Pandangan PAGARAS Mengenai Pendekatan Holistik untuk Mencapai Kedamaian di Papua

Jayawijaya, 15 November 2024. Salah satu isu yang diteruskan kepada presiden selanjutnya adalah mengenai Papua, yang mencakup percepatan pembangunan, penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia, dan penyelesaian konflik yang ada. Presiden Joko Widodo menunjukkan komitmen untuk menyelesaikan masalah ini melalui pembangunan berbagai infrastruktur dan pembagian Papua menjadi enam provinsi secara administratif yaitu Papua, Papua Barat, Papua Selatan, Papua Tengah, Papua Pegunungan, dan Papua Barat Daya.

Selain itu, pemerintah Joko Widodo juga telah meluncurkan sejumlah inisiatif untuk Papua, termasuk kebijakan dana otonomi khusus sesuai dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua. Data dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Papua menunjukkan bahwa antara 2014 hingga 2023, Papua menerima dana otsus sebesar Rp92,6 triliun, yang menandakan perhatian pemerintah terhadap daerah ini. PAGARAS juga menggarisbawahi sejumlah masalah di Papua yang belum terselesaikan dan menjadi agenda Presiden Prabowo Subianto setelah dilantik pada 20 Oktober 2024.

PAGARAS mencatat bahwa Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melalui tim kajian Papua, telah bekerja sejak era Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Di masa kepemimpinan Presiden SBY, tim ini melakukan kajian mendalam untuk menyusun Papua Road Map yang bertujuan untuk mencapai Papua Damai dan tetap menjadi bagian dari NKRI. Rekomendasi dan kajian ini dituangkan dalam empat buku, yaitu: Papua Road Map: Negotiating the Past, Improving the Present and Securing the Future (2009), Updating Papua Road Map: Proses Perdamaian, Politik Kaum Muda, dan Diaspora Papua (2017), Mosaik Cenderawasih: Pembangunan dan Kesejahteraan di Tanah Papua (2020), dan Hak Asasi Manusia dan Konflik Papua: Sebuah Ironi? (2024).

PAGARAS mengapresiasi hasil kajian dan rekomendasi penyelesaian persoalan di tanah Papua yang dipresentasikan oleh BRIN/LIPI, yang mendapat sambutan positif dari berbagai kelompok di Papua. PAGARAS memperhatikan bahwa beberapa kelompok di Papua juga mengapresiasi hasil kerja tim ini. BRIN telah melakukan studi mengenai berbagai isu terkait Papua dan memberikan rekomendasi kepada pemerintah untuk diintegrasikan ke dalam rencana aksi percepatan pembangunan dan penyelesaian konflik.

PAGARAS mencatat bahwa ada pihak-pihak tertentu yang memutarbalikkan fakta, seolah-olah BRIN/LIPI mendukung kemerdekaan Papua dari Indonesia. Hal ini memberi kesan bahwa kajian tersebut memberikan dukungan kepada gerakan kemerdekaan di Papua. PAGARAS menilai pandangan ini keliru dan menunjukkan kurangnya pemahaman terhadap hasil kerja Tim Papua BRIN. Para pendukung kemerdekaan Papua seringkali menyampaikan informasi yang menyesatkan, padahal kajian dari Tim Papua BRIN bertujuan untuk mencapai solusi yang lebih berkelanjutan dan berprinsip pada konsep “Papua Tanah Damai”, serta menghindari penyelesaian yang hanya bersifat sementara.

PAGARAS menyimpulkan bahwa kajian BRIN/LIPI berfokus pada empat isu strategis yang menjadi sumber konflik di Papua: 1) Sejarah integrasi Papua ke NKRI dan identitas politik orang Papua, 2) Kekerasan politik dan pelanggaran hak asasi manusia, 3) pembangunan yang kurang efektif di Papua, dan 4) Pentingnya konsistensi pemerintah dalam melaksanakan otonomi khusus dan menghilangkan stigma marjinalisasi terhadap orang Papua.

Tindakan memutarbalikkan fakta oleh kelompok separatis telah berlangsung lama, dan tidak sedikit masyarakat Papua yang terpengaruh serta berbalik menentang pemerintah yang sah. Beberapa individu, yang sebelumnya menjadi bagian dari pemerintah atau mendukung Jakarta, kini berseberangan dengan posisi tersebut, seperti contoh Theys Hiyo Eluay.

Lebih jauh, PAGARAS mengamati bahwa peneliti BRIN/LIPI berada di posisi strategis dalam penyelesaian konflik Papua. Mereka merupakan bagian dari aparatur sipil negara dan juga dianggap sebagai perwakilan yang dapat menjembatani antara Jakarta dan Papua. Oleh karena itu, PAGARAS melihat BRIN sebagai mediator penting dalam proses ini.

