya memahami kendala dan tantangan panjangnya wilayah perbatasan sehingga pengamanan perbatasan yang di gelar masih belum seimbang, sehingga pengawasan dalam rangka mencegah adanya kegiatan ilegal dan persoalan lainnya di wilayah perbatasan belum dapat diatasi secara optimal.
Terakhir, PAGARAS mendorong pemerintah pusat agar menyusun sebuah pilot project yang merupakan kelanjutan dari program-program pembangunan fisik dan non fisik di Papua. PAGARAS juga mengingatkan pemerintah untuk memperhatikan masukan dari unsur pelaksana di lapangan (bottom up) untuk menjadi salah satu proses yang dapat memperkaya dan memberikan kontribusi dalam menciptakan atau meneruskan program-program pemerintah tersebut diatas. Pilot project tersebut kemudian diimplementasikan dengan turunan-turunannya melalui pemerintah daerah dengan menggandeng organisasi kemasyarakatan, NGO dan lembaga adat.
Shalom, Tuhan Jaga
Herdy Ezra Wayoi
Ketua LSM PAGARAS
Papua Garis Keras
Download the Press Release Here
English Translation
PAGARAS’s Perspective on Strengthening Security Capabilities
in the RI-Papua New Guinea Border Region
Jayapura, September 25, 2024
Indonesia is the largest archipelagic country in the world, with over 17,504 large and small islands, a coastline of approximately 81,290 km, and maritime borders with ten neighboring countries, including India, Thailand, Malaysia, Singapore, Vietnam, the Philippines, Palau, PNG, Australia, and East Timor. Additionally, Indonesia shares land borders with Malaysia, East Timor, and Papua New Guinea. This geographical position brings potential security issues, sovereignty concerns, and the integrity of the Unitary State of the Republic of Indonesia.
PAGARAS observes that one of the most likely potential problems is the emergence of territorial disputes as a result of border claims between countries, making this a possible trigger for conflict in border areas. From a geographical standpoint, the border conditions are strategically significant and complex, necessitating serious management by the government.
Generally, Indonesia shares borders with three countries: Papua New Guinea to the east and south, Australia to the south, and Palau to the north. The land border between RI and Papua New Guinea was discussed in a bilateral agreement in 1973, outlined in a memorandum of understanding between the governments of the Republic of Indonesia and Australia/Papua New Guinea regarding administrative border arrangements, during which 14 MM pillars were established. These points are located at 141° East Longitude, from pillar MM1 to MM10. Subsequently, pillars MM11 to MM14 are situated at the meridian 141° 01’ 10″. The land border with Papua New Guinea stretches from north to south for approximately 780 km, starting from the boundary marker (MM 1) in the Skouw and Wutung area in Jayapura to MM 10 in Anggamarut/Wairin, Boven Digoel Regency, from MM 11 in Domonggi, Merauke Regency, to MM 14 at the mouth of the Bensbach or Torasi River.
In addition to the 14 MM pillars, between 1983 and 1991, pursuant to Article 9 of the 1973 Agreement between Indonesia and Papua New Guinea, 38 new MM pillars were established. Therefore, a total of 52 MM pillars currently stand along the border. The addition of these 38 new MM pillars is still recorded in a joint declaration signed by the survey and mapping authorities of both governments. The number of border markers in the RI-Papua New Guinea land border area is considered very limited compared to the vast border area, characterized by high mountains often used as hiding spots and illegal crossing points by the separatist group Free Papua Organization (OPM).
The RI-Papua New Guinea land border, located in eastern Indonesia, has a length of approximately 780 km extending from north to south, covering Jayapura, Keerom Regency, Bintang Mountains Regency, Boven Digoel Regency, and Merauke Regency. Given the extensive length of this border area, it can serve as a barometer because each region has different problems, including physical boundary aspects, economic aspects, socio-cultural aspects, and defense and security aspects.
For example, PAGARAS appreciates the Border Security Task Force (Pamtas) from Infantry Battalion 725/WRG. In addition to carrying out their primary duties, the soldiers also assist local communities in improving their welfare by teaching them about agriculture, providing health education to avoid malaria—an endemic disease in border areas—and acting as educators by teaching in border regions. Furthermore, Pamtas Yonif 725/WRG also helps locals build houses, conducts medical outreach, and teaches schoolchildren due to the shortage of educators in the border area.
PAGARAS’s Perspective
PAGARAS notes that the Indonesian National Armed Forces (TNI) has responsibilities in border areas in accordance with the mandates of Law No. 3 of 2002 and Law No. 34 of 2004, which state that the TNI, as an instrument of defense for the Unitary State of the Republic of Indonesia, is tasked with implementing national defense policies to uphold national sovereignty, maintain territorial integrity, and protect the safety of the nation.
This directly indicates that the deployment of Pamtas task forces as security units along the RI-Papua New Guinea border aims to provide a sense of safety to the community and prevent illegal activities that contravene the law, such as illegal logging, drug trafficking, smuggling, boundary marker tampering, smuggling routes for goods and weapons, and disturbances from separatist groups like the OPM that use the border as a hiding place after attacking local communities or TNI/security personnel carrying out their duties.
PAGARAS responds to the recent developments in the border area regarding the surge in drug smuggling (cannabis) by individuals exploiting rat trails or areas not fully monitored by task force personnel, along with disturbances caused by OPM groups. PAGARAS urges the government to increase the number of border guards and enhance equipment and armaments at the border. In addition to increasing task forces, equipment, and weaponry for personnel stationed at the border, PAGARAS also calls on the government to add security posts along the border region.
In addition to performing their main duties as border security task forces, PAGARAS also recommends that Pamtas conduct socialization of central government policies to improve the quality of life for local communities. However, PAGARAS urges the government to accelerate physical development in the RI-PNG border area, including infrastructure and facilities for the community.
PAGARAS also reminds the government of plans to build American and Australian bases in Papua New Guinea under the pretext of balancing military power in the Pacific region against China. This phenomenon may indicate the emergence of a new center that could potentially be a source of conflict. Indonesia’s geographical position in Southeast Asia is expected to be affected by these military base developments.
PAGARAS concludes that the presence of TNI soldiers serves as a deterrent against any party wishing to undermine the integrity of the Unitary State of the Republic. PAGARAS fully understands the challenges posed by the lengthy border area, which means that the current security arrangements are still unbalanced, leading to suboptimal oversight in preventing illegal activities and other issues in the border region.
Finally, PAGARAS encourages the central government to develop a pilot project as a continuation of physical and non-physical development programs in Papua. PAGARAS also reminds the government to consider inputs from field implementers (bottom-up) as part of a process that can enrich and contribute to the creation or continuation of the aforementioned government programs. This pilot project should then be implemented with derivatives through local governments, in collaboration with community organizations, NGOs, and customary institutions.
Shalom, Godbless!
Herdy Ezra Wayoi
Head of PAGARAS NGO
Papuan Hardline