Pandangan PAGARAS Terhadap Kebijakan Afirmasi Atas Hak Politik Orang Asli Papua Terkait Keikutsertaan Dalam Pemiliham Kepala Daerah

Sorong, 04 Nopember 2024. PAGARAS mengamati adanya dinamika politik yang menarik menjelang pemilihan kepala daerah di Papua. Majelis Rakyat Papua (MRP) menyampaikan tuntuan agar semua calon kepala daerah di enam provinsi di Bumi Kasuari berasal dari orang asli Papua. Tuntutan ini telah sampai ke Jakarta. Dalam Pasal 12 huruf a Undang-Undang tersebut, dinyatakan bahwa gubernur dan wakil gubernur haruslah orang asli Papua. Sayangnya, undang-undang ini tidak secara jelas mengatur tentang bupati, wakil bupati, wali kota, dan wakil wali kota.

Tuntutan dimaksud kemudian diajukan ke Mahkamah Konstitusi oleh Bastian Buce Ijie, seorang pendeta dari Kota Sorong, Zakarias Jitmau, dan Willem Sedik, yang mengajukan pengujian Pasal 12 huruf a UU 21/2001 dan Pasal 28 ayat (3) UU 2/2021. Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan Perkara Nomor 93/PUU-XXII/2024 terkait pengujian materi pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (UU Otsus Papua) dan UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua UU Otsus Papua. Menurut Mahkamah, ketiadaan kekhususan orang asli Papua (OAP) menjadi calon bupati dan walikota di Papua adalah beralasan menurut hukum dan tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945.

PAGARAS memahami alasan MRP memperjuangkan aspirasi masyarakat Papua agar hanya orang asli Papua yang menjadi calon kepala daerah. Ini berakar pada realitas politik di Papua, terutama setelah pemilu legislatif sebelumnya. Terdapat dua alasan utama. Pertama, meskipun tidak ada pengaturan eksplisit dalam undang-undang mengenai calon kepala daerah kabupaten/kota, Pasal 28 ayat 3 menyebutkan bahwa rekrutmen politik oleh partai politik di wilayah tersebut harus memprioritaskan masyarakat Papua. Selain itu, dalam ayat 4 pasal yang sama dinyatakan bahwa partai politik wajib meminta pertimbangan MRP dalam proses seleksi politik.

PAGARAS melihat bahwa penjelasan undang-undang tersebut menegaskan bahwa prioritas untuk masyarakat asli Papua tidak mengurangi keterbukaan partai untuk semua warga negara Indonesia, dan meminta pertimbangan dari MRP tidak berarti mengurangi otonomi partai dalam menjalankan rekrutmen.

Kedua, MRP mengajukan tuntutan ini berdasarkan kenyataan bahwa masyarakat Papua mengalami penurunan representasi dalam pemilihan legislatif di berbagai kabupaten/kota, terutama di daerah pesisir. Penurunan jumlah kursi yang diperoleh oleh orang asli Papua di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) akan berdampak signifikan terhadap pengambilan keputusan yang berkaitan dengan kepentingan mereka di tingkat lokal.

Mengenai ketidakadaan kekhususan bagi orang asli Papua untuk menjadi calon bupati dan wali kota di Papua, PAGARAS mencatat keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak permohonan uji materi Pasal dalam Undang-Undang 21 Tahun 2001 dan UU Nomor 2 Tahun 2021. Mahkamah menetapkan bahwa tidak adanya kekhususan ini adalah sah menurut hukum dan tidak bertentangan dengan UUD NRI 1945. Kebijakan tersebut dianggap tidak melanggar prinsip moral, rasionalitas, atau menimbulkan ketidakadilan, serta tidak membawa dampak buruk bagi warga negara, termasuk orang asli Papua.

Setelah menganalisis berbagai peraturan, PAGARAS berpendapat bahwa kebijakan afirmasi untuk Papua bersifat sementara dan dapat dihapuskan ketika tujuannya tercapai. Salah satu kebijakan afirmasi adalah penetapan masyarakat asli Papua sebagai wakil di Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP), yang berbeda dengan DPRD di wilayah lain di Indonesia. Hal ini telah dinyatakan konstitusional oleh Mahkamah dalam Putusan MK Nomor 116/PUU-VII/2009. PAGARAS percaya bahwa kebijakan afirmasi tersebut sejalan dengan prinsip otonomi khusus Papua yang menempatkan orang asli Papua sebagai subjek utama, sesuai dengan penjelasan umum UU 21/2001.

PAGARAS tidak melihat adanya alienasi dan marginalisasinya pengambilan keputusan atas aspirasi masyarakat Papua ini, yang dikhawatirkan akan berpengaruh signifikan pada kebijakan afirmatif orang asli Papua. Memang, ada realita yang menunjukkan, baik dari aspek demografi maupun sosial dan ekonomi, kota-kota di Papua telah didominasi oleh masyarakat pendatang. Inilah yang mengakibatkan masyarakat Papua cemas, tereliminasi di atas tanah sendiri.

Setelah adanya pembentukan provinsi baru, gelombang migrasi ke Papua semakin meningkat, dan pemerintah pusat menyadari ketimpangan demografis ini. PAGARAS mengapresiasi kesadaran pemerintah yang diimbangi dengan kebijakan berkelanjutan untuk mendukung orang asli Papua. Kebijakan ini memperkuat posisi MRP sebagai lembaga representatif kultural dalam rekrutmen politik untuk pemilihan kepala daerah, demi memberikan dasar hukum dan legitimasi politik yang solid.

Di sisi lain, PAGARAS tidak menemukan indikasi pemerintah mendiskriminasi masyarakat non-Papua dalam proses pemilihan. Sebagai bagian dari negara, konstitusi mewajibkan penghormatan dan penghargaan terhadap wilayah yang memiliki kekhususan, agar mereka dapat berkembang bersama komunitas lainnya.