PAGARAS menyesalkan masih adanya anggapan negatif terhadap hasil kerja akademik BRIN, seperti yang tercantum dalam Papua Road Map, yang dianggap mendukung pemisahan Papua dari Indonesia. Tim Papua BRIN seringkali dipersepsikan sama dengan suara kritis dari tokoh-tokoh agama di Papua, yang terkadang dianggap sebagai dukungan terhadap pemisahan. Namun, PAGARAS berpendapat bahwa suara-suara kritis ini seharusnya dipahami sebagai masukan yang bermanfaat untuk mencari solusi terbaik bagi berbagai masalah di Papua.

Pendekatan yang ditawarkan dalam Papua Road Map bukanlah solusi instan dan dapat diukur dengan jelas. PAGARAS mengamati bahwa BRIN berusaha memahami konflik di Papua secara menyeluruh, bukan sekadar untuk kepentingan politik. Penyelesaian konflik Papua harus melibatkan dialog yang jujur dengan tokoh-tokoh agama, adat, dan perempuan di Papua.

Dalam konteks Papua Road Map, PAGARAS menyimpulkan bahwa upaya dialog harus dilakukan dengan moderasi politik dan negosiasi terkait sejarah dan status politik Papua. Untuk mengatasi kekerasan negara dan pelanggaran HAM, PAGARAS mendukung upaya rekonsiliasi dan pengadilan HAM, serta membangun hubungan politik yang konstruktif. Terkait dengan pembangunan yang masih memerlukan perhatian, paradigma baru yang berfokus pada kemakmuran dan kesejahteraan penduduk Papua perlu diterapkan. PAGARAS juga berkomitmen untuk mengatasi isu marjinalisasi dan diskriminasi melalui pengakuan dan pemberdayaan Orang Asli Papua (OAP).

PAGARAS mendorong pemerintah untuk memperhatikan contoh negara lain yang berhasil menyelesaikan masalah serupa dengan Papua. Misalnya, Maori di Selandia Baru yang dijadikan ikon negara, dan penyelesaian konflik di Irlandia Utara yang melibatkan mediator seperti George Mitchell. Di tempat lain, ada yang menyelesaikan konflik dengan memberikan representasi di parlemen bagi kelompok yang ingin memisahkan diri.

Namun, PAGARAS ingin menekankan bahwa Papua berbeda dari Aceh yang memiliki tokoh sentral dalam Gerakan Aceh Merdeka seperti Hasan di Tiro. Di Papua, tidak ada sosok sentral dan terdapat berbagai kelompok, termasuk Organisasi Papua Merdeka (OPM), gerakan politik seperti United Liberation Movement for West Papua yang merupakan sayap militer dari OPM, dan masyarakat sipil Papua yang mencakup kelompok gereja, masyarakat adat, dan gerakan perempuan. Masing-masing kelompok ini perlu diajak berdialog dengan pendekatan yang berbeda untuk mencapai kedamaian di Papua. PAGARAS memastikan akan mendukung setiap upaya pemerintah untuk mencari solusi damai melalui dialog yang sesuai dengan karakteristik budaya dan adat yang ada di Papua.

Shalom, Tuhan Jaga

Herdy Ezra Wayoi
Ketua LSM PAGARAS
Papua Garis Keras

Download the Press Release Here

English Version

PAGARAS’s Perspective on a Holistic Approach to Achieving Peace in Papua
Jayawijaya, November 15, 2024

One of the issues handed over to the next president concerns Papua, which includes accelerating development, addressing human rights violations, and resolving existing conflicts. President Joko Widodo has shown a commitment to addressing these issues through the development of various infrastructures and the administrative division of Papua into six provinces: Papua, West Papua, South Papua, Central Papua, Mountain Papua, and Southwest Papua.

Additionally, the Joko Widodo administration has launched a number of initiatives for Papua, including special autonomy fund policies in accordance with Law Number 21 of 2001 on Papua Special Autonomy. Data from the Papua Regional Development Planning Agency (Bappeda) indicates that from 2014 to 2023, Papua received special autonomy funds amounting to IDR 92.6 trillion, reflecting the government’s attention to this region. PAGARAS also highlights several unresolved issues in Papua that will be on President Prabowo Subianto’s agenda after his inauguration on October 20, 2024.

PAGARAS notes that the National Research and Innovation Agency (BRIN), through its Papua study team, has been working since the era of the Indonesian Institute of Sciences (LIPI). During President SBY’s administration, this team conducted an in-depth study to formulate the Papua Road Map aimed at achieving a peaceful Papua while remaining part of the Unitary State of the Republic of Indonesia (NKRI). The recommendations and findings from this study are compiled in four books: Papua Road Map: Negotiating the Past, Improving the Present and Securing the Future (2009), Updating Papua Road Map: Peace Process, Political Youth, and Papua Diaspora (2017), Mosaik Cenderawasih: Development and Welfare in the Land of Papua (2020), and Human Rights and Conflict in Papua: An Irony? (2024).

PAGARAS appreciates the outcomes of the studies and recommendations for resolving issues in Papua presented by BRIN/LIPI, which received positive responses from various groups in Papua. PAGARAS observes that some groups in Papua also appreciate the work of this team. BRIN has conducted studies on various issues related to Papua and provided recommendations to the government for integration into action plans for accelerating development and conflict resolution.

PAGARAS notes that certain parties have distorted the facts, suggesting that BRIN/LIPI supports Papua’s independence from Indonesia. This gives the impression that the studies provide support for the independence movement in Papua. PAGARAS considers this view to be erroneous and indicative of a lack of understanding of the work of the BRIN Papua Team. Pro-independence supporters often disseminate misleading information, while the findings of the BRIN Papua Team aim to achieve more sustainable solutions based on the concept of “Papua Peaceful Land,” avoiding temporary resolutions.

PAGARAS concludes that the BRIN/LIPI studies focus on four strategic issues that are sources of conflict in Papua: 1) The history of Papua’s integration into NKRI and the political identity of the Papuan people, 2) Political violence and human rights violations, 3) Ineffective development in Papua, and 4) The importance of government consistency in implementing special autonomy and eliminating the stigma of marginalization against the Papuan people.

The act of distorting facts by separatist groups has persisted for a long time, affecting many Papuans and leading some to turn against the legitimate government. Some individuals who were once part of the government or supported Jakarta have now taken opposing stances, such as Theys Hiyo Eluay.

Furthermore, PAGARAS observes that BRIN/LIPI researchers are in a strategic position for resolving the Papua conflict. They are part of the civil service and are also regarded as representatives who can bridge Jakarta and Papua. Therefore, PAGARAS sees BRIN as an important mediator in this process.

PAGARAS regrets the continued negative perceptions of BRIN’s academic work, such as those presented in the Papua Road Map, which are considered to support the separation of Papua from Indonesia. The Papua Team of BRIN is often perceived as being aligned with the critical voices of religious leaders in Papua, who are sometimes viewed as supporting separation. However, PAGARAS argues that these critical voices should be understood as valuable input for finding the best solutions to various issues in Papua.

The approach offered in the Papua Road Map is not an instant solution that can be clearly measured. PAGARAS observes that BRIN strives to comprehend the conflict in Papua holistically, rather than solely for political interests. Resolving the Papua conflict must involve honest dialogue with religious, customary, and women leaders in Papua.

In the context of the Papua Road Map, PAGARAS concludes that dialogue efforts must be conducted with political moderation and negotiations related to the history and political status of Papua. To address state violence and human rights violations, PAGARAS supports reconciliation and human rights courts, as well as building constructive political relationships. Regarding development that still requires attention, a new paradigm focused on the prosperity and welfare of the Papuan population needs to be implemented. PAGARAS is also committed to addressing issues of marginalization and discrimination through the recognition and empowerment of Indigenous Papuans (OAP).

PAGARAS encourages the government to pay attention to other countries that have successfully resolved similar issues to those in Papua. For example, the Maori in New Zealand, who have become national icons, and the conflict resolution in Northern Ireland, which involved mediators like George Mitchell. In other places, conflicts have been resolved by providing parliamentary representation for groups seeking independence.

However, PAGARAS wants to emphasize that Papua is different from Aceh, which has a central figure in the Free Aceh Movement like Hasan di Tiro. In Papua, there is no central figure, and there are various groups, including the Free Papua Organization (OPM), political movements like the United Liberation Movement for West Papua, which serves as the military wing of the OPM, and Papuan civil society, encompassing church groups, indigenous communities, and women’s movements. Each of these groups needs to be engaged in dialogue with different approaches to achieve peace in Papua. PAGARAS ensures it will support every government’s effort to find peaceful solutions through dialogue that aligns with the cultural and customary characteristics present in Papua.

Shalom, Godbless!

Herdy Ezra Wayoi
Head of PAGARAS NGO
Papuan Hardline

Check Also

Himbauan PAGARAS Untuk Mengantisipasi Gangguan Keamanan Pada Pilkada 2024 di Tanah Papua

Jayawijaya, 28 Nopember 2024. PAGARAS mengamati berbagai analisis dari pengamat politik dan keamanan yang meramalkan …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *