Jayapura, 06 Nopember 2024. Sejak tahun 2014, pemerintah Indonesia telah memberlakukan moratorium terhadap pemekaran Daerah Otonomi Baru (DOB). Namun, dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 yang merevisi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 mengenai Otonomi Khusus Papua, peluang untuk terbentuknya daerah baru di Papua kini terbuka. Undang-undang tersebut mengatur mengenai pembentukan provinsi baru di Papua, serta telah melahirkan enam provinsi baru di wilayah tersebut.
Perubahan ini merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk meningkatkan efisiensi administrasi dan mempercepat pembangunan, yang telah memicu berbagai reaksi dari masyarakat, termasuk dari tokoh adat Papua yang memiliki peran signifikan dalam struktur sosial dan budaya masyarakat. Pemekaran ini mendapatkan dukungan dari sejumlah pihak yang meyakini bahwa langkah tersebut akan mempercepat kemajuan dan kesejahteraan, sementara ada juga kekhawatiran bahwa pemekaran ini dapat mengganggu stabilitas sosial dan budaya, terutama jika pandangan tokoh adat tidak diakomodasi. Namun, PAGARAS meyakini bahwa pemerintah telah melaksanakan pendekatan yang inklusif berbasis kearifan lokal dalam penyusunan kebijakan ini terkait pemekaran propinsi di Papua.
Pemekaran daerah merujuk pada proses pembagian wilayah administratif menjadi dua atau lebih daerah otonom baru, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang merupakan amandemen dari Undang-Undang No. 22 Tahun 1999. Dalam undang-undang tersebut, terutama pada Bab II Pasal 4 ayat 3, ditegaskan bahwa pembentukan daerah dapat dilakukan melalui penggabungan atau pemekaran daerah yang bersebelahan.
Di sisi lain, pemekaran juga sering menghadirkan berbagai tantangan. Biaya yang dikeluarkan untuk pemekaran tidak selalu sebanding dengan peningkatan pelayanan publik. PAGARAS mengamati bahwa pemekaran yang awalnya ditujukan untuk meningkatkan tata kelola wilayah kini cenderung menjadi tren yang mengesampingkan alternatif penataan wilayah lainnya, padahal solusi yang lebih efektif mungkin masih ada. Penataan wilayah mencakup kemampuan daerah dalam menjalankan fungsi pemerintahan secara efektif dan efisien dengan memanfaatkan potensi dan sumber daya yang ada. Dalam konteks Papua, PAGARAS meyakini bahwa pemekaran provinsi bertujuan untuk memperbaiki pemerataan pembangunan dan meningkatkan kualitas pelayanan publik.
Di sisi lain, PAGARAS berpendapat bahwa pemekaran provinsi di Papua akan memperpendek rentang kendali dan mempermudah akses pelayanan birokrasi. Namun, ada dampak negatif yang perlu diwaspadai, seperti potensi konflik antar suku terkait sumber daya alam dan mata pencaharian, yang dapat mengakibatkan terfragmentasinya masyarakat dan hilangnya identitas kultural di beberapa daerah.
Dukungan dari Tokoh di Papua
PAGARAS mencatat, sejauh ini, pemekaran Daerah Otonomi Baru di Provinsi Papua, yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001, telah terbentuk enam provinsi baru, yaitu Provinsi Papua, Papua Barat, Papua Tengah, Papua Pegunungan, Papua Selatan, dan Papua Barat Daya.
PAGARAS mencatat pernyataan Pendeta Alberth Yoku, Ketua Forum Masyarakat Tabi Bangkit serta tokoh agama di Papua, menyatakan dukungannya terhadap pemekaran ini, berargumen bahwa pemekaran akan mempercepat pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh. Sejalan dengan Pendeta Yoku, PAGARAS berkeyakinan bahwa tujuan pemekaran adalah untuk menciptakan kemajuan yang lebih merata di Papua, yang dapat dicapai melalui pembentukan provinsi baru. Dengan pemekaran, pembangunan di wilayah adat seperti Anim Ha, Lapago, Mepago, Saireri, dan Tabi dapat lebih terfokus dan efektif.
PAGARAS telah terlibat dalam diskusi mengenai pemekaran sejak 2018, terutama dengan pemerintah daerah di wilayah adat Tabi yang meliputi Kota Jayapura, Kabupaten Jayapura, Kabupaten Keerom, Kabupaten Sarmi, dan Kabupaten Mamberamo Raya. Diskusi ini fokus pada percepatan pembangunan Papua melalui pemetaan wilayah adat. PAGARAS menyoroti pentingnya pelibatan masyarakat dan tokoh adat dalam pembahasan pemekaran, yang telah mendapatkan dukungan dari masyarakat luas. Dukungan masyarakat adat Tabi terhadap pemekaran DOB di Papua Selatan, Papua Tengah, dan Papua Pegunungan menjadi bukti nyata.
PAGARAS juga mencatat dukungan dari Ketua Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Port Numbay, George Awi, yang menegaskan bahwa tidak ada alasan untuk menolak pembentukan DOB di Papua. Ia berpendapat bahwa pemekaran akan berdampak positif terhadap kesejahteraan, keadilan, dan pemerataan pembangunan di berbagai sektor.
Pandangan PAGARAS Terhadap Pemekaran DOB
PAGARAS mencermati pandangan tokoh adat Papua terkait pemekaran provinsi. Beberapa tokoh adat mendukung pemekaran sebagai sarana untuk meningkatkan kesejahteraan dan pembangunan masyarakat. Mereka percaya bahwa pemekaran akan membawa lebih banyak perhatian dan sumber daya ke daerah yang selama ini terabaikan. Namun, PAGARAS juga mengetahui, ada juga tokoh adat yang menentang pemekaran, khawatir bahwa hal itu dapat memicu konflik baru, mengganggu stabilitas sosial, dan merusak budaya serta struktur sosial lokal. Pandangan ini menekankan pentingnya memperhatikan elemen kultural dan sosial dalam proses pemekaran.
PAGARAS menilai bahwa pemekaran provinsi di Papua bertujuan untuk meningkatkan efisiensi administrasi dan mempercepat pembangunan, tetapi efektivitas pemekaran dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat masih perlu dievaluasi. PAGARAS mengingatkan pemerintah untuk selalu melibatkan tokoh adat dalam penyusunan administrasi organisasi yang akan menghasilkan program-program penataan wilayah. Tokoh adat memegang peranan penting dalam keberhasilan dan implementasi kebijakan pemekaran, karena mereka menjaga nilai-nilai kultural yang perlu diintegrasikan dalam kebijakan pembangunan serta berfungsi sebagai mediator antara pemerintah dan masyarakat. PAGARAS menggarisbawahi pentingnya keterlibatan aktif tokoh adat dalam proses pengembangan program pembangunan untuk memastikan bahwa kebijakan yang dihasilkan sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat lokal.
Sebagai kesimpulan, PAGARAS menekankan bahwa dalam merumuskan program percepatan pembangunan di enam DOB Papua, harus mempertimbangkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dan keadilan sosial. Prinsip-prinsip ini mencakup evaluasi dampak pemekaran terhadap lingkungan, sosial, dan ekonomi, serta memastikan keterlibatan semua pihak, terutama masyarakat adat, dalam proses pengambilan keputusan. Kesejahteraan seluruh lapisan masyarakat dan harmonisasi sosial harus menjadi prioritas utama dalam pembangunan yang berkelanjutan.
Shalom, Tuhan Jaga
Herdy Ezra Wayoi
Ketua LSM PAGARAS
Papua Garis Keras
Download the Press Release Here
English Version
PAGARAS’s Perspective on the Implementation of
Sustainable Development Post-District Expansion in Papua
Jayapura, November 06, 2024
Since 2014, the Indonesian government has imposed a moratorium on the creation of New Autonomous Regions (DOB). However, with the passage of Law No. 2 of 2021, which revises Law No. 21 of 2001 concerning Special Autonomy for Papua, the opportunity for the establishment of new regions in Papua is now open. This law governs the formation of new provinces in Papua and has created six new provinces in the region.
This change is part of the government’s efforts to enhance administrative efficiency and accelerate development, which has sparked various reactions from the community, including from Papua’s customary leaders who play a significant role in the social and cultural structure of society. This expansion has garnered support from several parties who believe that such a move will expedite progress and welfare, while there are also concerns that the expansion could disrupt social and cultural stability, especially if the views of customary leaders are not accommodated. However, PAGARAS believes that the government has implemented an inclusive approach based on local wisdom in formulating policies related to provincial expansion in Papua.
Regional expansion refers to the process of dividing an administrative area into two or more new autonomous regions, in accordance with Law No. 32 of 2004 on Regional Government, which amends Law No. 22 of 1999. In this law, especially in Chapter II Article 4 paragraph 3, it is emphasized that regions can be formed through the merging or expansion of adjacent regions.
On the other hand, expansion often presents various challenges. The costs incurred for expansion are not always proportional to the improvement in public services. PAGARAS observes that the expansion, which was initially intended to improve regional governance, now tends to overshadow alternative regional arrangements, even though more effective solutions may still exist. Regional planning includes the ability of regions to carry out government functions effectively and efficiently by utilizing existing potentials and resources. In the context of Papua, PAGARAS believes that provincial expansion aims to improve equitable development and enhance the quality of public services.
Conversely, PAGARAS argues that provincial expansion in Papua will shorten the control span and facilitate access to bureaucratic services. However, there are negative impacts that need to be heeded, such as the potential for inter-ethnic conflicts over natural resources and livelihoods, which could result in the fragmentation of communities and loss of cultural identity in some areas.
Support from Leaders in Papua
PAGARAS notes that, so far, the expansion of New Autonomous Regions in Papua Province, as regulated by Law No. 2 of 2021 concerning the Second Amendment to Law No. 21 of 2001, has resulted in the establishment of six new provinces: Papua, West Papua, Central Papua, Mountain Papua, South Papua, and Southwest Papua.
PAGARAS recorded the statement of Pastor Alberth Yoku, Chairman of the Tabi Bangkit Community Forum and a religious leader in Papua, who expressed support for this expansion, arguing that it would accelerate development and improve community welfare overall. In line with Pastor Yoku, PAGARAS is convinced that the aim of the expansion is to create more equitable progress in Papua, which can be achieved through the establishment of new provinces. With this expansion, development in customary areas such as Anim Ha, Lapago, Mepago, Saireri, and Tabi can be more focused and effective.
PAGARAS has been involved in discussions about expansion since 2018, particularly with local governments in the Tabi customary region, which includes the City of Jayapura, Jayapura Regency, Keerom Regency, Sarmi Regency, and Mamberamo Raya Regency. These discussions focus on accelerating development in Papua through the mapping of customary regions. PAGARAS highlights the importance of involving the community and customary leaders in discussions regarding expansion, which has gained broad support from the community. The support from the Tabi indigenous community for the expansion of DOB in South Papua, Central Papua, and Mountain Papua serves as concrete evidence.
PAGARAS also notes the support from the Chairman of the Port Numbay Customary Institution (LMA), George Awi, who asserts that there is no reason to oppose the establishment of DOB in Papua. He argues that expansion will have a positive impact on welfare, justice, and equitable development across various sectors.
PAGARAS’s Perspective on the Expansion of DOB
PAGARAS observes the views of Papua’s customary leaders regarding provincial expansion. Some customary leaders support the expansion as a means to enhance welfare and community development. They believe that expansion will bring more attention and resources to areas that have long been neglected. However, PAGARAS is also aware that some customary leaders oppose expansion, fearing that it could trigger new conflicts, disrupt social stability, and damage local culture and social structures. This perspective underscores the importance of considering cultural and social elements in the expansion process.
PAGARAS assesses that the provincial expansion in Papua aims to improve administrative efficiency and accelerate development; however, the effectiveness of this expansion in enhancing community welfare still requires evaluation. PAGARAS reminds the government to always involve customary leaders in the development of administrative organizations that will produce regional planning programs. Customary leaders play a crucial role in the success and implementation of expansion policies, as they uphold cultural values that need to be integrated into development policies and serve as mediators between the government and the community. PAGARAS emphasizes the importance of the active involvement of customary leaders in the development of development programs to ensure that the resulting policies align with the needs and aspirations of local communities.
In conclusion, PAGARAS underscores that in formulating programs to accelerate development in the six DOBs of Papua, it is essential to consider the principles of sustainable development and social justice. These principles include evaluating the impact of expansion on the environment, society, and economy, and ensuring the involvement of all parties, especially indigenous communities, in the decision-making process. The welfare of all layers of society and social harmony must be a top priority in sustainable development.
Shalom, Godbless!
Herdy Ezra Wayoi
Head of PAGARAS NGO
Papuan Hardline