PAGARAS berkesimpulan, rekrutmen politik untuk orang asli Papua tidak berarti mereka tidak nasionalis. Sebaliknya, hal ini memperkuat fondasi bangsa dan negara, dengan memberikan prioritas kepada orang asli Papua dalam pengambilan keputusan politik yang berkaitan dengan mereka, serta melindungi martabat, harga diri, dan hak-hak mereka dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Shalom, Tuhan Jaga

Herdy Ezra Wayoi
Ketua LSM PAGARAS
Papua Garis Keras

Download the Press Release Here

English Version

PAGARAS’s Perspective on Affirmative Policy for the
Political Rights of Indigenous Papuans in Regional Head Elections
Sorong, November 04, 2024

PAGARAS observes an interesting political dynamic ahead of the regional head elections in Papua. The Papuan People’s Assembly (MRP) has expressed a demand that all candidates for regional heads in the six provinces of the Land of Kasuari be indigenous Papuans. This demand has reached Jakarta. Article 12 Letter A of the law states that the governor and deputy governor must be indigenous Papuans. Unfortunately, this law does not clearly regulate the positions of regents, vice-regents, mayors, and deputy mayors.

This demand was then submitted to the Constitutional Court by Bastian Buce Ijie, a pastor from Sorong City, Zakarias Jitmau, and Willem Sedik, who challenged Article 12 letter a of Law 21/2001 and Article 28 paragraph (3) of Law 2/2021. The Constitutional Court (MK) rejected the application for Case Number 93/PUU-XXII/2024 regarding the material test of articles in Law Number 21 of 2001 on Special Autonomy for Papua Province (Papua Special Autonomy Law) and Law Number 2 of 2021 on the Second Amendment to the Papua Special Autonomy Law. According to the Court, the absence of specificity for indigenous Papuans (OAP) to become regents and mayors in Papua is legally justified and does not contradict the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia (UUD NRI).

PAGARAS understands the MRP’s rationale for advocating the aspirations of the Papuan people for only indigenous Papuans to be candidates for regional heads. This stems from the political reality in Papua, particularly following the previous legislative elections. There are two main reasons. First, although there is no explicit regulation in the law concerning candidates for regional heads in districts/cities, Article 28 paragraph 3 states that political recruitment by political parties in the region must prioritize the Papuan people. Additionally, paragraph 4 of the same article stipulates that political parties must seek MRP’s consideration in the political selection process.

PAGARAS sees that the explanation of the law emphasizes that prioritizing the native Papuan community does not diminish the openness of parties to all Indonesian citizens, and seeking MRP’s consideration does not reduce the autonomy of parties in conducting recruitment.

Secondly, the MRP submitted this demand based on the fact that the Papuan community has experienced a decline in representation in legislative elections across various districts/cities, particularly in coastal areas. The decrease in the number of seats obtained by indigenous Papuans in the Regional People’s Representative Council (DPRD) will significantly impact decision-making concerning their interests at the local level.

Regarding the absence of specificity for indigenous Papuans to be candidates for regents and mayors in Papua, PAGARAS notes the Constitutional Court’s decision that rejected the material test application of articles in Law 21 of 2001 and Law Number 2 of 2021. The Court ruled that this absence of specificity is legally valid and does not contradict the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia. This policy is deemed not to violate moral principles, rationality, or create injustice, and does not have adverse effects on citizens, including indigenous Papuans.

After analyzing various regulations, PAGARAS believes that affirmative policies for Papua are temporary and can be revoked when their objectives are achieved. One of the affirmative policies is the designation of indigenous Papuans as representatives in the Papua Regional People’s Council (DPRP), which is different from the DPRD in other regions of Indonesia. This has been declared constitutional by the Court in Decision MK Number 116/PUU-VII/2009. PAGARAS believes that this affirmative policy aligns with the principle of Papua’s special autonomy, placing indigenous Papuans as the main subjects, following the general explanation of Law 21/2001.

PAGARAS does not see any alienation or marginalization in the decision-making regarding the aspirations of the Papuan community, which is feared to impact the affirmative policies for indigenous Papuans significantly. Indeed, there is a reality indicating that, both demographically and socially and economically, cities in Papua have been dominated by migrant communities. This has caused anxiety among the Papuan people, feeling eliminated from their own land.

Following the establishment of new provinces, the wave of migration to Papua has increased, and the central government has recognized this demographic imbalance. PAGARAS appreciates the government’s awareness, complemented by sustainable policies supporting indigenous Papuans. This policy strengthens the position of the MRP as a representative cultural institution in political recruitment for regional head elections, aiming to provide a solid legal foundation and political legitimacy.

On the other hand, PAGARAS does not find indications of the government discriminating against non-Papuan communities in the election process. As part of the state, the constitution mandates respect and recognition for specific areas, allowing them to develop alongside other communities.

PAGARAS concludes that political recruitment for indigenous Papuans does not mean they are not nationalistic. On the contrary, it reinforces the foundation of the nation and state by prioritizing Indigenous Papuans in political decision-making related to them and protecting their dignity, self-esteem, and rights within the framework of the Unitary State of the Republic of Indonesia.

Shalom, Godbless!

Herdy Ezra Wayoi
Head of PAGARAS NGO
Papuan Hardline

Check Also

Himbauan PAGARAS Untuk Mengantisipasi Gangguan Keamanan Pada Pilkada 2024 di Tanah Papua

Jayawijaya, 28 Nopember 2024. PAGARAS mengamati berbagai analisis dari pengamat politik dan keamanan yang meramalkan …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *